tag:blogger.com,1999:blog-34529509110558043672024-02-20T04:40:16.081-08:00SmArTnEtSmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.comBlogger56125tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-72282376950711610642010-11-22T01:46:00.004-08:002010-11-22T01:47:10.922-08:00ASKEP ANAK MORBILIMORBILI<br /><br /><br />Definisi :<br /> Penyakit infeksi virus akut menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu :<br />a. Stadium Kataral<br />b. Stadium Erupsi, dan<br />c. Stadium Konvalesensi<br /><br />Etiologi :<br /> Penyebabnya adalah virus morbili yang terdapat dalam sekret nasofaring dan darah sealma masa prodormal sampai 24 jam setelah timbul bercak-bercak. Virus ini berupa virus RNA yang termasuk famili Paramiksoviridae, genus Morbilivirus.<br /> Cara penularan dengan droplet infeksi.<br /><br />Epidemiologi :<br /> Biasanya penyakit ini timbul pada masa anak dan kemudian menyebabkan kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita morbili akan mendapat kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan dan setelah umur tersebut kekebalan akan mengurang sehingga si bayi dapat menderita morbili. Bila seseorang wanita menderita morbili ketika ia hamil 1 atau 2 bulan, maka 50% kemungkinan akan mengalami abortus, bila ia menderita morbili pada trimester I, II, atau III maka ia akan mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau seorang anak dengan BBLR, atau lahir mati atau anak yang kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun.<br /> <br />Patofisiologi :<br />Droplet Infection (virus masuk)<br /><br />Berkembang biak dalam RES<br /><br />Keluar dari RES keluar sirkulasi<br />Pirogen :<br />- pengaruhi termostat dalam hipotalamus<br />Titik setel termostat meningkat<br /><br />Suhu tubuh meningkat<br />- pengaruhi nervus vagus pusat<br />muntah di medula oblongata.<br />- muntah<br />- anorexia<br />- malaise<br /><br /> Mengendap pada organ-organ yang <br />secara embriologis berasal dari ektoderm seperti pada :<br /><br />- Mukosa mulut<br />infiltrasi sel-sel radang mononuklear pada kelenjar sub mukosa mulut<br /><br />Koplik`s spot<br />- Kulit <br />Ploriferasi sel-sel endotel kalpiler di dalam korium<br />Terjadi eksudasi serum dan kadang-kadang eritrsit dalam epidermis<br />Rash/ ruam kulit <br />Konjunctiva<br />terjadi reaksi peradangan umum <br /><br /> Konjuctivitis<br /><br />Fotofobia<br />- mukosa nasofaring dan broncus<br /><br />infiltrasi sel-sel sub epitel dan sel raksasa berinti banyak<br /><br /><br />Reaksi peradangan secara umum<br /><br />Pembentukan eksudat serosa disertai proliferasi sel monokuler dan sejumlah kecil pori morfonuklear<br /><br />Coriza/ pilek, cough/ batuk<br /><br />Sal. Cerna<br /><br />Hiperplasi jaringan limfoid terutama pada usus buntu mukosa usus teriritasi kecepatan sekresi bertambah pergerakan usus meningkat diare<br /><br /><br />Manifestasi klinis<br />Masa tunas/inkubasi penyakit berlangsung kurang lebih dari 10-20 hari dan kemidian timbul gejala-gejala yang dibagi dalam 3 stadium<br />1. Stadium kataral (prodormal)<br />Stadium prodormal berlangsung selama 4-5 hari ditandai oleh demam ringa hingga sedang, batuk kering ringan, coryza, fotofobia dan konjungtivitis. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema, timbul bercak koplik yang patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema. Lokalisasinya dimukosa bukalis berhadapandengan molar dibawah, tetapi dapat menyebar tidak teratur mengenai seluruh permukaan pipi. Meski jarang, mereka dapat pula ditemukan pada bagian tengah bibir bawah, langit-langit dan karankula lakrimalis. Bercak tersebut muncul dan menghilang dengan cepat dalam waktu 12-18 jam. Kadang-kadang stadium prodormal bersifat berat karena diiringi demam tinggi mendadak disertai kejang-kejang dan pneumoni. Gambaran darah tepi ialah limfositosis dan leukopenia.<br />2. Stadium erupsi<br />Coryza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema / titik merah dipalatum durum dan palatum mole. Terjadinya eritema yang berbentuk makula papula disertai dengan menaiknya suhu tubuh. Eritema timbul dibelakang telinga dibagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan primer pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening disudut mandibula dan didaerah leher belakang. Juga terdapat sedikit splenomegali, tidak jarang disertai diare dan muntah. Variasi dari morbili yang biasa ini adalah “Black Measles” yaitu morbili yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung dan traktus digestivus.<br />3. Stadium konvalesensi<br />Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang bisa hilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk morbili. Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema atau eksantema ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada komplikasi<br /><br />Diagnosa banding<br />Ruam kulit pada campak harus dibedakan dari :<br />- Eksantema subitum - toxoplasmosis<br />- Rubela - meningokoksemia<br />- Infeksi virus ekho - demam skarlatina<br />- Virus koksaki - penyakit riketsia<br />- Virus adeno - penyakit serum<br />- Mononukleosus infeksiosa - alergi obat<br /><br /><br /><br />Komplikasi<br />- Otitis media akut<br />- Pneumonia / bronkopneumoni<br />- Encefalitis<br /><br />Pencegahan<br />1. Imunusasi aktif<br />Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan vaksin campak hidup yang telah dilemahkan. Vaksin hidup yang pertama kali digunakan adalah Strain Edmonston B. Pelemahan berikutnya dari Strain Edmonston B. Tersbut membawa perkembangan dan pemakaian Strain Schwartz dan Moraten secara luas. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan imunitas yang berlangsung lama.<br />Pada penyelidikan serulogis ternyata bahwa imunitas tersebut mulai mengurang 8-10 tahun setelah vaksinasi. Dianjurkan agar vaksinasi campak rutin tidak dapat dilakukan sebelum bayi berusia 15 bulan karena sebelum umur 15 bulan diperkirakan anak tidak dapat membentuk antibodi secara baik karena masih ada antibodi dari ibu. Pada suatu komunitas dimana campak terdapat secara endemis, imunisasi dapat diberikan ketika bayi berusia 12 bulan. <br />2. Imunusasi pasif<br />Imunusasi pasif dengan serum oarng dewasa yang dikumpulkan, serum stadium penyembuhan yang dikumpulkan, globulin placenta (gama globulin plasma) yang dikumpulkan dapat memberikan hasil yang efektif untuk pencegahan atau melemahkan campak. Campak dapat dicegah dengan serum imunoglobulin dengan dosis 0,25 ml/kg BB secara IM dan diberikan selama 5 hari setelah pemaparan atau sesegera mungkin.<br /><br />Pengobatan<br />Terdapat indikasi pemberian obat sedatif, antipiretik untuk mengatasi demam tinggi. Istirahat ditempat tidur dan pemasukan cairan yang adekuat. Mungkin diperlukan humidikasi ruangan bagi penderita laringitis atau batuk mengganggu dan lebih baik mempertahanakan suhu ruangan yang hangat.<br /><br />Referensi<br />1. Ilmu kesehatan anak, Nelson.<br />2. Kapita selekta kedokteran, edisi 3, jilid II, Media Aesculapius FKUI.SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-88136999912066608782010-11-22T01:46:00.003-08:002010-11-22T01:46:48.794-08:00ASKEP ANAK INTUSEPSIINTUSEPSI<br /><br /><br />A. Pengertian<br />Intususepsi adalah invaginasi atau masuknya bagian usus ke dalam perbatasan atau bagian yang lebih distal dari usus (umumnya, invaginasi ileum masuk ke dalam kolon desendens). (Nettina, 2002)<br />Suatu intususepsi terjadi bila sebagian saluran cerna terdorong sedemikian rupa sehingga sebagian darinya akan menutupi sebagian lainnya hingga seluruhnya mengecil atau memendek ke dalam suatu segmen yang terletak di sebelah kaudal. (Nelson, 1999)<br /><br />B. Etiologi<br />Penyebab dari kebanyakan intususepsi tidak diketahui. Terdapat hubungan dengan infeksi – infeksi virus adeno dan keadaan tersebut dapat mempersulit gastroenteritis. Bercak – bercak peyeri yang banyak terdapat di dalam ileum mungkin berhubungan dengan keadaan tersebut, bercak jaringan limfoid yang membengkak dapat merangsang timbulnya gerakan peristaltic usus dalam upaya untuk mengeluarkan massa tersebut sehingga menyebabkan intususepsi. Pada puncak insidens penyakit ini, saluran cerna bayi juga mulai diperkenalkan dengan bermacam bahan baru. Pada sekitar 5% penderita dapat ditemukan penyebab – penyebab yang dikenali, seperti divertikulum meckeli terbalik, suatu polip usus, duplikasi atau limfosarkoma. Secara jarang, keadaan ini akan mempersulit purpura Henoch – Schonlein dengan sutau hematom intramural yang bertindak sebagai puncak dari intususepsi. Suatu intususepsi pasca pembedahan jarang dapat didiagnosis, intususepsi – intususepsi ini bersifat iloileal. <br /><br /><br /><br />C. Patofisiologi dan Pathways<br />Kebanyakan intususepsi adalah ileokolik dan ileoileokolik, sedikit sekokolik dan jarang hanya ileal. Secara jarang, suatu intususepsi apendiks membentuk puncak dari lesi tersebut. Bagian atas usus, intususeptum, berinvaginasi ke dalam usus di bawahnya, intususipiens sambil menarik mesentrium bersamanya ke dalam ansa usus pembungkusnya. Pada mulanya terdapat suatu konstriksi mesentrium sehingga menghalangi aliran darah balik. Penyumbatan intususeptium terjadi akibat edema dan perdarahan mukosa yang menghasilkan tinja berdarah, kadang – kadang mengandung lendir. Puncak dari intususepsi dapat terbentang hingga kolon tranversum desendens dan sigmoid bahkan ke anus pada kasus – kasus yang terlantar. Setelah suatu intususepsi idiopatis dilepaskan, maka bagian usus yang memebentuk puncaknya tampak edema dan menebal, sering disertai suatu lekukan pada permukaan serosa yang menggambarkan asal dari kerusakan tersebut. Kebanyakan intususepsi tidak menimbulkan strangulasi usus dalam 24 jam pertama, tetapi selanjutnya dapat mengakibatkan gangren usus dan syok.<br /> <br />D. Manifestasi Klinik<br />Umumnya bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik. Pada tahap awal muncul gejala strangulasi berupa nyeri perut hebat yang tiba – tiba. Bayi menangis kesakitan saat serangan dan kembali normal di antara serangan. Terdapat muntah berisi makanan/minuman yang masuk dan keluarnya darah bercampur lendir (red currant jelly) per rektum. Pada palpasi abdomen dapat teraba massa yang umumnya berbentuk seperti pisang (silindris). <br />Dalam keadaan lanjut muncul tanda obstruksi usus, yaitu distensi abdomen dan muntah hijau fekal, sedangkan massa intraabdomen sulit teraba lagi. Bila invaginasi panjang hingga ke daerah rektum, pada pemeriksaan colok dubur mungkin teraba ujung invaginat seperti porsio uterus, disebut pseudoporsio. Pada sarung tangan terdapat lendir dan darah.<br /><br /><br />E. Pemeriksaan Penunjang<br />1. Foto polos abdomen memperlihatkan kepadatan seperti suatu massa di tempat intususepsi.<br />2. Foto setelah pemberian enema barium memperlihatkan gagguan pengisisan atau pembentukan cekungan pada ujung barium ketika bergerak maju dan dihalangi oleh intususepsi tersebut.<br />3. Plat datar dari abdomen menunjukkan pola yang bertingkat (invaginasi tampak seperti anak tangga).<br />4. Barium enema di bawah fluoroskopi menunjukkan tampilan coiled spring pada usus.<br />5. Ultrasonogram dapat dilakukan untuk melokalisir area usus yang masuk.<br /><br />F. Prinsip pengobatan dan managemen keperawatan<br />1. Penurunan dari intususepsi dapat dilakukan dengan suntikan salin, udara atau barium ke dalam kolon. Metode ini tidak sering dikerjakan selama terdapat suatu resiko perforasi, walaupun demikian kecil, dan tidak terdapat jaminan dari penurunan yang berhasil.<br />2. Reduksi bedah :<br />a. Perawatan prabedah:<br /> Rutin<br /> Tuba naso gastrik<br /> Koreksi dehidrasi (jika ada)<br />b. Reduksi intususepsi dengan penglihatan langsung, menjaga usus hangat dengan salin hangat. Ini juga membantu penurunan edema.<br />c. Plasma intravena harus dapat diperoleh pada kasus kolaps.<br />d. Jika intususepsi tidak dapat direduksi, maka diperlukan reseksi dan anastomosis primer.<br />3. Penatalaksanaan pasca bedah:<br />a. Rutin<br />b. Perawatan inkubator untuk bayi yang kecil<br />c. Pemberian oksigen<br />d. Dilanjutkannya cairan intravena<br />e. Antibiotika<br />f. Jika dilanjutkannya suatu ileostomi, drainase penyedotan dikenakan pada tuba ileostomi hingga kelanjutan dari lambung dipulihkan.<br />g. Observasi fungsi vital<br /> <br />BAB III<br />ASUHAN KEPERAWATAN<br /><br /><br />1. Pengkajian<br />a. Pengkajian fisik secara umum<br />b. Riwayat kesehatan<br />c. Observasi pola feses dan tingkah laku sebelum dan sesudah operasi<br />d. Observasi tingkah laku anak/bayi<br />e. Observasi manifestasi terjadi intususepsi:<br /> Nyeri abdomen paroksismal<br /> Anak menjerit dan melipat lutut ke arah dada<br /> Anak kelihatan normal dan nyaman selama interval diantara episode nyeri<br /> Muntah<br /> Letargi<br /> Feses seperti jeli kismis mengandung darah dan mucus, tes hemocculi positif.<br /> Feses tidak ada meningkat<br /> Distensi abdomen dan nyeri tekan<br /> Massa terpalpasi yang seperti sosis di abdomen<br /> Anus yang terlihat tidak biasa, dapat tampak seperti prolaps rectal.<br /> Dehidrasi dan demam sampai kenaikan 410C<br /> Keadaan seperti syok dengan nadi cepat, pucat dan keringat banyak <br />f. Observasi manifestasi intususepsi yang kronis<br /> Diare<br /> Anoreksia<br /> Kehilangan berat badan<br /> Kadang – kadang muntah<br /> Nyeri yang periodic<br /> Nyeri tanpa gejala lain<br />g. Kaji dengan prosedur diagnostik dan tes seperti pemeriksaan foto polos abdomen, barium enema dan ultrasonogram<br /><br />2. Masalah Keperawatan<br />1. Nyeri berhubungan dengan invaginasi usus.<br />2. Syok hipolemik berhubungan dengan muntah, perdarahan dan akumulasi cairan dan elektrolit dalam lumen.<br />3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, lingkungan yang asing.<br />4. Inefektif termoregulasi berhubungan dengan proses inflamasi, demam.<br />5. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.<br /><br />3. Perencanaan<br />a. Preoperasi<br /> Diagnosa keperawatan: nyeri berhubungan dengan invaginasi usus.<br />Tujuan: berkurangnya rasa nyeri sesuai dengan toleransi yang dirasakan anak.<br />Kriteria Hasil: anak menunjukkan tanda – tanda tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan yang minimum.<br />Intervensi:<br /> Observasi perilaku bayi sebagai indikator nyeri, dapat peka rangsang dan sangat sensitif untuk perawatan atau letargi atau tidak responsive.<br /> Perlakuan bayi dengan sangat lembut.<br /> Jelaskan penyebab nyeri dan yakinkan orangtua tentang tujuan tes diagnostik dan pengobatan.<br /> Yakinkan anak bahwa analgesik yang diberikan akan mengurangi rasa nyeri yang dirasakan.<br /> Jelaskan tentang intususepsi dan reduksi hidrostatik usus yang dapat mengurangi intususepsi.<br /> Jelaskan resiko terjadinya nyeri yang berulang.<br /> Kolaborasi: berikan analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.<br /> Diagnosa keperawatan: syok hipovolemik berhubungan dengan muntah, perdarahan dan akumulasi cairan dan elektrolit dalam lumen.<br />Tujuan: volume sirkulasi (keseimbangan cairan dan elektrolit) dapat dipertahankan.<br />Kriteria Hasil: tanda – tanda syok hipovolemik tidak terjadi.<br />Intervensi:<br /> Pantau tanda vital, catat adanya hipotensi, takikardi, takipnea, demam.<br /> Pantau masukan dan haluaran.<br /> Perhatikan adanya mendengkur atau pernafasan cepat dan dangkal jika berada pada keadaan syok.<br /> Pantau frekuensi nadi dengan cernat dan ketahui rentang nadi yang tepat untuk usia anak.<br /> Laporkan adanya takikardi yang mengindikasikan syok.<br /> Kurangi suhu karena demam meningkatkan metabolisme dan membuat oksigenasi selama anestesi menjadi lebih sulit.<br /> Kolaborasi:<br />Lakukan pemeriksaan laboratorium: Hb/Ht, elektrolit, protein, albumin, BUN, kreatinin.<br />Berikan plasma/darah, cairan, elektrolit, diuretic sesuai indikasi untuk memelihara volume darah sirkulasi.<br /> Diagnosa keperawatan: ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, lingkungan yang asing.<br />Tujuan: rasa cemas pada anak dapat berkurang<br />Kriteria hasil: anak dapat beristirahat dengan tenang dan melakukan prosedur tanpa cemas.<br /><br />Intervensi:<br /> Beri pendidikan kesehatan sebelum dilakukan operasi untuk mengurangi rasa cemas.<br /> Orientasikan klien dengan lingkungan yang masih asing.<br /> Pertahankan ada orang yang selalu menemani klien untuk meningkatkan rasa aman.<br /> Jelaskan alasan dilakukan tindakan pembedahan.<br /> Jelaskan semua prosedur pembedahan yang akan dilakukan.<br /><br />b. Post operasi<br /> Diagnosa keperawatan: nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.<br />Tujuan: berkurangnya rasa nyeri sesuai dengan toleransi pada anak.<br />Kriteria Hasil: anak menunjukkan tanda – tanda tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan yang minimum.<br />Intervensi: <br /> Hindarkan palpasi area operasi jika tidak diperlukan.<br /> Masukkan selang rektal jika diindikasikan, untuk membebaskan udara.<br /> Dorong untuk buang air untuk mencegah distensi vesika urinaria.<br /> Berikan perawatan mulut untuk memberikan rasa nyaman.<br /> Lubrikasi lubang hidung untuk mengurangi iritasi.<br /> Berikan posisi yang nyaman pada anak jika tidak ada kontraindikasi.<br /> Kolaborasi:<br />Berikan analgesi untuk mengatasi rasa nyeri.<br />Berikan antiemetik sesuai pesanan untuk rasa mual dan muntah.<br /> Diagnosa keparawatan: inefektif termoregulasi berhubungan dengan proses inflamasi, demam.<br />Tujuan: termoregulasi tubuh anak normal.<br />Kriteria Hasil: tidak ada tanda – tanda kenaikan suhu.<br />Intervensi:<br /> Gunakan tindakan pendinginan untuk mengurangi demam, sebaiknya 1 jam setelah pemberian antipiretik.<br /> Meningkatkan sirkulasi udara.<br /> Mengurangi temperatur lingkungan.<br /> Menggunakan pakaian yang ringan / tipis.<br /> Paparkan kulit terhadap udara.<br /> Gunakan kompres dingin pada kulit.<br /> Cegah terjadi kedinginan, bila anak menggigil tambahkan pakaian.<br /> Monitor temperatur.<br /> Kolaborasi: berikan antipiretik sesuai dengan berat badan bayi.<br /><br />4. Evaluasi<br />a. Nyeri pada abdomen dapat berkurang<br />b. Syok hipovolemik dapat teratasi dengan segera melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit.<br />c. Obstrusi usus dapat teratasi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />PATHWAYS INTUSUSEPSI<br /><br /><br />Infeksi virus adeno<br /><br />Pembengkakan bercak jaringan limfoid<br /><br />Peristaltik usus meningkat<br /><br />Usus berinvaginasi ke dalam usus dibawahnya<br /><br /> Edema dan perdarahan mukosa Peregangan usus<br /><br /> Sumbatan/obstruksi usus Pemajanan reseptor nyeri<br /><br /> Akumulasi gas dan cairan di dalam lumen<br /> sebelah proksimal dari letak obstruksi Nyeri<br /><br /> Distensi<br /><br /> Muntah<br /> <br /> Kehilangan cairan dan elektrolit<br /><br /> Volume ECF menurun<br /><br />Syok hipovolemik<br /><br /><br /><br /><br />BAB IV <br /><br />PENUTUP<br /><br /><br />A. Kesimpulan<br />Berbagai gangguan yang terdapat pada saluran pencernaan bayi dan anak salah satunya adalah adanya obstruksi pada usus dan hal ini mencakup mekanik maupun paralitik. Sedangkan intususepsi merupakan salah satu bentuk gangguan obstruksi usus yang sifatnya mekanik.<br />Intususepsi merupakan gangguan saluran pancernaan yang dimanifestasikan dengan terjadinya invaginasi usus ke dalam bagian usus di bawahnya. Masalah yang utama muncul yaitu terjadinya rasa nyeri abdomen yang paroksismal. Serta terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit hingga terjadi syok hipovolemik.<br /><br />B. Saran<br />Dalam memberikan perawatan kepada bayi atau anak dengan gangguan saluran pencernaan obstruksi usus mekanik ini yaitu intususepsi harus diperhatikan ancaman yang dapat muncul selain rasa nyeri yaitu resiko terjadinya syok yang dapat menyebabkan kematian. Sehingga tenaga kesehatan harus benar – benar memperhatikan tanda – tanda yang mengarah ke arah syok.<br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Staf Pengajar Ilmu kesehatan masyarakat. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI, 1985<br /><br />Pilliteri, Adele. Child health nursing, care of the child and family, Los Angeles California, Lippincott, 1999<br /><br />Wong, Donna L, Marilyn Hockenberry- Eaton, Wilson- Winkelstein, Wong’s essentials of pediatric nursing, America, Mosby, 2001<br /><br />Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa Setiawan,dkk. Jakarta, 2001<br /><br />Wong, Donna L. Wong and Whaley’s clinical Manual Of Pediatric Nursing. St. Louis Nissori: Mosby, 1996SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-25886625843726979472010-11-22T01:46:00.001-08:002010-11-22T01:46:32.393-08:00ASKEP ANAK IKTERUSIKTERUS<br /><br />A. Batasan-Batasan<br />1. Ikterus Fisiologis<br /> Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987): <br />• Timbul pada hari kedua-ketiga<br />• Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.<br />• Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari<br />• Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %<br />• Ikterus hilang pada 10 hari pertama<br />• Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu<br /> <br />2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia<br /> Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.<br /> <br />3. Kern Ikterus<br /> Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.<br /><br />D. Etiologi<br />1. Peningkatan produksi :<br />• Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.<br />• Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.<br />• Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .<br />• Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.<br />• Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).<br />• Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.<br />• Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.<br />2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.<br />3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksion yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Siphilis.<br />4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.<br />5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif<br /><br />E . Metabolisme Bilirubin <br /> Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site). <br /> Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.<br /><br /><br /> <br />Diagram Metabolisme Bilirubin<br /><br /><br /><br />ERITROSIT<br /><br /> <br /><br />HEMOGLOBIN<br /><br /> <br /><br />HEM<br /><br /> GLOBIN<br /><br />BESI/FE<br />BILIRUBIN INDIREK<br />( tidak larut dalal air )<br /><br /> Terjadi pada <br />Limpha, Makofag<br /><br /><br />BILIRUBIN BERIKATAN DENGAN ALBUMIN<br /><br /> Terjadi dalam <br />plasma darah<br /><br />MELALUI HATI<br /><br /> <br /><br />BILIRUBIN BERIKATAN DENGAN GLUKORONAT/ GULA RESIDU BILIRUBIN DIREK<br />( larut dalam air )<br /> Hati<br /><br /><br />BILIRUBIN DIREK DIEKSRESI KE KANDUNG EMPEDU<br /> <br /><br /><br /><br />Melalui <br />Duktus Billiaris<br /><br />KANDUNG EMPEDU KE DEUDENUM<br /><br /> <br /> BILIRUBIN DIREK DI EKSKRESI MELALUI URINE & FECES <br /><br /> <br />F. Patofisiologi Hiperbilirubinemia<br /><br /> Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.<br /> Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.<br /> Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.<br /> Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).<br /><br />G. Penata Laksanaan Medis<br /> Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :<br />1. Menghilangkan Anemia<br />2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi<br />3. Meningkatkan Badan Serum Albumin<br />4. Menurunkan Serum Bilirubin<br /> Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.<br /><br /><br />Fototherapi<br /> Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.<br /> Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.<br /> Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.<br /><br />Tranfusi Pengganti<br /> Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :<br />1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.<br />2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.<br />3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.<br />4. Tes Coombs Positif<br />5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.<br />6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.<br />7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.<br />8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.<br />9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.<br /><br />Transfusi Pengganti digunakan untuk :<br />1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.<br />2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)<br />3. Menghilangkan Serum Bilirubin <br />4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin<br /> <br /> Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil. <br /><br /><br />Therapi Obat<br /> Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).<br />Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.<br /><br />Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:<br />1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.<br />Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sbb: <br />• Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.<br />• Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)<br />• Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.<br /><br />Pemeriksaan yang perlu dilakukan:<br />• Kadar Bilirubin Serum berkala.<br />• Darah tepi lengkap.<br />• Golongan darah ibu dan bayi.<br />• Test Coombs.<br />• Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.<br /><br />2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.<br />• Biasanya Ikterus fisiologis.<br />• Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.<br />• Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.<br />• Polisetimia.<br />• Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll).<br /><br />Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan:<br />• Pemeriksaan darah tepi.<br />• Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.<br />• Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.<br />• Pemeriksaan lain bila perlu.<br /><br />3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.<br />• Sepsis.<br />• Dehidrasi dan Asidosis.<br />• Defisiensi Enzim G6PD.<br />• Pengaruh obat-obat.<br />• Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.<br /><br />4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya: <br />• Karena ikterus obstruktif.<br />• Hipotiroidisme<br />• Breast milk Jaundice.<br />• Infeksi.<br />• Hepatitis Neonatal.<br />• Galaktosemia.<br /><br />Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:<br />• Pemeriksaan Bilirubin berkala.<br />• Pemeriksaan darah tepi.<br />• Skrining Enzim G6PD.<br />• Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.<br /><br />ASUHAN KEPERAWATAN<br /> Untuk memberikan keperawatan yang paripurna digunakan proses keperawatan yang meliputi Pengkajian, Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi.<br /><br />Pengkajian<br />1. Riwayat orang tua :<br /> Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.<br />2. Pemeriksaan Fisik : <br /> Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui yang lemah, Iritabilitas.<br />3. Pengkajian Psikososial : <br /> Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.<br /> <br />4. Pengetahuan Keluarga meliputi : <br /> Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988)<br /><br />2. Diagnosa, Tujuan , dan Intervensi<br /> Berdasarkan pengkajian di atas dapat diidentifikasikan masalah yang memberi gambaran keadaan kesehatan klien dan memungkinkan menyusun perencanaan asuhan keperawatan. Masalah yang diidentifikasi ditetapkan sebagai diagnosa keperawatan melalui analisa dan interpretasi data yang diperoleh.<br />1. Diagnosa Keperawatan : Kurangnya volume cairan sehubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.<br /> Tujuan : Cairan tubuh neonatus adekuat<br /> Intervensi : Catat jumlah dan kualitas feses, pantau turgor kulit, pantau intake output, beri air diantara menyusui atau memberi botol.<br />2. Diagnosa Keperawatan : Gangguan suhu tubuh (hipertermi) sehubungan dengan efek fototerapi<br /> Tujuan : Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan<br /> Intervensi : Beri suhu lingkungan yang netral, pertahankan suhu antara 35,5 - 37 C, cek tanda-tanda vital tiap 2 jam.<br /> <br />3. Diagnosa Keperawatan : Gangguan integritas kulit sehubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare<br /> Tujuan : Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan<br /> Intervensi : Kaji warna kulit tiap 8 jam, pantau bilirubin direk dan indirek , rubah posisi setiap 2 jam, masase daerah yang menonjol, jaga kebersihan kulit dan kelembabannya.<br /> <br />4. Diagnosa Keperawatan : Gangguan parenting sehubungan dengan pemisahan <br /> Tujuan : Orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.<br /> Intervensi : Bawa bayi ke ibu untuk disusui, buka tutup mata saat disusui, untuk stimulasi sosial dengan ibu, anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya, libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan, dorong orang tua mengekspresikan perasaannya.<br /> <br />5. Diagnosa Keperawatan : Kecemasan meningkat sehubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.<br /> Tujuan : Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-gejala untuk menyampaikan pada tim kesehatan<br /> Intervensi :<br /> Kaji pengetahuan keluarga klien, beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah.<br /> <br />6. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan efek fototherapi<br /> Tujuan : Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat fototherapi<br /> Intervensi :<br /> Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya; usahakan agar penutup mata tida menutupi hidung dan bibir; matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam; buka penutup mata setiap akan disusukan; ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan.<br /> <br />7. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan tranfusi tukar<br /> Tujuan : Tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi <br /> Intervensi :<br /> Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan; basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam sebelum tindakan, pertahankan suhu tubuh bayi, catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar; pantau tanda-tanda vital; selama dan sesudah tranfusi; siapkan suction bila diperlukan; amati adanya ganguan cairan dan elektrolit; apnoe, bradikardi, kejang; monitor pemeriksaan laboratorium sesuai program.<br /><br />Aplikasi Discharge Planing.<br /> Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi dengan hiperbilirubin (seperti rangsangan, latihan, dan kontak sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama perawatan di Rumah Sakit dan perawatan lanjutan dirumah.<br /><br />Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat melakukan tindakan yang terbaik dalam perawatan bayi hiperbilirubinimea (warley &Wong, 1994):<br />1. Anjurkan ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguan-gangguan kesadaran seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui menurun.<br />2. Anjurkan ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk mempertahankan kelancaran air susu.<br />3. Memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk menurunkan kadar bilirubin bayi.<br />4. Menasehatkan pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal mencegah peningkatan bilirubin. <br />5. Mengajarkan tentang perawatan kulit : <br />• Memandikan dengan sabun yang lembut dan air hangat. <br />• Siapkan alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah sekitar kulit yang rusak. <br />• Gunakan pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan kelembaban kulit.<br />• Hindari pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.<br />• Hindari penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat mengakibatkan lecet karena gesekan<br />• Melihat faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti penekanan yang lama, garukan .<br />• Bebaskan kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena bab dan bak.<br />• Melakukan pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor kulit, capilari reffil.<br /><br />Hal lain yang perlu diperhatikan adalah : <br />1. Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 -38 celsius)<br />2. Perawatan tali pusat / umbilikus<br />3. Mengganti popok dan pakaian bayi<br />4. Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan sesuatu yang baru<br />5. Temperatur / suhu<br />6. Pernapasan<br />7. Cara menyusui<br />8. Eliminasi<br />9. Perawatan sirkumsisi<br />10. Imunisasi<br />11. Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :<br />• letargi ( bayi sulit dibangunkan )<br />• demam ( suhu > 37 celsius)<br />• muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)<br />• diare ( lebih dari 3 x)<br />• tidak ada nafsu makan.<br />12. Keamanan<br />• Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau, gunting) yang mudah dijangkau oleh bayi / balita.<br />• Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya<br />• Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana lainnya.<br />• Pengawasan yang ketat terhadap bayi oleh saudara - saudaranya.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />H. Markum : ” Ilmu Kesehatan Anak”. Buku I, Jakarta, FKUI, 1991.<br />Bobak, J. : ”Materity and Gynecologic Care”, Precenton, 1985.<br />Cloherty, P. John : ”Manual of Neonatal Care”, USA, 1981.<br />Harper : ”Biokimia”, Jakarta, EGC, 1994.<br />Jack A. Pritchard dkk : ”Obstetri Williams”, Edisi XVII, Surabaya, Airlangga University Press, 1991<br />Marlene Mayers, et. al. : ”Clinical Care Planes Pediatric Nursing”, New York, Mc.Graw-Hill. Inc, 1995.<br />Mary Fran Hazinki : ”Nursing Care of Critically Ill Child”, Toronto, The Mosby Compani CV, 1984.<br />Susan R. J. et. al. : ”Child Health Nursing”, California, 1988.SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-6334394926132560422010-11-22T01:45:00.004-08:002010-11-22T01:46:08.601-08:00ASKEP ANAK GLUMERULONEFRITIS AKUTASUAHAN KEPERAWATAN ANAK <br />DENGAN GLUMERULONEFRITIS AKUT<br /><br /><br />a. Pengertian <br />Glumerulonefritis akut [ GNA ] adalah penyakit yang menyerang glomeruli dari kedua ginjal, sebagai suatu reaksi imunologi terhadap bakteri atau virus tertentu.<br /> <br />GNA sering ditemukan pada anak umur 3-7 tahun, lebih sering pada pria.<br />Biasanya didahului oleh infeksi ekstrarenal, terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit.<br /><br />b. Etiologi :<br />Faktor etiologinya banyak dan bervariasi :<br />- Reaksi imunologi : infeksi lupus erythematosus, streptococus.<br />- Cedera vaskuler : Hipertensi, DM.<br />- Koagulasi koagulan yang menyebar [ DIC ]<br /><br />c. Patofisiologi<br />GNA adalah akibat reaksi antigen antibodi dengan jaringan glumerulus yang menimbulkan bengkak dan kematian sel—sel kapiler [ epitel, membran lapisan bawah, dan endotelium.] Reaksi antigen antibodi mengaktifkan jalur komplemen yang berdampak chemotaksis kepada polymorfonuklear [ PMN ] lekosit dan mengeluarkan ensim lisosomal yang menyerang membran dasar glomerolus yang menimbulkan peningkatan respon pada ketiga jenis sel glomerulus.<br /><br /> Tanda dan gejala yang berefleksi kepada kerusakan glumerulus dan terjadi kebocoran protein masuk kedalam urin [ proteinuri dan eritrosit / hematuri ]. Karena proses penyakit berlanjut terjadilah parut yang berakibat menurunnya filtrasi glumerulus dan berdampak oliguri dan retensi air, sodium dan produk sisa nitrogen. Kesemuanya ini berdampak meningkatnya volume cairan, edem, dan asotemia yang yang ditampilkan melalui napas pendek, edem yang dependen, sakit kepala, lemah dan anoreksia.<br /><br /><br /><br />d. Gejala klinik<br />Gejala yang sering adalah hematuri ; kadang-kadang disertai edema ringan disekitar mata / seluruh tubuh umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila payah jantung dan hipertensi.<br />Bila terjadi kerusakan ginjal maka tekanan darah akan tinggi . Suhu tubuh tidak seberapa tinggi tapi dapat tinggi pada hari pertama . Muntah tidak nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang menyertai GNA.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Reaksi imunologi<br /><br />Bengkak & Kematian <br />Sel-sel kapiler Glumerolus<br /><br />Jalur komplemen aktif<br />[chemotaksis]<br /><br />ensim lisosomal menyerang BGM<br /><br />Kerusakan glumerulus<br />[proteinuri dan hematuri]<br /><br /><br />timbul parut<br /><br />fungsi glumerulus berkurang <br /> <br />Pengkajian keperawatan :<br /><br />1. Identitas Klien: <br />GNA adalah suatu reaksi imunologi yang sering ditemukan pada anak umur 3-7 tahun lebih sering pada pria<br />2. Riwayat penyakit sebelumnya :<br />Adanya riwayat infeksi streptokokus beta hemolitik dan riwayat lupus eritematosus atau penyakit autoimun lain.<br />3. Riwayat penyakit sekarang : Klien mengeluh kencing berwarna seperti cucian daging, bengkak sekitar mata dan seluruh tubuh. Tidak nafsu makan, mual , muntah dan diare. Badan panas hanya sutu hari pertama sakit.<br />4. Pertumbuhan dan perkembangan :<br />- Pertumbuhan : <br />BB = 9x7-5/2=29 kg [ Behrman ], menurut anak umur 9 tahun Bbnya adalah BB umur 6 tahun = 20 kg ditambah 5-7 lb pertahun = 26 - 29 kg, tinggi badan anak 138 cm. Nadi 80—100x/menit, dan RR 18-20x/menit,, tekanan darah 65-108/60-68 mm Hg. Kebutuhan kalori 70-80 kal/kgBB/hari. Gigi pemanen pertama /molar ,umur 6-7 tahun gigi susu mulai lepas, pada umur 10—11 tahun jumlah gigi permanen 10-11 buah. <br />- Perkembangan :<br />Psikososial : Anak pada tugas perkembangan industri X inferioritas, dapat menyelesaikan tugas menghasilkan sesuatu<br />Psikoseksual :<br /><br />5. Pengkajian Perpola<br />1]. Pola nutrisi dan metabolik:<br />Suhu badan normal hanya panas hari pertama sakit. Dapat terjadi kelebihan beban sirkulasi karena adanya retensi natrium dan air, edema pada sekitar mata dan seluruh tubuh. Klien mudah mengalami infeksi karena adanya depresi sistem imun. Adanya mual , muntah dan anoreksia menyebabkan intake nutrisi yang tidak adekuat. BB meningkat karena adanya edema. Perlukaan pada kulit dapat terjadi karena uremia. <br />2]. Pola eliminasi :<br /> eliminasi alvi tidak ada gangguan, eliminasi uri : gangguan pada glumerulus menyebakan sisa-sisa metabolisme tidak dapat diekskresi dan terjadi penyerapan kembali air dan natrium pada tubulus yang tidak mengalami gangguan yang menyebabkan oliguria sampai anuria ,proteinuri, hematuria.<br />3]. Pola Aktifitas dan latihan :<br />Pada Klien dengan kelemahan malaise, kelemahan otot dan kehilangan tonus karena adanya hiperkalemia. Dalam perawatan klien perlu istirahat karena adanya kelainan jantung dan dan tekanan darah mutlak selama 2 minggu dan mobilisasi duduk dimulai bila tekanan ddarah sudah normaal selama 1 minggu. Adanya edema paru maka pada inspeksi terlihat retraksi dada, pengggunaan otot bantu napas, teraba , auskultasi terdengar rales dan krekels , pasien mengeluh sesak, frekuensi napas. Kelebihan beban sirkulasi dapat menyebabkan pemmbesaran jantung [ Dispnea, ortopnea dan pasien terlihat lemah] , anemia dan hipertensi yang juga disebabkan oleh spasme pembuluh darah. Hipertensi yang menetap dapat menyebabkan gagal jantung. Hipertensi ensefalopati merupakan gejala serebrum karena hipertensi dengan gejala penglihatan kabur, pusing, muntah, dan kejang-kejang. GNA munculnya tiba-tiba orang tua tidak mengetahui penyebab dan penanganan penyakit ini.<br />4]. Pola tidur dan istirahat :<br />Klien tidak dapat tidur terlentang karena sesak dan gatal karena adanya uremia. keletihan, kelemahan malaise, kelemahan otot dan kehilangan tonus<br />5]. Kognitif & perseptual :<br />Peningkatan ureum darah menyebabkan kulit bersisik kasar dan rasa gatal.<br />Gangguan penglihatan dapat terjadi apabila terjadi ensefalopati hipertensi. Hipertemi terjadi pada hari pertama sakit dan ditemukan bila ada infeksi karena inumnitas yang menurun.<br />6]. Persepsi diri :<br />Klien cemas dan takut karena urinenya berwarna merah dan edema dan perawatan yang lama. Anak berharap dapat sembuh kembali seperti semula<br />7]. Hubungan peran : <br />Anak tidak dibesuk oleh teman – temannya karena jauh dan lingkungan perawatann yang baru serta kondisi kritis menyebabkan anak banyak diam.<br />8]. Toleransi koping<br />9]. Nilai keyakinan :<br />Klien berdoa memohon kesembuhan sebelum tidur.<br /><br />Pemeriksaan penunjang :<br />1. LED tinggi dan Hb rendah<br />2. Kimia darah:<br /> Serum albumin turun sedikit, serum komplemen turun, ureum dan kreatinin naik. Titer antistreptolisin umumnya naik [ kecuali infeksi streptokok yang mendahului mengenai kulit saja ].<br />3. Jumlah urin mengurang, BJnya rendah , albumin +, erittrosit ++, leukosit + dan terdapat silinder leukosit, Eri dan hialin.<br />4. Kultur darah dan tenggorokan : ditemukan kuman streptococus Beta Hemoliticus gol A<br />5. IVP : Test fungsi Ginjal normal pada 50 % penderita<br />6. Biopsi Ginjal : secara makroskopis ginjal tampak membesar, pucat dan terdapat titik-titik perdarahan pada kortek. Mikroskopis ttampak hammpir semua glomerulus terkena. Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga lumen dan ruang simpai Bowman , Infiltrasi sel epitelkapsul dan sel PMN dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron tampak BGM tidak teratur. Terdapat gumpalan humps di sub epitel mungkin dibentuk oleh globulin-gama, komplemenn dan antigen streptokokus. <br /><br /><br />.<br /><br /><br /><br />Diagnosa keperawatan :<br />1. Intoleransi aktifitas b.d. kekurangan protein dan disfungsi ginjal<br />2. Potensial kelebihan volume cairan b.d. retensi air dan natrium serta disfungsi ginjal.<br />3. Potensial terjadi infeksi [ ISK, lokal, sistemik ] b.d. depresi sistem imun<br />4. Potensial gangguan perfusi jaringan: serebral/kardiopulmonal b.d. resiko krisis hipertensi.<br />5. Perubahan integritas kulit b.d. imobilisasi, uremia, kerapuhan kapiler dan edema.<br />6. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit, perawatan dirumah dan instruksi evaluasi.<br /> <br />Rencana keperawatan<br />1. Intoleransi aktifitas b.d. kekurangan protein dan ddisfungsi ginjal<br />Tujuan : Klien dapat toleransi dengan aktifitas yang dianjurkan.<br /><br />Rencana Rasional<br />1. Pantau kekurangan protein yang berlebihan [ proteinuri, albuminuria ]<br />2. Gunakan diet protein untuk mengganti protein yang hilang.<br />3. Beri diet tinggi protein tinggi karbohidrat.<br />4. Tirah baring<br /><br />5. Berikan latihan selama pembatasan aktifitas<br /><br />6. Rencana aktifitas denga waktu istirahat.<br />7. Rencanakan cara progresif untuk kembali beraktifitas normal ; evaluasi tekanan darah dan haluaran protein urin.<br /> 1. Kekurangan protein beerlebihan dapat menimbulkan kelelahan.<br />2. Diet yang adekuat dapat mengembalikan kehilangan<br />3. TKTP berfungsi menggantikan <br />4. Tirah baring meningkatkan mengurangi penggunaan energi.<br />5. Latihan penting untu kmempertahankan tunos otot<br />6. Keseimbangan aktifitas dan istirahat mempertahankan kesegaran.<br />7. Aktifitas yang bertahap menjaga kesembangan dan tidak mmemperparah proses penyakit<br /><br />2. Potensial kelebihan volume cairan b.d. retensi air dan natrium serta disfungsi ginjal.<br />Tujuan : Klien tidak menunjukan kelebihan volume cairan <br />Rencana Rasional<br />1. Pantau dan laporkan tanda dan gejala kelebihan cairan : <br />2. Ukur dan catat intak dan output setiap 4-8 jam<br />3. Catat jumlah dan karakteristik urine<br />4. Ukur berat jenis urine tiap jam dan timbang BB tiap hari<br />5. Kolaborasi dengan gi i dalam pembatasan diet natrium dan protein<br />6. Berikan es batu untuk mengontrol rasa haus dan maasukan dalam perhitungan intak<br />7. Pantau elektrolit tubuh dan observasi adanya tanda kekurangan elektrolit tubuh <br />- Hipokalemia : kram abd,letargi,aritmia<br />- Hiperkalemia : kram otot, kelemahan<br />- Hipokalsemia : peka rangsang pada neuromuskuler<br />- Hiperfosfatemia: hiperefleksi,parestesia, kram otot, gatal, kejang<br />- Uremia : kacau mental, letargi,gelisah<br />8. Kaji efektifitas pemberian elektrolit parenteral dan oral<br /> 1,2. Memonitor kelebihan cairan sehingga dapat dilakukan tindakan penanganan<br /><br /><br />3,4.Jumlah , karakteristik urin dan BB dapat menunjukan adanya ketidak seimbangan cairan.<br />5.Natrium dan protein meningkatkan osmolaritas sehingga tidak terjadi retriksi cairan.<br />7. Rangsangan dingin ddapat merangsang pusat haus<br />8. Memoonitor adanya ketidak seimbangan elektrolit dan menentukan tindakan penanganan yang tepat.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />8.Pemberian elektrolit yang tepat mencegah ketidak seimbangan elektrolit.<br /><br /><br />3. Potensial terjadi infeksi [ ISK, lokal, sistemik ] b.d. depresi sistem imun<br />Tujuan : Klien tidak mengalami infeksi setelah diberikan asuhan keperawatan.<br />Rencana Rasional<br />1. Kaji efektifitas pemberian imunosupresan<br /><br /><br />2. Pantau leukosit <br />3. Pantau suhu tiap 4 jam<br />4. Perhatikan karakteristik urine, kolaborasi jikka keruh dan berbau<br />5. Hindari pemakaian alat/kateter pada saluran uriine<br />6. Pantau tanda dan gejala ISK dan lakukan tindakan pencegahan ISK.<br />7. Gunakan dan anjurkan tehnik cuci tangan yang baik.<br />8. Anjurkan pada klien untuk menghindari orang terinfeksi<br />9. Lakukan pencegahan kerusakan integritas kulit<br />10. Anjurlkan pasien ambulasi dini.<br /> 1.Imunosupresan berfunsi menekan sisteem imun bila pemberiannya tidak ekeftif maka tubbuh akan sangat rentan terhadap infeksi<br />2.Indikator adanya infeksi<br />3.Memonitor suhu & mengantipasi infeksi<br />4. Urine keruh mmenunjukan adanya infeksi saluran kemiih<br />5. Kateter dapat menjadi media masuknya kuman ke saluran kemih<br />6. Memonitor adanya infeksi sehingga dapat dilakukan tindakan dengan cepat<br />7. Tehnik cuci tangan yang baik dapat memutus rantai penularan.<br />8. Sistim imun yang terganggu memudahkan untu terinfeksi.<br />9. Kerusakan integritas kulit merupakan hilangnya barrier pertama tubuh<br /><br />4. Potensial gangguan perfusi jaringan: serebral/kardiopulmonal b.d. resiko krisis hipertensi.<br />Tujuan : Klien tidak mengalami perubahan perfusi jaringan.<br />Rencana Rasional<br />1. Pantau tanda dan gejala krisis hipertensi [ Hipertensi, takikardi, bradikardi, kacau mental, penurunan tingkat kesadaran, sakit kepala, tinitus, mual, muntuh, kejang dan disritmia].<br />2. Pantau tekanan darah tiap jam dan kolaborasi bila ada peningkatan TD sistole >160 dan diastole > 90 mm Hg<br />3. Kaji keefektifan obat anti hipertensi<br />4. Pertahankan TT dalam posisi rendah 1. Krisis hipertensi menyebabkan suplay darah ke organ tubuh berkurang.<br />2. Tekanan darah yang tinggi menyebabkan suplay darah berkurang.<br />3. Efektifitas obat anti hipertensi penting untuk menjaga adekuatnya perfusi jarringan.<br />4. Posisi tidur yang rendah menjaga suplay darah yang cukup ke daerah cerebral <br /><br />5. Perubahan integritas kulit b.d. imobilisasi, uremia, kerapuhan kapiler dan edema.<br />Tujuan : Klien tidak menunjukan adanya perubahan integritas kulit selama menjalani perawatan.<br />Rencana Rasional<br />1. Kaji kulit dari kemerahan, kerusakan, memar, turgor dan suhu.<br />2. Jaga kulit tetap kering dan bersih<br />3. Bersihkan & keringkan daerah perineal setelah defikasi<br />4. Rawat kulit dengan menggunakan lotion untuk mencegah kekeringan untuk daerah pruritus.<br />5. Hindari penggunaan sabun yang keras dan kasar pada kulit klien<br />6. Instruksikan klien untuk tidak menggaruk daerah pruritus.<br />7. Anjurkan ambulasi semampu klien.<br />8. Bantu klien untuk mengubah posisi setiap 2 jam jika klien tirah baring.<br />9. Pertahankan linen bebas lipatan<br />10. Beri pelindung pada tumit dan siku.<br />11. Lepaskan pakaian, perhiasan yang dapat menyebabkan sirkulasi terhambat.<br />12. Tangani area edema dengan hati -hati.<br />13. Berikan suntikan dengan hati-hati .<br />14. Perttahankan nutrisi adekuat. 1. Mengantisipasi adanya kerusakan kulit sehingga dapat diberikan penangan dini.<br />2,3. Kulit yang kering dan bersih tidak mudah terjadi iritasi dan mengurangi media pertumbuhan kuman.<br />4. Lotion dapat melenturkan kulit sehingga tidak mudah pecah/rusak.<br />5.Sabun yang keras dapat menimbulkan kekeringan kulit dan sabun yang kasar dapat menggores kulit.<br />6. Menggaruk menimbulkan kerusakan kulit.<br />7,8.Ambulasi dan perubahan posisi meningkatkan sirkulasi dan mencegah penekanan pada satu sisi.<br />10. Lipatan menimbulkan ttekanan pada kulit. <br />11. Sirkulasi yang terhambat memudahkan terjadinya kerusakan kulit..<br />12. Elastisitas kulit daerah edema sangat kurang sehingga mudah rusak<br />14. Nutrisi yang adekuat meningkatkan pertahanan kulit <br /><br /><br /><br /><br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Tucker Mrrtin, at al. [1998] , Standar Perawatan Pasien, “ Proses Keperawatan, Diagnosa, dan evaluasi “, EGC, Jakarta.<br /><br />Long Barbara C.,[1989], Essential of Medical-Surgikal Nursing a Nursing Process Approach, The CV Mosby Company St Louis, USA.<br /><br />Junadi Purnaman, at al , [1997] Kapita Selekta Kedokteran , Media Aeskulapius, Jakarta.SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-537736501542101782010-11-22T01:45:00.003-08:002010-11-22T01:45:46.608-08:00ASKEP ANAK DENGAN DHFASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DHF<br /><br />A. Pengertian<br />DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh Arbovirus ( arthro podborn virus ) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk AEDES ( AEDES ALBOPICTUS dan AEDES AEGEPTY )<br /><br />B. Penyebab<br />Penyebab DHF adalah Arbovirus ( Arthropodborn Virus ) melalui gigitan nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dn Aedes Aegepty )<br /><br />C. Tanda dan gejala <br />Tanda dan gejala penyakit DHF adalah :<br />- Meningkatnya suhu tubuh<br />- Nyeri pada otot seluruh tubuh<br />- Suara serak<br />- Batuk<br />- Epistaksis<br />- Disuria<br />- Nafsu makan menurun<br />- Muntah<br />- Ptekie<br />- Ekimosis<br />- Perdarahan gusi<br />- Muntah darah<br />- Hematuria masih<br />- Melena<br /><br />D. Klasifikasi DHF menurut WHO<br />Derajat I<br />Demam disertai gejala tidak khas, terdapat manifestasi perdarahan ( uju tourniquet positif )<br /><br />Derajat II<br />Derajat I ditambah gejala perdarahan spontan dikulit dan perdarahan lain.<br /><br />Derajat III<br />Kegagalan sirkulasi darah, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun ( 20 mmhg, kulit dingin, lembab, gelisah, hipotensi )<br /><br />Derajat IV<br />Nadi tak teraba, tekanan darah tak dapat diukur<br /><br />Pemeriksaan Diagnostik<br />- Darah Lengkap = Hemokonsentrasi ( Hemaokrit meningkat 20 % atau lebih ) Thrombocitopeni ( 100. 000/ mm3 atau kurang )<br />- Serologi = Uji HI ( hemaaglutinaion Inhibition Test ) <br />- Rontgen Thorac = Effusi Pleura<br /><br />E. Pathways<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />F. Penatalaksanaan <br /> Medik<br />A. DHF tanpa Renjatan<br />- Beri minum banyak ( 1 ½ - 2 Liter / hari )<br />- Obat anti piretik, untuk menurunkan panas, dapat juga dilakukan kompres<br />- Jika kejang maka dapat diberi luminal ( antionvulsan ) untuk anak <1th dosis 50 mg Im dan untuk anak >1th 75 mg Im. Jika 15 menit kejang belum teratasi , beri lagi luminal dengan dosis 3mg / kb BB ( anak <1th dan pada anak >1th diberikan 5 mg/ kg BB.<br />- Berikan infus jika terus muntah dan hematokrit meningkat<br /><br />B. DHF dengan Renjatan<br />- Pasang infus RL<br />- Jika dengan infus tidak ada respon maka berikan plasma expander ( 20 – 30 ml/ kg BB )<br />- Tranfusi jika Hb dan Ht turun<br /> Keperawatan<br />1. Pengawasan tanda – tanda Vital secara kontinue tiap jam<br />- Pemeriksaan Hb, Ht, Trombocyt tiap 4 Jam<br />- Observasi intik output<br />- Pada pasienDHF derajat I : Pasien diistirahatkan, observasi tanda vital tiap 3 jam , periksa Hb, Ht, Thrombosit tiap 4 jam beri minum 1 ½ liter – 2 liter per hari, beri kompres<br />- Pada pasien DHF derajat II : pengawasan tanda vital, pemeriksaan Hb, Ht, Thrombocyt, perhatikan gejala seperti nadi lemah, kecil dan cepat, tekanan darah menurun, anuria dan sakit perut, beri infus.<br />- Pada pasien DHF derajat III : Infus guyur, posisi semi fowler, beri o2 pengawasan tanda – tanda vital tiap 15 menit, pasang cateter, obsrvasi productie urin tiap jam, periksa Hb, Ht dan thrombocyt.<br /><br />2. Resiko Perdarahan<br />- Obsevasi perdarahan : Pteckie, Epistaksis, Hematomesis dan melena<br />- Catat banyak, warna dari perdarahan<br />- Pasang NGT pada pasien dengan perdarahan tractus Gastro Intestinal<br /><br />3. Peningkatan suhu tubuh<br />- Observasi / Ukur suhu tubuh secara periodik<br />- Beri minum banyak<br />- Berikan kompres<br /><br /><br /><br />F. Asuhan Keperawatan pada pasien DHF<br />Pengkajian<br />- Kaji riwayat Keperawatan<br />- Kaji adanya peningkatan suhu tubuh, tanda perdarahan , mual muntah, tidak nafsu makan, nyeri ulu hai, nyeri otot dan tanda – tanda renjatan ( denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab, terutama pada ekstremitas, sianosis, gelisah, penurunan kesadaran )<br /><br />Diagnose Keperawatan<br />1. Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler , perdarahan, muntah, dan demam<br />2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan<br />3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan<br />4. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksivirus<br />5. Perubahan proses proses keluarga berhubungan dengan kondisi anak<br /><br />Perencanaan<br />1. Anak menunjukkan tanda – tanda terpenuhinya kebutuhan cairan<br />2. Anak menunjukkan tanda – tanda perfusi jaringan perifer yang adekwat<br />3. Anak menunjukkan tanda – tanda vital dalam batas normal<br />4. Keluarga menunjukkan kekoping yang adaptif<br />Implementasi<br />1. Mencegah terjadinya kekurangan volume cairan<br />- Mengobservasi tanda – tanda vital paling sedikit setiap 4 jam<br />- Monitor tanda – tanda meningkatnya kekurangan cairan : turgor tidak elastis, ubun – ubun cekung, produktie urin menurun<br />- Mengobservasi dan mencatat intake dan output<br />- Memberikan hidrasi yang adekwat sesuai dengan kebutuhan tubuh<br />- Memonitor nilai laboratorium : elektrolit / darah BJ urin , serum tubuh<br />- Mempertahankan intake dan output yang adekwat <br />- Memonitor dan mencatat berat badan<br />- Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam<br />- Mengurangi kehilangan cairan yang tidak telihat ( insesible water loss / IWL )<br /><br />2. Perfusi jaringan Adekwat<br />- Mengkaji dan mencatat tanda – tanda Vital ( kualitas dan Frekwensi denyut nadi, tekanan darah , Cappilary Refill )<br />- Mengkaji dan mencatat sirkulasi pada ektremitas ( suhu , kelembaban dan warna )<br />- Menilai kemungkinan terjadinya kematian aringan pada ekstremitas seperti dingin , neri , pembengkakan kaki )<br /><br />3. Kebutuhan nutrisi adekwat<br />- Ijinka anak memakan makanan yang dapa ditoleransi anak. Rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.<br />- Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi <br />- Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tetapi sering<br />- Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama<br />- Mempertahankan kebersihan mulut pasien<br />- Menjelaskan pentingnya intake nutirisi yang adekwat untuk penyembuhan penyakit<br /><br />4. Mempertahankan suhu tubuh normal<br />- Ukur tanda – tanda vital suhu tubuh<br />- Ajarkan keluarga dala pengukuran suhu<br />- Lakukan “ tepid sponge” ( seka ) dengan air biasa<br />- Tingkatkan intake cairan<br />- Berikan terapi untuk menurunkan suhu<br />5. Mensupport koping keluarga Adaptif<br />- mengkaji perasaan dn persepsi orang tua atau anggota keluarga terhadap situasi yang penuh stress<br />- Ijinkan orang tua dan keluarga untuk memberikan respon secara panjang lebar dan identifikasi faktor yang paling mencmaskan keluarga<br />- Identifikasikan koping yang biasa digunakan dn seberapa besar keberhasilannya dalam mengatasi keadaan<br /><br />G. Pencegahan DHF<br />Menghindari atau mencegah berkembangnya nyamuk Aedes Aegepty dengan cara:<br />- Rumah selalu terang<br />- Tidak menggantung pakaian<br />- Bak / tempat penampungan air sering dibersihkan dan diganti airnya minimal 4 hari sekali<br />- Kubur barang – barang bekas yang memungkinkan sebagai tempat terkumpulnya air hujan<br />- Tutup tempat penampungan air<br />Perencanaan pemulangan dan PEN KES<br />- Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktifitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak<br />- Jelaskan terapi yang diberikan, dosis efek samping <br />- Menjelaskan gejala – gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk mengatasi gejala <br />- Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan<br />DAFTAR PUSTAKA<br />Buku ajar IKA infeksi dan penyakit tropis IDAI Edisi I. Editor : Sumarmo, S Purwo Sudomo, Harry Gama, Sri rejeki Bag IKA FKUI jkt 2002.<br />Christantie, Effendy. SKp, Perawatan Pasien DHF. Jakarta, EGC, 1995<br />Prinsip – Prinsip Keperawatan Nancy Roper hal 269 – 267SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-14719561467164813182010-11-22T01:45:00.001-08:002010-11-22T01:45:21.389-08:00ASKEP ANAK BRONKOPNEUMONIABRONKOPNEUMONIA<br /><br />A. Pengertian<br />Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada parenkim paru ( Betz C, 2002 )<br />Pneumonia adalah peradangan alveoli atau pada parenchim paru yang terjadi pada anak. (Suriadi Yuliani, 2001)<br />Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebabkan oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (IKA, 2001)<br />Jadi bronkopnemonia adalah infeksi atau peradangan pada jaringan paru terutama alveoli atau parenkim yang sering menyerang pada anak - anak<br /><br />B. Etiologi<br />Pneumonia bisa dikatakan sebagai komplikasi dari penyakit yang lain ataupun sebagai penyakit yang terjadi karena etiologi di bawah ini<br />Sebenarnya pada diri manusia sudah ada kuman yang dapat menimbulkan pneumonia sedang timbulnya setelah ada faktor- faktor prsesipitasi yang dapat menyebabkan timbulnya.<br /> Bakteri<br /> Organisme gram positif yang menyebabkan pneumonia bakteri adalah steprokokus pneumonia, streptococcus aureus dan streptococcus pyogenis.<br /> Virus<br />Pneumonia virus merupakan tipe pneumonia yang paling umum ini disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus yang merupakan sebagai penyebab utama pneumonia virus.<br /> Jamur<br />Infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung.<br /> Protozoa<br />Ini biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti pada penderita AIDS.<br /><br /><br /><br />C. Manifestasi klinis<br /> Pneumonia bakteri<br />Gejala awal :<br />- Rinitis ringan<br />- Anoreksia<br />- Gelisah<br />Berlanjut sampai :<br />- Demam<br />- Malaise<br />- Nafas cepat dan dangkal ( 50 – 80 )<br />- Ekspirasi bebunyi<br />- Lebih dari 5 tahun, sakit kepala dan kedinginan<br />- Kurang dari 2 tahun vomitus dan diare ringan<br />- Leukositosis<br />- Foto thorak pneumonia lobar<br /> Pneumonia virus<br />Gejala awal :<br />- Batuk<br />- Rinitis<br />Berkembang sampai<br />- Demam ringan, batuk ringan, dan malaise sampai demam tinggi, batuk hebat dan lesu<br />- Emfisema obstruktif<br />- Ronkhi basah<br />- Penurunan leukosit<br /> Pneumonia mikoplasma<br />Gejala awal :<br />- Demam<br />- Mengigil<br />- Sakit kepala<br />- Anoreksia<br />- Mialgia<br /> Berkembang menjadi :<br />- Rinitis<br />- Sakit tenggorokan<br />- Batuk kering berdarah<br />- Area konsolidasi pada pemeriksaan thorak<br />D. Patofisiologi<br />Adanya gangguan pada terminal jalan nafas dan alveoli oleh mikroorganisme patogen yaitu virus dan stapilococcus aurens, H. Influenza dan streptococcus pneumoniae bakteri.<br />Terdapat infiltrat yang biasanya mengenai pada multipel lobus. Terjadinya destruksi sel dengan menanggalkan debris celluler ke dalam lumen yang mengakibatkan gangguan fungsi alveolar dan jalan nafas.<br />Pada anak kondisi ini dapat akut maupun kronik misal pad AIDS, Cystic Fibrosis, aspirasi benda asing dan congenital yang dapat meningkatkan risiko pneumonia. <br />E. Pemeriksaan diagnostik<br />1. Foto polos : digunakan untuk melihat adanya infeksi di paru dan status pulmoner<br />2. Nilai analisa gas darah: untuk mengetahui status kardiopulmoner yang berhubungan dengan oksigenasi<br />3. Hitung darah lengkap dan hitung jenis: digunakan untuk menetapkan adanya anemia, infeksi dan proses inflamasi<br />4. Pewarnaan gram: untuk seleksi awal anti mikroba<br />5. Tes kulit untuk tuberkulin: untuk mengesampingkan kemungkinan terjadi tuberkulosis jika anak tidak berespon terhadap pengobatan<br />6. jumlah lekosit: terjadi lekositosis pada pneumonia bakterial<br />7. Tes fungsi paru: digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru, menetapkan luas dan beratnya penyakit dan membantu memperbaiki keadaan.<br />8. Spirometri statik digunakan untuk mengkaji jumlah udara yang diinspirasi<br />9. Kultur darah spesimen darah untuk menetapkan agen penyebab seperti <br /> virus <br /><br /><br /><br /><br /><br />Pathway<br /><br /><br /><br /><br /> <br />F. Penatalaksanaan medis<br /> Pengobatan supportive bila virus pneumonia<br /> Bila kondisi berat harus dirawat<br /> Berikan oksigen, fisiotherapi dada dan cairan intravena<br /> Antibiotik sesuai dengan program<br /> Pemeriksaan sensitivitas untuk pemberian antibiotik<br /><br />G. Penatalaksanaan perawatan<br />1. Pengkajian<br />- Kaji status pernafasan <br />- Kaji tanda- tanda distress pernafasan<br />- Kaji adanya demam, tachicardia, malaise, anoreksia, kegeisahan<br />2. Diagnosa keperawatan<br />1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret di jalan nafas<br />2. Gangguan petukaran gas berhubungan dengan meningkatnya sekresi dan akumulasi exudat <br />3. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan demam, menurunnya intake dan tachipnea<br />4. Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan invasif pemasangan infus<br />5. Risiko tinggi terjadi kerussakan integritas kulit berhubungan dengan bed rest total<br />6. Risiko tinggi terjadi cedera berhubungandengan kejang<br />3. Perencanaan<br />1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret di jalan nafas<br />Tujuan: setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam jalan nafas menjadi bersih<br />Kriteria:<br />- Suara nafas bersih tidak ada ronkhi atau rales, wheezing<br />- Sekret di jalan nafas bersih<br />- Cuping hidung tidak ada<br />- Tidak ada sianosis<br /><br />Intervensi:<br />- Kaji status pernafasan tiap 2 jam meliputi respiratory rate, penggunaan otot bantu nafas, warna kulit<br />- Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas<br />- Posisikan kepala lebih tinggi<br />- Lakukan postural drainage<br />- Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melaakukan fisiotherapi dada<br />- Jaga humidifasi oksigen yang masuk<br />- Gunakan tehnik aseptik dalam penghisapan lendir<br />2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya penumpukan cairan di alveoli paru <br />Tujuan: setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam pertukaran gas dalam alveoli adekuat.<br />Kriteria:<br />- Akral hangat<br />- Tidak ada tanda sianosis<br />- Tidak ada hipoksia jaringan<br />- Saturasi oksigen perifer 90%<br />Intervensi:<br />- Pertahankan kepatenan jalan nafas<br />- Keluarkan lendir jika ada dalam jalan nafas<br />- Periksa kelancaran aliran oksigen 5-6 liter per menit<br />- Konsul dokter jaga jika ada tanda hipoksia/ sianosis<br />- Awasi tingkat kesadaran klien<br />3. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan demam, menurunnya intake dan tachipnea<br />Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi kekurangan volume cairan.<br />Kriteria hasil:<br />- Tidak ada tanda dehidrasi<br />- Suhu tubuh normal 36,5-37 0C<br />- Kelopak mata tidak cekung<br />- Turgor kulit baik<br />- Akral hangat<br />Intervensi:<br />- Kaji adanya tanda dehidrasi<br />- Jaga kelancaran aliran infus<br />- Periksa adanya tromboplebitis<br />- Pantau tanda vital tiap 6 jam<br />- Lakukan kompres dingin jika terdapat hipertermia suhu diatas 38 C<br />- Pantau balance cairan<br />- Berikan nutrisi sesuai diit<br />- Awasi turgor kulit<br />4. Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan invasif pemasangan infus<br />Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi infeksi akibat pemasangan infus.<br />Kriteria hasil:<br />- Aliran infus lancar<br />- Tidak ada tanda infeksi pada tempat pemasangan infus<br />- Suhu tubuh dalam batas normal<br />- Tidak ada tromboplebitis<br />Intervensi:<br />- Awasi adanya tanda- tanda infeksi pada tempat pemasangan infus<br />- Jaga kelancaran aliran infus<br />- Jaga kenbersihan tempat pemasangan infus<br />- Jaga tempat pemasangan infus tetap kering<br />- Tutup tempat pemasangan infus dengankasa betadin<br />- Ganti lokasi pemasangan infus tiap 3 x 24 jam<br />5. Risiko tinggi terjadi kerussakan integritas kulit berhubungan dengan bed rest total<br />Tujuan: seletah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi kerusakan integritas kulit<br />Kriteria hasil:<br />- Tidak terdapat luka dekubitus pda lokasi yang tertekan<br />- Warna kulit daerah tertekan tidak hipoksia, kemerahan<br />Intervensi:<br />- Lakukan massage pada kulit tertekan<br />- Monitor adanya luka dekubitus<br />- Jaga kulit tetap kering<br />- Berikan kamfer spiritus pada punggung dan daerah tertekan<br />- Jaga kebersihan dan kekencangan linen<br />6. Risiko tinggi terjadi cedera berhubungandengan kejang<br />Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi injuri akibat kejang<br />Kriteria hasil:<br />- Tidak ada injuri pada bagian tubuh jika terjadi kejang<br />- Orang tua selalu mengawasi disamping anaknya<br />- Orang tua melapor jika terjadi kejang<br />- Tempat tidur terpasang pengaman<br />Intervensi:<br />- Pasang pengaman di sisi tempat tidur <br />- Anjurkan orang tua untuk melapor jika terjadi kejang<br />- Siapkan sudip lidah/ pasang pada mulut pasien<br />- Kolaborasi berikan anti kejang luminal dan diazepam <br />- Berikan obat sesuai program<br />- Awasi adanya kejang tiap 15 menit sekali<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar pustaka<br /><br />1. Suriadi, Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: CV Sagung Seto;2001<br />2. Staf Pengajar FKUI. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 3. Jakarta: <br />3. Infomedika;2000<br /><br />4. Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC; 1997<br />5. Betz & Sowden. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC;2002<br />6. Wong and Whaley. ( 1995 ). Clinical Manual of Pediatric Nursing. Philadelphia:SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-17841433459027257022010-11-22T01:44:00.000-08:002010-11-22T01:45:04.626-08:00ASKEP PASIEN BERAT BADAN LAHIR RENDAHASUHAN KEPERAWATAN PASIEN BERAT BADAN LAHIR RENDAH<br /><br /><br />A. PENGERTIAN<br />Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram pada waktu lahir.<br />Dalam hal ini dibedakan menjadi :<br />1. Prematuritas murni<br />Yaitu bayi pada kehamilan < 37 minggu dengan berat badan sesuai.<br />2. Retardasi pertumbuhan janin intra uterin (IUGR)<br />Yaitu bayi yang lahir dengan berat badan rendah dan tidak sesuai dengan usia kehamilan.<br /><br />B. ETIOLOGI<br />Penyebab kelahiran prematur tidak diketahui, tapi ada beberapa faktor yang berhubungan, yaitu :<br />1. Faktor ibu<br /> Gizi saat hamil yang kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diaatas 35 tahun<br /> Jarak hamil dan persalinan terlalu dekat, pekerjaan yang terlalu berat<br /> Penyakit menahun ibu : hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah, perokok<br />2. Faktor kehamilan<br /> Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum<br /> Komplikasi kehamilan : preeklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini<br />3. Faktor janin<br /> Cacat bawaan, infeksi dalam rahim<br />4. Faktor yang masih belum diketahui<br /><br />C. PENGKAJIAN KEPERAWATAN<br />1. Prematuritas murni<br /> BB < 2500 gram, PB < 45 cm, LK < 33 cm, LD < 30 cm<br /> Masa gestasi < 37 minggu<br /> Kepala lebih besar dari pada badan, kulit tipis transparan, mengkilap dan licin<br /> Lanugo (bulu-bulu halus) banyak terdapat terutama pada daerah dahi, pelipis, telinga dan lengan, lemak subkutan kurang, ubun-ubun dan sutura lebar<br /> Genetalia belum sempurna, pada wanita labia minora belum tertutup oleh labia mayora, pada laki-laki testis belum turun.<br /> Tulang rawan telinga belum sempurna, rajah tangan belum sempurna<br /> Pembuluh darah kulit banyak terlihat, peristaltik usus dapat terlihat<br /> Rambut tipis, halus, teranyam, puting susu belum terbentuk dengan baik<br /> Bayi kecil, posisi masih posisi fetal, pergerakan kurang dan lemah<br /> Banyak tidur, tangis lemah, pernafasan belum teratur dan sering mengalami apnea, otot masih hipotonik<br /> Reflek tonus leher lemah, reflek menghisap, menelan dan batuk belum sempurna<br /><br />2. Dismaturitas<br /> Kulit berselubung verniks kaseosa tipis/tak ada, <br /> Kulit pucat bernoda mekonium, kering, keriput, tipis<br /> Jaringan lemak di bawah kulit tipis, bayi tampak gesit, aktif dan kuat<br /> Tali pusat berwarna kuning kehijauan<br /><br />D. KOMPLIKASI<br /> Sindrom aspirasi mekonium, asfiksia neonatorum, sindrom distres respirasi, penyakit membran hialin<br /> Dismatur preterm terutama bila masa gestasinya kurang dari 35 minggu<br /> Hiperbilirubinemia, patent ductus arteriosus, perdarahan ventrikel otak<br /> Hipotermia, Hipoglikemia, Hipokalsemia, Anemi, gangguan pembekuan darah<br /> Infeksi, retrolental fibroplasia, necrotizing enterocolitis (NEC)<br /> Bronchopulmonary dysplasia, malformasi konginetal<br /><br />E. PENATALAKSANAAN MEDIS<br /> Resusitasi yang adekuat, pengaturan suhu, terapi oksigen <br /> Pengawasan terhadap PDA (Patent Ductus Arteriosus)<br /> Keseimbangan cairan dan elektrolit, pemberian nutrisi yang cukup<br /> Pengelolaan hiperbilirubinemia, penanganan infeksi dengan antibiotik yang tepat<br /><br />F. ASUHAN KEPERAWATAN<br />No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan<br /><br />1.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />2.<br /> <br />Pola nafas tidak efektif b/d tidak adekuatnya ekspansi paru<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gangguan pertukaran gas b/d kurangnya ventilasi alveolar sekunder terhadap defisiensi surfaktan<br /> <br />Pola nafas yang efektif<br /><br />Kriteria :<br /> Kebutuhan oksigen <br /> menurun<br /> Nafas spontan, adekuat<br /> Tidak sesak.<br /> Tidak ada retraksi<br /><br /><br />Pertukaran gas adekuat<br /><br />Kriteria :<br /> Tidak sianosis.<br /> Analisa gas darah normal<br /> Saturasi oksigen normal.<br /> <br /> Berikan posisi kepala sedikit ekstensi<br /> Berikan oksigen dengan metode yang sesuai<br /> Observasi irama, kedalaman dan frekuensi pernafasan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Lakukan isap lendir kalau perlu<br /> Berikan oksigen dengan metode yang sesuai<br /> Observasi warna kulit<br /> Ukur saturasi oksigen<br /> Observasi tanda-tanda perburukan pernafasan<br /> Lapor dokter apabila terdapat tanda-tanda perburukan pernafasan<br /> Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah<br /> Kolaborasi dalam pemeriksaan surfaktan<br /><br /><br />No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan<br /><br />3.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />4.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />5<br /> <br />Resiko tinggi gangguan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d ketidakmampuan ginjal mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit<br /><br /><br />Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak adekuatnya persediaan zat besi, kalsium, metabolisme yang tinggi dan intake yang kurang adekuat<br /><br /><br />Resiko tinggi hipotermi atau hipertermi b/d imaturitas fungsi termoregulasi atau perubahan suhu lingkungan<br /><br /> <br />Hidrasi baik<br /><br />Kriteria:<br /> Turgor kulit elastik<br /> Tidak ada edema<br /> Produksi urin 1-2 cc/kgbb/jam<br /> Elektrolit darah dalam batas normal<br /><br /><br /><br />Nutrisi adekuat<br /><br />Kriteria :<br /> Berat badan naik 10-30 gram / hari<br /> Tidak ada edema<br /> Protein dan albumin darah dalam batas normal<br /><br /><br /><br /><br />Suhu bayi stabil<br /> Suhu 36,5 0C -37,2 0C<br /> Akral hangat<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /> Observasi turgor kulit.<br /> Catat intake dan output<br /> Kolaborasi dalam pemberian cairan intra vena dan elektrolit<br /> Kolaborasi dalam pemeriksaan elektrolit darah<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Berikan ASI/PASI dengan metode yang tepat<br /> Observasi dan catat toleransi minum<br /> Timbang berat badan setiap hari<br /> Catat intake dan output<br /> Kolaborasi dalam pemberian total parenteral nutrition kalau perlu<br /><br /><br /><br /><br /><br /> Rawat bayi dengan suhu lingkungan sesuai<br /> Hindarkan bayi kontak langsung dengan benda sebagai sumber dingin/panas<br /> Ukur suhu bayi setiap 3 jam atau kalau perlu<br /> Ganti popok bila basah<br /><br /><br /><br /><br /><br />No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan<br /><br />6.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />7.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />8. <br />Resiko tinggi terjadi gangguan perfusi jaringan b/d imaturitas fungsi kardiovaskuler<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Resiko tinggi injuri susunan saraf pusat b/d hipoksia<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Resiko tinggi infeksi b/d imaturitas fungsi imunologik<br /><br /><br /><br /><br /> <br />Perfusi jaringan baik<br /> Tekanan darah normal<br /> Pengisian kembali kapiler <2 detik<br /> Akral hangat dan tidak sianosis<br /> Produksi urin 1-2 cc/kgbb/jam<br /> Kesadaran composmentis<br /><br /><br />Tidak ada injuri<br /><br />Kriteria :<br /> Kesadaran composmentis<br /> Gerakan aktif dan terkoordinasi<br /> Tidak ada kejang ataupun twitching<br /> Tidak ada tangisan melengking<br /> Hasil USG kepala dalam batas normal<br /><br /><br />Bayi tidak terinfeksi<br /><br />Kriteria :<br /> Suhu 36,5 0C -37,2 0C<br /> Darah rutin normal<br /> <br /> Ukur tekanan darah kalau perlu<br /> Observasi warna dan suhu kulit<br /> Observasi pengisian kembali kapiler<br /> Observasi adanya edema perifer<br /> Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium<br /> Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Cegah terjadinya hipoksia<br /> Ukur saturasi oksigen<br /> Observasi kesadaran dan aktifitas bayi<br /> Observasi tangisan bayi<br /> Observasi adanya kejang<br /> Lapor dokter apabila ditemukan kelainan pada saat observasi<br /> Ukur lingkar kepala kalau perlu<br /> Kolaborasi dalam pemeriksaan USG kepala<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Hindari bayi dari orang-orang yang terinfeksi kalau perlu rawat dalam inkubator<br /> Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan bayi<br /> Lakukan tehnik aseptik dan antiseptik bila melakukan prosedur invasif<br /><br />No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />9.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />10.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />11. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Resiko tinggi gangguan integritas kulit b/d imaturitas struktur kulit<br /><br /><br /><br /><br />Gangguan persepsi-sensori : penglihatan, pendengaran, penciuman, taktil b/d stimulus yang kurang atau berlebihan dari lingkungan perawatan intensif<br /><br /><br /><br /><br />Koping keluarga tidak efektif b/d kondisi kritis pada bayinya, perawatan yang lama dan takut untuk merawat bayinya setelah pulang dari RS<br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Integritas kulit baik<br /><br />Kriteria :<br /> Tidak ada rash<br /> Tidak ada iritasi<br /> Tidak plebitis<br /><br /><br /><br />Persepsi dan sensori baik <br /><br />Kriteria : <br /> Bayi berespon terhadap stimulus<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Koping keluarga efektif<br />Kriteria :<br /> Ortu kooperatif dg perawatan bayinya.<br /> Pengetahuan ortu bertambah<br /> Orang tua dapat merawat bayi di rumah<br /> <br /> Lakukan perawatan tali pusat<br /> Observasi tanda-tanda vital<br /> Kolaborasi pemeriksaan darah rutin<br /> Kolaborasi pemberian antibiotika<br /><br /><br /> Kaji kulit bayi dari tanda-tanda kemerahan, iritasi, rash, lesi dan lecet pada daerah yang tertekan<br /> Gunakan plester non alergi dan seminimal mungkin<br /> Ubah posisi bayi dan pemasangan elektrode atau sensor<br /><br /> Membelai bayi sebelum malakukan tindakan<br /> Mengajak bayi berbicara atau merangsang pendengaran bayi dengan memutarkan lagu-lagu yang lembut<br /> Memberikan rangsang cahaya pada mata<br /> Kurangi suara monitor jika memungkinkan<br /> Lakukan stimulas untuk refleks menghisap dan menelan dengan memasang dot<br /><br /> Memberikan kesempatan pada ortu berkonsultasi dengan dokter<br /> Rujuk ke ahli psikologi jika perlu<br /> Berikan penkes cara perawatan bayi BBLR di rumah termasuk pijat bayi, metode kanguru, cara memandikan<br /> Lakukan home visit jika bayi pulang dari RS untuk menilai kemampuan orang tua merawat bayinyaSmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-75715369747265417282010-11-22T01:43:00.003-08:002010-11-22T01:43:59.730-08:00ASKEP BAYI BARU LAHIR YANG SAKITASUHAN KEPERAWATAN<br />PADA BAYI BARU LAHIR YANG SAKIT<br /><br /><br />PENDAHULUAN<br /><br />Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Dengan terpisahnya bayi dari ibu, maka terjadilah awal proses fisiologik sebagai berikut :<br />1. Peredaran darah melalui plasenta digantikan oleh aktifnya fungsi paru untuk bernafas (pertukaran oksigen dengan karbondioksida)<br />2. Saluran cerna berfungsi untuk menyerap makanan<br />3. Ginjal berfungsi untuk mengeluarkan bahan yang tidak terpakai lagi oleh tubuh untuk mempertahankan homeostasis kimia darah<br />4. Hati berfungsi untuk menetralisasi dan mengekresi bahan racun yang tidak diperlukan badan<br />5. Sistem imunologik berfungsi untuk mencegah infeksi<br />6. Sistem kardiovaskular serta endokrin bayi menyesuaikan diri dengan perubahan fungsi organ tersebut diatas<br /><br />Banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali yang disebabkan oleh prematuritas, kelainan anatomik, dan lingkungan yang kurang baik dalam kandungan, pada persalinan maupun sesudah lahir.<br /><br />Masalah pada neonatus biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, kurangnya perawatan bayi baru lahir. Kalau ibu meninggal pada waktu melahirkan, si bayi akan mempunyai kesempatan hidup yang kecil.<br /><br />Untuk mampu mewujudkan koordinasi dan standar pelayanan yang berkualitas maka petugas kesehatan dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk dapat melaksanakan pelayanan essensial neonatal yang dikategorikan dalam dua kelompok yaitu :<br />A. Pelayanan Dasar <br />1. Persalinan aman dan bersih<br />2. Mempertahankan suhu tubuh dan mencegah hiportermia<br />3. Mempertahankan pernafasan spontan<br />4. ASI Ekslusif<br />5. Perawatan mata<br />B. Pelayanan Khusus<br />1. Tatalaksana Bayi Neonatus sakit<br />2. Perawatan bayi kurang bulan dan BBLR<br />3. Imunisasi <br /><br />Makalah ini akan membahas asuhan keperawatan bayi baru lahir yang sakit. Mengingat luasnya bahasan maka pembahasan akan difokuskan kepada masalah ikterus & hiperbilirubinemia, neonatus dengan ibu DM, neonatus prematur, hipertermia dan hipotermia. Selain itu juga dikaji respon keluarga terhadap neonatus yang sakit serta hubungan tumbuh kembang neonatus terhadap penyakit secara umum.<br /><br /><br />EFEK SAKIT PADA NEONATUS<br /><br />Fase neonatus adalah fase yang sangat rawan akan hubungan ibu dan bayi. Karena kegagalan relasi pada masa ini akan memberi dampak pada tahap berikutnya. Kebutuhan psikologi fase ini melipurti tiga hal penting yaitu seeing (memandang), touching (sentuhan), dan caretaking (merawat dengan perhatian seluruh emosinya). Dengan demikian kesempatan ibu kontak mata dan menyentuh serta melakukan sendiri dalam mengganti popok adalah menjadi prioritas dalam intervensi perawat.<br /><br />Penyakit atau kecacatan pada anak mempengaruhi terbinanya hubungan saling percaya antara anak dengan orangtua. Penyakit pada anak dapat membuat harapan orangtua menurun, penyakit sering mengakibatkan gangguan dalam kemampuan motorik anak, keterbatasan gerak di tempat tidur dan berkurangnya kontak bayi dengan lingkungan. Intervensi keperawatan sangat penting untuk membantu keluarga dalam menghadapi bayi yang sakit. Keberadaan perawat yang selalu siap membantu sangat penting untuk menenangkan orangtua terhadap rasa ketidak berdayaannya.<br /><br /><br />REAKSI EMOSIONAL PENERIMAAN KELUARGA<br /><br />Pada neonatus yang menderita sakit, maka keluarga akan merasa cemas, tidak berdaya, dan lain sebagainya yang merupakan reaksi keluarga terhadap kenyataan bahwa bayinya menderita suatu penyakit. Berikut adalah reaksi emosional penerimaan keluarga terhadap neonatus sakit dan bagaimana perawat mengatasi hal tersebut :<br /><br />1. Denial<br />Respon perawat terhadap penolakan adalah komponen untuk kebutuhan individu yang kontinyu sebagai mekanisme pertahanan. Dukungan metode efektif adalah mendengarkan secara aktif. Diam atau tidak ada reinforcement bukanlah suatu penolakan. Diam dapat diinterpretasikan salah, keefektifan diam dan mendengar haruslah sejalan dengan konsentrasi fisik dan mental. Penggunaan bahasa tubuh dalam berkomunikasi harus concern. Kontak mata, sentuhan, postur tubuh, cara duduk dapat digunakan saat diam sehingga komunikasi berjalan efektif.<br /><br />2. Rasa bersalah<br />Perasaan bersalah adalah respon biasa dan dapat menyebabkan kecemasan keluarga. Mereka sering mengatakan bahwa merekalah yang menjadi penyebab bayinya mengalami kondisi sakit. Amati ekspresi bersalah, dimana ekspresi tersebut akan membuat mereka lebih terbuka untuk menyatakan perasaannya. <br /><br /><br /><br />3. Marah<br />Marah adalah suatu reaksi yang sulit diterima dan sulit ditangani secara therapeutik. Aturan dasar untuk menolak marah seseorang adalah hindari gagalnya kemarahan dan dorong untuk marah secara assertif.<br /><br /><br />HIPERBILIRUBINEMIA<br /><br />Definisi :<br />Hiperbilirubinemia adalah berlebihnya akumulasi bilirubin dalam darah (level normal 5 mg/dl pada bayi normal) yang mengakibatkan jaundice, warna kuning yang terlihat jelas pada kulit, mukosa, sklera dan urine. <br /><br />Etiologi:<br />Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini dapat pula timbul karena adanya perdarahan tertutup (sefal hematoma, perdarahan subaponeoratik) atau inkompatabilitas golongan darah Rh. Infeksi juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia : keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain yang juga merupakan penyebab hiperbilirubinemia adalah hipoksia/anoksia, dehidrasi dan acidosis, hipoglikemia dan polisitemia.<br /><br />Patofisiologi<br />Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.<br /><br />Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal dapat terjadi apabila kadar protein-Y berkurang atau pada keadaan protein-Y dan protein-Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan acidosis atau dengan hipoksia/anoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gagguan konjugasi hepar (defisiensi enszim glukoronil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.<br /><br />Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kern ikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada sususnan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat badan lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.<br />Tabel.1 Perbandingan Tipe Unconjungatif Hyperbilirubinemia<br /><br /> Fisiologis jaundice Jaundice yang berhubungan dengan Breast feeding Jaundice Breast milk Hemolitik desease<br />Penyebab Fungsi hepatik immatur ditambah peningkatan bilirubin dari hemolisis RBC Intake susu yang jelek berhubungan dengan konsumsi kalori yang sedikit pada bayi sebelum susu ibu keluar Faktor-faktor pada susu ibu yang berubah, bilirubin menjadi bentuk lemak yang mana direabsorbsi usus Incompatibilitas antigen yang menyebabkan hemolisis sebagian dari RBC.<br />Hati tidak mampu untuk mengkonjugasikan dan mengeksresikan kelebihan bilirubin dari hemolisis<br />Onset Setelah 24 jam pertama (bayi prematur, bayi lahir lama) 2 - 3 hari 4 - 5 hari Selama 24 jam pertama<br />Puncak 72 jam 2 - 3 hari 10 - 15 hari Bervariasi<br />Durasi Berkurang setelah 5-7 hari Sampai seminggu <br />Terapi Fototherapi jika bilirubin meningkat dengan cepat Berikan ASI sesering mungkin, berikan suplemen kalori, fototherapi untuk kadar bilirubin 18 - 20 mg/dl Hentikan ASI selama 24 jam untuk mendeterminasi sebab, jika kadar bilirubin menurun pemberian ASI dapat diulangi.<br />Dapat dilakukan fototherapi tanpa menghentikan pemberian ASI Posnatal: fototherapi, bila perlu transfusi tukar<br />Prenatal:<br />Transfusi (fetus)<br />Mencegah sensitisasi dari RH negatif ibu dengan RhoGAM<br /><br /><br />Pengkajian <br /><br />1. Riwayat keluarga dan kehamilan:<br />- Orang tua atau saudara dengan neonatal jaundice atau penyakit lever<br />- Prenatal care <br />- DM pada ibu<br />- Infeksi seperti toxoplasmosis, spilis, hepatitis, rubela, sitomegalovirus dan herves yang mana ditransmisikan secara silang keplasenta selama kehamilan<br />- Penyalahgunaan obat pada orang tua<br />- Ibu dengan Rh negatif sedangkan ayah dengan Rh positif <br />- Riwayat transfusi Rh positif pada ibu Rh negatif<br />- Riwayat abortus dengan bayi Rh positif<br />- Obat-obatan selama kehamilan seperti sulfonamid, nitrofurantoin dan anti malaria<br />- Induksi oksitosin pada saat persalinan<br />- Penggunaan vakum ekstraksi <br />- Penggunaan phenobarbital pada ibu 1-2 bulan sebelum persalinan<br /><br />2. Status bayi saat kelahiran:<br />- Prematuritas atau kecil masa kehamilan<br />- APGAR score yang mengindikasikan asfiksia<br />- Trauma dengan hematoma atau injuri<br />- Sepsis neonatus, adanya cairan yang berbau tidak sedap<br />- Hepatosplenomegali<br /><br />3. Kardiovaskuler<br />- Edema general atau penurunan volume darah, mengakibatkan gagal jantung pada hidro fetalis<br /><br />4. Gastrointestinal<br />- Oral feeding yang buruk <br />- Kehilangan berat badan sampai 5 % selama 24 jam yang disebabkan oleh rendahnya intake kalori <br />- Hepatosplenomegali<br /><br />5. Integumen<br />- Jaundice selama 24 jam pertama (tipe patologis), setelah 24 jam pertama (Fisiologik tipe) atau setelah 1 bulan dengan diberikan ASI<br />- Kalor yang disebabkan oleh anemia yang terjadi karena hemolisis RBC<br /><br />6. Neurologik<br />- Hipotoni<br />- Tremor, tidak adanya reflek moro dan reflek menghisap, reflek tendon yang minimal<br />- Iritabilitas, fleksi siku, kelemahan otot, opistotonis<br />- Kejang<br /><br />7. Pulmonari<br />- Apnu, sianosis, dyspnea setelah kejadian kern ikterus<br />- Aspiksia, efusi pulmonal<br /><br />8. Data Penunjang<br />- Golongan darah dan faktor Rh pada ibu dan bayi untuk menentukan resiko incompatibilitas, Rh ayah juga diperiksa jika Rh ibu negatif (test dilakukan saat prenatal)<br />- Amniosintesis dengan analisa cairan amnion, Coombs test dengan hasil negatif mengindikasikan peningkatan titer antibodi Anti D, bilirubin level pada cairan amnion meningkat sampai lebih dari 0,28 mg/dl sudah merupakan nilai abnormal (mengindikasikan kebutuhan transfusi pada janin).<br />- Coombs test (direct) pada darah tali pusat setelah persalinan, positif bila antibodi terbentuk pada bayi.<br />- Coombs test (indirect) pada darah tali pusat, positif bila antibodi terdapat pada darah ibu.<br />- Serial level bilirubin total, lebih atau sama dengan 0,5 mg/jam samapi 20 mg/dl mengindikasikan resiko kernikterus dan kebutuhan transfusi tukar tergantung dari berat badan bayi dan umur kehamilan. <br />- Direct bilirubin level, meningkat jika terjadi infeksi atau gangguan hemolisis Rh<br />- Hitung retikulosit, meningkat pada hemolisis<br />- Hb dan HCT<br />- Total protein, menentukan penurunan binding site<br />- Hitung leukosit, menurun sampai dibawah 5000/mm3, mengindikasikan terjadinya infeksi<br />- Urinalsis, untuk mendeteksi glukosa dan aseton, PH dan urobilinogen, kreatinin level<br /><br />Diagnosa Keperawatan<br />Dx. 1. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan produk sisa sel darah merah yang berlebihan dan imaturitas hati<br /><br />Tujuan 1: Pasien mendapatkan terapi untuk menyeimbangkan eksresi bilirubin<br /><br />Tindakan:<br />1. Kaji adanya jaundice pada kulit, yang mana mengindikasikan peningkatan kadar bilirubin<br />2. Cek kadar bilirubin dengan bilirobinometer transkutan untuk mengetahui peningkatan atau penurunan kadar bilirubin<br />3. Catat waktu terjadinya jaundice untuk membedakan fisiologik jaundice (terjadi setelah 24 jam) dengan patologik jaundice (terjadi sebelum 24 jam)<br />4. Kaji status bayi khususnya faktor yang dapat meningkatkan resiko kerusakan otak akibat hiperbilirubinemia (seperti hipoksia, hipotermia, hipoglikemia dan metabolik asidosis)<br />5. Memulai feeding lebih cepat utuk mengeksresikan bilirubin pada feces<br /><br />Hasil yang diharapkan:<br />1. Bayi baru lahir memulai feeding segera setelah lahir<br />2. Bayi baru lahir mendapatkan paparan dari sumber cahaya<br /><br />Tujuan 2: tidak terjadi komplikasi dari fototherapi<br /><br />Tindakan:<br />1. Tutupi mata bayi baru lahir untuk menghindari iritasi kornea<br />2. Tempatkan bayi secara telanjang dibawah cahaya untuk memaksimalkan paparan cahaya pada kulit<br />3. Ubah posisi secara teratur utnuk meningkatkan paparan pada permukaan tubuh<br />4. Monitor suhu tubuh untuk mendeteksi hipotermia atau hipertermia<br />5. Pada peningkatan BAB, bersihkan daerah perienal untuk menghindari iritasi<br />6. Hindarkan penggunaan minyak pada kulit untuk mencegah rasa pedih dan terbakar<br />7. Berikan intake fluid secara adekuat untuk menghindari rehidrasi<br />Hasil yang diharapkan : tidak terjadi iritasi mata, dehidrasi, instabilitas suhu dan kerusakan kulit<br /><br />Tujuan 3: Tidak adanya komplikasi dari transfusi tukar (jika terapi ini diberikan)<br /><br />Tindakan:<br />1. Jangan berikan asupan oral sebelum prosedur (2-4 jam) untuk mencegah aspirasi<br />2. Cek donor darah dan tipe Rh untuk mencegah reaksi transfusi<br />3. Bantu dokter selama prosedur untuk mencegah infeksi<br />4. Catat secara akurat jumlah darah yang masuk dan keluar untuk mempertahankan volume darah<br />5. Pertahankan suhu tubuh yang optimal selama prosedur untuk mencegah hipotermia dan stress karena dingin atau hipotermia<br />6. Observasi tanda perubahan reaksi transfusi (Tacykardia, bradikardia, distress nafas, perubahan tekanan darah secara dramatis, ketidakstabilan temperatur, dan rash) <br />7. Siapkan alat resusitasi untuk mengatasi keadaan emergensi<br />8. Cek umbilikal site terhadap terjadinya perdarahan atau infeksi<br />9. Monitor vital sign selama dan stelah transfusi untuk mendeteksi komplikasi seperti disritmia jantung.<br /><br />Hasil yang diharapkan :<br />1. Bayi menunjukkan tidak adanya tanda-tanda reaksi transfusi<br />2. Vital sign berada pada batas normal<br />3. Tidak terjadi infeksi atau perdarahan pada daerah terpasangnya infus<br /><br />Dx.2. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan bayi dengan potensial respon fisiologis yang merugikan<br /><br />Tujuan 1: Keluarga dapat memberikan suport emosional<br /><br />Tindakan:<br />1. Hentikan fototherapi selama kujungan keluarga, lepaskan tutup mata bayi untuk membantu interaksi keluarga<br />2. Jelaskan proses fisiologis jaundice untuk mencegah kekhawatiran keluarga dan potensial over proteksi pada bayi<br />3. Yakinkan keluarga bahwa kulit akan kembali normal<br />4. Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya untuk memperpendek periode jaundice<br />5. Jelaskan kegunaan ASI untuk mengatasi jaundice dan penyakit lainnya<br /><br />Hasil yang diharapkan :<br />Keluarga menunjukkan pengertian terhadap terapi dan prognosa<br /><br />Tujuan 2: Keluarga dapat melaksanakan fototherapi dirumah<br /><br />Tindakan:<br />1. Kaji pengertian keluarga terhadap jaundice dan terapi yang diberikan<br />2. Instruksikan keluarga untuk:<br />- Melindungi mata<br />- Merubah posisi <br />- Memberikan asupan cairan yang adekuat<br />- Menghindari penggunaan minyak pada kulit<br />- Mengukur suhu aksila<br />- Mengobservasi bayi: warna, bentuk makanan, jumlah makanan<br />- Mengobservasi bayi terhadap tanda letargi, perubahan pola tidur, perubahan pola eliminasi<br />3. Menjelaskan perlunya test bilirubin bila diperlukan<br /><br />Hasil yang diharapkan:<br />Keluarga dapat menunjukkan kemampuan untuk melaksanakan fototherapi di rumah (khususnya metode dan rasional)<br /><br /><br />HIPOTERMIA & HIPERTERMIA<br /><br />HIPOTERMIA<br />Suhu normal pada neonatus berkisar antara 360C - 37,50C pada suhu ketiak. Gejala awal hipotermia apabila suhu < 360C atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah mengalami hipotermia sedang (suhu 320C - <360C). Disebut hipotermia berat bila suhu tubuh < 320C. Untuk mengukur suhu tubuh pada hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading termometer) sampai 250C. Disamping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian. <br /><br />Yang menjadi prinsip kesulitan sebagai akibat hipotermia adalah meningkatnya konsumsi oksigen (terjadi hipoksia), terjadinya metabolik asidosis sebagai konsekuensi glikolisis anaerobik, dan menurunnya simpanan glikogen dengan akibat hipoglikemia. Hilangnya kalori tampak dengan turunnya berat badan yang dapat ditanggulangi dengan meningkatkan intake kalori. <br /><br />Etiologi dan faktor presipitasi<br />- Prematuritas<br />- Asfiksia<br />- Sepsis<br />- Kondisi neurologik seperti meningitis dan perdarahan cerebral<br />- Pengeringan yang tidak adekuat setelah kelahiran<br />- Eksposure suhu lingkungan yang dingin<br /><br />Penanganan hipotermia ditujukan pada: 1) Mencegah hipotermia, 2) Mengenal bayi dengan hipotermia, 3) Mengenal resiko hipotermia, 4) Tindakan pada hipotermia. <br /><br />Tanda-tanda klinis hipotermia: <br />a. Hipotermia sedang:<br />- Kaki teraba dingin<br />- Kemampuan menghisap lemah<br />- Tangisan lemah<br />- Kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis marmorata<br />b. Hipotermia berat<br />- Sama dengan hipotermia sedang<br />- Pernafasan lambat tidak teratur<br />- Bunyi jantung lambat<br />- Mungkin timbul hipoglikemi dan asidosisi metabolik<br />c. Stadium lanjut hipotermia<br />- Muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang<br />- Bagian tubuh lainnya pucat<br />- Kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki dan tangan (sklerema)<br /><br /><br />HIPERTERMIA<br />Lingkungan yang terlalu panas juga berbahaya bagi bayi. Keadaan ini terjadi bila bayi diletakkan dekat dengan sumber panas, dalam ruangan yang udaranya panas, terlalu banyak pakaian dan selimut.<br /> <br />Gejala hipertermia pada bayi baru lahir :<br />- Suhu tubuh bayi > 37,5 C<br />- Frekuensi nafas bayi > 60 x / menit<br />- Tanda-tanda dehidrasi yaitu berat badan menurun, turgor kulit kurang, jumlah urine berkurang<br /><br />Pengkajian hipotermia & hipertermia<br />1. Riwayat kehamilan<br />- Kesulitan persalinan dengan trauma infant<br />- Penyalahgunaan obat-obatan<br />- Penggunaan anestesia atau analgesia pada ibu<br /><br />2. Status bayi saat lahir<br />- Prematuritas<br />- APGAR score yang rendah<br />- Asfiksia dengan rescucitasi<br />- Kelainan CNS atau kerusakan<br />- Suhu tubuh dibawah 36,5 C atau diatas 37,5 C<br />- Demam pada ibu yang mempresipitasi sepsis neonatal<br /><br />3. Kardiovaskular<br />- Bradikardi<br />- Takikardi pada hipertermia<br /><br />4. Gastrointestinal<br />- Asupan makanan yang buruk<br />- Vomiting atau distensi abdomen<br />- Kehilangan berat badan yang berarti<br /><br />5. Integumen<br />- Cyanosis central atau pallor (hipotermia)<br />- Kulit kemerahan (hipertermia)<br />- Edema pada muka, bahu dan lengan<br />- Dingin pada dada dan ekstremitas(hipotermia)<br />- Perspiration (hipertermia)<br /><br />6. Neorologic<br />- Tangisan yang lemah<br />- Penurunan reflek dan aktivitas<br />- Fluktuasi suhu diatas atau dibawah batas normal sesuai umur dan berat badan<br /><br />7. Pulmonary<br />- Nasal flaring atau penurunan nafas, iregguler<br />- Retraksi dada<br />- Ekspirasi grunting<br />- Episode apnea atau takipnea (hipertermia)<br /><br />8. Renal<br />- Oliguria<br /><br />9. Study diagnostik<br />- Kadar glukosa serum, untuk mengidentifikasi penurunan yang disebabkan energi yang digunakan untuk respon terhadap dingin atau panas<br />- Analisa gas darah, untuk menentukan peningkatan karbondoksida dan penurunan kadar oksigen, mengindikasikan resiko acidosis<br />- Kadar Blood Urea Nitrogen, peningkatan mengindikasikan kerusakan fungsi ginjal dan potensila oliguri<br />- Study elektrolit, untuk mengidentifikasi peningkatan potasium yang berhubungan dengan kerusakan fungsi ginjal<br />- Kultur cairan tubuh, untuk mengidentifikasi adanya infeksi<br /><br /><br />Diagnosa keperawatan<br />Dx.1. Suhu tubuh abnormal berhubungan dengan kelahiran abnormal, paparan suhu lingkungan yang dingin atau panas.<br /><br />Tujuan 1 : Mengidentifikasi bayi dengan resiko atau aktual ketidakstabilan suhu tubuh<br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji faktor yang berhubungan dengan resiko fluktuasi suhu tubuh pada bayi seperti prematuritas, sepsis dan infeksi, aspiksia atau hipoksia, trauma CNS, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, suhu lingkungan yang terlalu panas atau dingin, trauma lahir dan riwayat penyalahgunaan obat pada ibu<br />2. Kaji potensial dan aktual hipotermia atau hipertermia :<br />- Monitor suhu tubuh, lakukan pengukuran secara teratur<br />- Monitor suhu lingkungan<br />- Cegah kondisi yang menyebabkan kehilangan panas pada bayi seperti baju basah atau bayi tidak kering, paparan uadara luar atau pendingin ruangan<br />- Cek respiratory rate (takipnea), kedalaman dan polanya<br />- Observasi warna kulit <br />- Monitor adanya iritabilitas, tremor dan aktivitas seizure<br />- Monitor adanya flushing, distress pernafasan, episode apnea, kelembaban kulit, dan kehilangan cairan.<br /><br />Tujuan 2. Mencegah kondisi yang dapat mencetuskan fluktuasi suhu tubuh<br /><br />Tindakan :<br />1. Lindungi dinding inkubator dengan<br />- Meletakkan inkubator ditempat yang tepat<br />- Suhu kamar perawatan/kamar operasi dipertahankan + 24 C<br />- Gunakan alas atau pelindung panas dalam inkubator<br />2. Keringkan bayi baru lahir segera dibawah pemanas<br />3. Air mandi diatas 37 C dan memandikannnya sesudah bayi stabil dan 6 – 12 jam postnatal, keringkan segera<br />4. Pergunakan alas pada meja resusitasi atau pemanas<br />5. Tutup permukaan meja resusitasi dengan selimut hangat, inkubator dihangatkan dulu<br />6. Pertahankan suhu kulit 36 – 36,5 C<br />7. Sesedikit mungkin membuka inkubator<br />8. Hangatkan selalu inkubator sebelum dipakai<br />9. Gendong bayi dengan kulit menempel ke kulit ibu (metode kangguru)<br />10. Beri topi dan bungkus dengan selimut<br /><br />Tujuan 3: Mencegah komplikasi dingin<br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji tanda stress dingin pada bayi :<br />- Penurunan suhu tubuh sampai < 32,2 C<br />- Kelemahan dan iritabilitas<br />- Feeding yang buruk dan lethargy<br />- Pallor, cyanosis central atau mottling<br />- Kulit teraba dingin<br />- Warna kemerahan pada kulit<br />- Bradikardia<br />- Pernafasan lambat, ireguler disertai grunting<br />- Penurunan aktivitas dan reflek<br />- Distesi abdomen dan vomiting<br /><br />2. Berikan treatment pada aktual atau resiko injury karena dingin sebagai berikut :<br />- Berikan therapy panas secara perlahan dan catat suhu tubuh setiap 15 menit<br />- Pertimbangkan pemberian plasma protein (Plasmanate) setelah 30 menit<br />- Berikan oksigen yang telah diatur kelembabannya<br />- Monitor serum glukosa <br />- Berikan sodium bikarbonat untuk acidosis metabolik<br />- Untuk menggantikan asupan makanan dan cairan, berikan dekstrose 10% sampai temeperatur naik diatas 35 C<br /><br />Dx.2. Deficit pengetahuan (orangtua) berhubungan dengan kondisi bayi baru lahir dan cara mempertahankan suhu tubuh bayi.<br /><br />Tujuan : Memberikan informasi yang cukup kepada orangtua tentang kondisi bayi dan perawatan yang diberikan untuk mempertahankan suhu tubuh bayi<br /><br />Tindakan :<br />1. Beri informasi pada orangtua tentang :<br />- Penyebab fluktuasi suhu tubuh<br />- Kondisi bayi<br />- Treatment untuk menstabilkan suhu tubuh<br />- Perlunya membungkus/menyelimuti bayi saat menggendong dan bepergian<br />2. Ajari orangtua cara mengukur suhu tubuh aksila pada bayi dan minta mereka untuk mendemontrasikannya<br />3. Informasikan kepada orangtua tentang perawatan saat bayi di inkubator<br />4. Anjurkan pasien bertanya, mengklarifikasi yang belum jelas dan menunjukkan prilaku seperti diajarkan<br /><br /><br />BAYI PREMATUR<br /><br />Definisi :<br />Bayi baru lahir dengan umur kehamilan 37 minggu atau kurang saat kelahiran disebut dengan bayi prematur. Walaupun kecil, bayi prematur ukurannya sesuai dengan masa kehamilan tetapi perkembangan intrauterin yang belum sempurna dapat menimbulkan komplikasi pada saat post natal. Bayi baru lahir yang mempunyai berat 2500 gram atau kurang dengan umur kehamilan lebih dari 37 minggu disebut dengan kecil masa kehamilan, ini berbeda dengan prematur, walaupun 75% dari neonatus yang mempunyai berat dibawah 2500 gram lahir prematur. <br /><br />Problem klinis terjadi lebih sering pada bayi prematur dibandingkan dengan pada bayi lahir normal. Prematuritas menimbulkan imaturitas perkembangan dan fungsi sistem, membatasi kemampuan bayi untuk melakukan koping terhadap masalah penyakit.<br /><br />Masalah yang umum terjadi diantaranya respiratory disstres syndrom (RDS), enterocolitis nekrotik, hiperbilirubinemia, hypoglikemia, thermoregulation, patetnt duktus arteriosus (PDA), edema paru, perdarahan intraventrikular. Stressor tambahan lain pada infant dan orangtua meliputi hospitalisasi untuk penyakit pada bayi. Respon orangtua dan mekanisme koping mereka dapat menimbulkan gangguan pada hubungan antar mereka. Diperlukan perencanaan dan tindakan yang adekuat untuk permasalahn tersebut.<br /><br />Bayi prematur dapat bertahan hidup tergantung pada berat badannya, umur kehamilan, dan penyakit atau abnormalitas. Prematur menyumbangkan 75% - 80% angka kesakitan dan kematian neonatus. <br /><br />Etiologi dan faktor presipitasi:<br />Permasalahan pada ibu saat kehamilan :<br />- Penyakit/kelainan seperti hipertensi, toxemia, placenta previa, abruptio placenta, incompetence cervical, janin kembar, malnutrisi dan diabetes mellitus.<br />- Tingkat sosial ekonomi yang rendah dan prenatal care yang tidak adekuat<br />- Persalinan sebelum waktunya atau induced aborsi<br />- Penyalahgunaan konsumsi pada ibu seperti obat-obatan terlarang, alkohol, merokok dan caffeine<br /><br />Pengkajian <br />1. Riwayat kehamilan<br />- Umur ibu dibawah 16 tahun dengan latar belakang pendidikan rendah<br />- Kehamilan kembar<br />- Status sosial ekonomi, prenatal care tidak adekuat, nutrisi buruk<br />- Kemungkinan penyakit genetik<br />- Riwayat melahirkan prematur<br />- Infeksi seperti TORCH, penyakit menular seksual dan lain sebagainya<br />- Kondisi seperti toksemia, prematur rupture membran, abruptio placenta dan prolaps umbilikus<br />- Penyalahgunaaan obat, merokok, konsumsi kafeine dan alkohol<br />- Golongan darah, faktor Rh, amniocentesis.<br /><br />2. Status bayi baru lahir<br />- Umur kehamilan antara 24 – 37 minggu, berat badan lahir rendah atau besar masa kehamilan<br />- Berat badan dibawah 2500 gram<br />- Kurus, lemak subkutan minimal<br />- Adanya kelainan fisik yang terlihat<br />- APGAR skore 1 – 5 menit : 0 – 3 mengindikasikan distress berat, 4 – 6 menunjukkan disstres sedang dan 7 – 10 merupakan nilai normal.<br /><br />3. Kardiovaskular<br />- Denyut jantung 120 – 160 x per menit pada sisi apikal dengan irama teratur<br />- Saat kelahiran, terdengar murmur<br /><br />4. Gastrointestinal<br />- Protruding abdomen<br />- Keluaran mekonium setelah 12 jam<br />- Kelemahan menghisap dan penurunan refleks<br />- Pastikan anus tanpa/dengan abnormalitas kongenital<br /><br />5. Integumen<br />- Cyanosis, jaundice, mottling, kemerahan, atau kulit berwarna kuning<br />- Verniks caseosa sedikit dengan rambut lanugo di seluruh tubuh<br />- Kurus<br />- Edema general atau lokal<br />- Kuku pendek<br />- Kadang-kadang terdapat petechie atau ekimosis<br /><br /><br />6. Muskuloskeletal<br />- Cartilago pada telinga belum sempurna<br />- Tengkorak lunak<br />- Keadaan rileks, inaktive atau lethargi<br /><br />7. Neurologik<br />- Refleks dan pergerakan pada test neurologik tanpa resistansi<br />- Reflek menghisap, swalowing, gag reflek serta reflek batuk lemah atau tidak efektif<br />- Tidak ada atau minimalnya tanda neurologik<br />- Mata masih tertutup pada bayi dengan umur kehamilan 25 – 26 minggu<br />- Suhu tubuh yang tidak stabil : biasanya hipotermik<br /><br />8. Pulmonary<br />- Respiratory rate antara 40 – 60 x/menit dengan periode apnea<br />- Respirasi irreguler dengan nasal flaring, grunting dan retraksi (interkostal, suprasternal, substrenal)<br />- Terdengar crakles pada auskultasi<br /><br />9. Renal<br />- Berkemih terjadi 8 jam setelah lahir<br />- Kemungkinan ketidakmampuan mengekresikan sulution dalam urine<br /><br />10. Reproduksi<br />- Perempuan : labia mayora belum menutupi klitoris sehingga tampak menonjol<br />- Laki-laki : testis belum turun secara sempurna ke kantong skrotum, mungkin terdapat inguinal hernia.<br /><br />11. Data penunjang<br />- X-ray pada dada dan organ lain untuk menentukan adanya abnormalitas<br />- Ultrasonografi untuk mendeteksi kelainan organ<br />- Stick glukosa untuk menentukan penurunan kadar glukosa<br />- Kadar kalsium serum, penurunan kadar berarti terjadi hipokalsemia<br />- Kadar bilirubin untuk mengidentifikasi peningkatan (karena pada prematur lebih peka terhadap hiperbilirubinemia)<br />- Kadar elektrolit, analisa gas darah, golongan darah, kultur darah, urinalisis, analisis feses dan lain sebagainya.<br /><br />Diagnosa keperawatan<br />Dx. 1. Resiko tinggi disstres pernafasan berhubungan dengan immaturitas paru dengan penurunan produksi surfactan yang menyebabkan hipoksemia dan acidosis<br /><br />Tujuan : Mempertahankan dan memaksimalkan fungsi paru<br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji data fokus pada kemungkinan disstres pernafasan yaitu :<br />- Riwayat penyalahgunaan obat pada ibu atau kondisi abnormal selama kehamilan dan persalinan<br />- Kondisi bayi baru lahir : APGAR score, kebutuhan resusitasi<br />- Respiratory rate, kedalaman, takipnea<br />- Pernafasan grunting, nasal flaring, retraksi dengan penggunaan otot bantu pernafasan (intercostal, suprasternal, atau substernal)<br />- Cyanosis, penurunan suara nafas<br />2. Kaji episode apneu yang terjadi lebih dari 20 detik, kaji keadaan berikut :<br />- Bradykardi<br />- Lethargy, posisi dan aktivitas sebelum, selama dan setelah episode apnea (sebagai contoh saat tidur atau minum ASI) <br />- Distensi abdomen<br />- Suhu tubuh dan mottling<br />- Kebutuhan stimulasi <br />- Episode dan durasi apnea<br />- Penyebab apnea, seperti stress karena dingin, sepsis, kegagalan pernafasan.<br />3. Berikan dan monitor support respiratory sebagai berikut :<br />- Berikan oksigen sesuai indikasi<br />- Lakukan suction secara hati-hati dan tidak lebih dari 5 detik<br />- Pertahankan suhu lingkungan yang normal<br />4. Monitor hasil pemeriksaan analisa gas darah untuk mengetahui terjadinya acidosis metabolik<br />5. Berikan oabt-obat sesuai permintaan dokter seperti theophylin IV. Monitor kadar gula darah setiap 1 – 2 hari.<br /><br />Dx. 2. Resiko hipotermia atau hipertermia berhubungan dengan prematuritas atau perubahan suhu lingkungan<br /><br />Tujuan : Mempertahankan suhu lingkungan normal<br /><br />Tindakan :<br />1. Pertahankan suhu ruang perawatan pada 25 C<br />2. Kaji suhu rectal bayi dan suhu aksila setiap 2 jam atau bila perlu<br />3. Tempatkan bayi di bawah pemanas atau inkubator sesuai indikasi<br />4. Hindarkan meletakkan bayi dekat dengan sumber panas atau dingin<br />5. Kaji status infant yang menunjukkan stress dingin<br /><br />Dx. 3. Defiensi nutrisi berhubungan dengan tidak adekuatnya cadangan glikogen, zat besi, dan kalsium dan kehilangan cadangan glikogen karena metabolisme rate yang tinggi, tidak adekuatnya intake kalori, serta kehilangan kalori.<br /><br />Tujuan : meningkatkan dan mempertahankan intake kalori yang adekuat pada bayi<br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji refleks hisap dan reflek gag pada bayi. Mulai oral feeding saat kondisi bayi stabil dan respirasi terkontrol<br />2. Kaji dan kalkulasikan kebutuhan kalori bayi<br />3. Mulai breast feeding atau bottle feeding 2 – 6 jam setelah lahir. Mulai dengan 3 – 5 ml setiap kali setiap 3 jam. Tingkatkan asupan bila memungkinkan.<br />4. Timbang berat badan bayi setiap hari, bandingkan berat badan dengan intake kalori untuk menentukan pemabatasan atau peningkatan intake<br />5. Berikan infus dextrose 10% jika bayi tidak mampu minum secara oral<br />6. Berikan TPN dan intralipid jika dibutuhkan<br />7. Monitor kadar gula darah<br /><br />Dx. 4. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan imaturitas, radiasi lingkungan, efek fototherapy atau kehilangan melalui kulit atau paru.<br /><br />Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit<br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji dan hitung kebutuhan cairan bayi<br />2. Berikan cairan 150 – 180 ml/kg berat badan dan 200 ml/kg berat badan jika dibutuhkan.<br />3. Timbang berat badan bayi setiap hari<br />4. Monitor dan catat intake dan output setiap hari, bandingkan jumlahnya untuk menentukan status ketidakseimbangan.<br />5. Test urine : spesifik gravity dan glikosuria<br />6. Pertahankan suhu lingkungan normal<br />7. Kaji tanda-tanda peningkatan kebutuhan cairan :<br />- Peningkatan suhu tubuh<br />- Hipovolemik shock dengan penurunan tejanan darah dan peningkatan denut jantung, melemahnya denyut nadi, tangan teraba dingin serta motling pada kulit.<br />- Sepsis<br />- Aspiksia dan hipoksia<br />8. Monitor potassium, sodium dan kadar chloride. Ganti cairan dan elektrolit dengan dextrose 10% bila perlu.<br /><br />Dx. 5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imaturitas imunologik bayi dan kemungkinan infeksi dari ibu atau tenaga medis/perawat<br /><br />Tujuan : Infeksi dapat dicegah<br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji fluktuasi suhu tubuh, lethargy, apnea, iritabilitas dan jaundice<br />2. Review riwayat ibu, kondisi bayi saat lahir, dan epidemi infeksi di ruang perawatan<br />3. Amati sampel darah dan drainase<br />4. Lakukan pemeriksaan CBC dengan hitung leukosit, platelets, dan imunoglubolin<br />5. Berikan lingkungan yang melindungi bayi dari infekasi :<br />- Lakukan cuci tangan sebelum menyentuh bayi<br />- Ikuti protokol isolasi bayi<br />- Lakukan tehnik steril saat melakukan prosedur pada bayi<br /><br /><br />Dx. 6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan rapuh dan imaturitas kulit<br /><br />Tujuan : Mempertahankan integritas kulit <br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji kulit bayi terhadap kemerahan, iritasi, rashes, dan lesi serta keadaan pada area kulit yang tertekan.<br />2. Kaji tempat-tempat prosedur invasif pada bayi<br />3. Berikan perawatan kulit setiap hari. Lindungi kulit bayi dari kontak dengan agen pembersih atau plester.<br /><br />Dx. 7. Gangguan sensori persepsi : visual, auditory, kinestehetik, gustatory, taktil dan olfaktory berhubungan dengan stimulasi yang kurang atau berlebihan pada lingkungan intensive care<br /><br />Tujuan : Mempertahankan stimulasi sensori yang optimal tanpa berlebihan<br /><br />Tindakan :<br />1. Kaji kemampuan bayi memberikan respon terhadap stimulus. Observasi :<br />- Deficit neurologik<br />- Kurangnya perhatian bayi terhadap stimulus<br />- Tidak ada respon terhadap suara, kontak mata atau tidak adanya refleks normal<br />- Efek obat terhadap perkembangan bayi<br />2. Berikan stimulasi visual :<br />- Arahkan cahaya lampu pada bayi<br />- Ayunkan benda didepan mata bayi<br />- Letakkan bayi pada posisi yang memungkinkan untuk kontak mata : tegakkan bayi<br />3. Berikan stimulasi auditory :<br />- Bicara pada bayi, lakukan dengan tekanan suara rendah dan jelas<br />- Panggil bayi dengan namanya, bicara pada bayi saat memberikan perawatan<br />- Bernyanyi, mainkan musik tape recorder atau hidupkan radio<br />- Hindari suara bising di sekitar bayi<br />4. Berikan stimulasi tactile :<br />- Peluk bayi dengan penuh kasih sayang<br />- Berikan kesempatan pada bayi untuk menghisap<br />- Sentuh bayi dengan benda lembut seperti saputangan atau kapas<br />- Berikan perubahan posisi secara teratur<br />5. Berikan stimulasi gustatory dengan mendekatkan hidung bayi ke payudara ibu atau ASI yang ditampung.<br />6. Berikan periode istirahat dan tidur yang cukup.<br /><br />Dx. 8. Deficit pengetahuan (keluarga) tentang perawatan infant yang sakit di rumah<br /><br />Tujuan :<br />1. Informasikan orangtua dan keluarga tentang :<br />- Proses penyakit<br />- Prosedur perawatan<br />- Tanda dan gejala problem respirasi<br />- Perawatan lanjutan dan therapy<br />2. Ajarkan orangtua dan keluarga tentang treatment pada anak :<br />- Therapy home oksigen<br />- Ventilasi mekanik<br />- Fisiotherapi dada<br />- Therapy obat<br />- Therapy cairan dan nutrisi<br />3. Berikan kesempatan pada keluarga mendemontrasikan perawatan pada bayinya<br />4. Anjurkan keluarga terlibat pada perawatan bayi<br />5. Ajarkan keluarga dan orangtua bagaimana menyeimbangkan istirahat dan tidur dan bagaimana menilai toleransi bayi terhadap aktivitas.<br /><br /><br />ASFIKSIA<br />Penilaian bayi pada kelahiran adalah untuk mengetahui derajat vitalitas fungsi tubuh. Derajat vitalitas adalah kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat essensial dan kompleks untuk kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah dan reflek-reflek primitif seperti menghisap dan mencari puting susu. Bila tidak ditangani secara tepat, cepat dan benar keadaan umum bayi akan menurun dengan cepat dan bahkan mungkin meninggal. Pada beberapa bayi mungkin dapat pulih kembali dengan spontan dalam 10 – 30 menit sesudah lahir namun bayi tetap mempunyai resiko tinggi untuk cacat.<br /><br />Umumnya penilaian pada bayi baru lahir dipakai nilai APGAR (APGAR Score). Pertemuan SAREC di Swedia tahun 1985 menganjurkan penggunaan parameter penilaian bayi baru lahir dengan cara sederhana yang disebut nilai SIGTUNA (SIGTUNA Score) sesuai dengan nama tempat terjadinya konsensus. Penilaian cara ini terutama untuk tingkat pelayanan kesehatan dasar karena hanya menilai dua parameter yang essensial.<br /><br />Tabel 2. Cara Menetapkan Nilai SIGTUNA<br />Yang Dinilai 2 1 0 Nilai<br />Pernafasan Teratur Megap-megap Tidak ada <br />Denyut jantung > 100/menit < 100/menit Tidak ada <br />Jumlah nilai = Nilai SIGTUNA<br /><br />Derajat vitalitas bayi baru lahir menurut nilai SIGTUNA adalah : (a) tanpa asfiksia atau asfiksia ringan nilai = 4, (b) asfiksia sedang nilai 2 – 3, (c) asfiksia berat nilai 1, (d) bayi lahir mati / mati baru “fresh still birth” nilai 0.<br /><br />Selama ini umumnya untuk menilai derajat vitalitas bayi baru lahir digunakan penilaian secara APGAR. Pelaksanaanya cukup kompleks karena pada saat bersamaan penolong persalinan harus menilai lima parameter yaitu denyut jantung, usaha nafas, tonus otot, gerakan dan warna kulit. dari hasil penelitian di AS nilai APGAR sangat bermanfaat untuk mengenal bayi resiko tinggi yang potensial untuk kematian dan kecacatan neurologis jangka panjang seperti cerebral palsy. Dari lima variabel nilai APGAR hanya pernafasan dan denyut jantung yang berkaitan erat dengan terjadinya hipoksia dan anoksia. Ketiga variabel lain lebih merupakan indikator maturitas tumbuh kembang bayi. <br /><br />Penanganan asfiksia pada bayi baru lahir bertujuan untuk menjaga jalan nafas tetap bebas, merangsang pernafasan, menjaga curah jantung, mempertahankan suhu, dan memberikan obat penunjang resusitasi. Akibat yang mungkin muncul pada bayi asfiksia secara keseluruhan mengalami kematian 10 – 20 %, sedangkan 20 – 45 % dari yang hidup mengalami kelainan neurologi. Kira-kira 60 % nya dengan gejala sisa berat. Sisanya normal. Gejala sisa neurologik berupa cerebral palsy, mental retardasi, epilepsi, mikrocefalus, hidrocefalus dan lain-lain.<br /><br />Diagnosa Keperawatan<br />Gangguan pertukaran gas <br /><br />Data penunjang/Faktor kontribusi :<br />Oksigenasi yang adekuat dari bayi dipengaruhi banyak faktor seperti riwayat prenatal dan intrapartal, produksi mukus yang berlebihan, dan stress karena dingin. Riwayat prenatal dan intrapartal yang buruk dapat mengakibatkan fetal distress dan hipoksia saat masa adaptasi bayi. Pertukaran gas juga dapat terganggu oleh produksi mucus yang berlebihan dan bersihan jalan nafas yang tidak adekuat. Stress akibat dingin meningkatkan kebutuhan oksigen dan dapat mengakibatkan acidosis sebagai efek dari metabolisme anaerobik. <br /><br />Tujuan :<br />Jalan nafas bebas dari sekret/mukus, pernafasan dan nadi dalam batas normal, cyanosis tidak terjadi, tidak ada tanda dari disstres pernafasan.<br /><br />Intervensi :<br />• Amati komplikasi prenatal yang mempengaruhi status plasenta dan fetal (penyakit jantung atau ginjal, PIH atau Diabetes)<br />• Review status intrapartal termasuk denyut jantung, perubahan denyut jantung, variabilitas irama, level PH, warna dan jumlah cairan amnion.<br />• Catat waktu dan pengobatan yang diberikan kepada ibu seperti Magnesium sulfat atau Demerol<br />• Kaji respiratori rate<br />• Catat keadaan nasal faring, retraksi dada, respirasi grunting, rales atau ronchi<br />• Bersihkan jalan nafas; lakukan suction nasofaring jika dibutuhkan, monitor pulse apikal selama suction<br />• Letakkan bayi pada posisi trendelenburg pada sudut 10 derajat.<br />• Keringkan bayi dengan handuk yang lembut selimuti dan letakkan diantara lengan ibu atau hangatkan dengan unit pemanas<br />• Amati intensitas tangisan<br />• Catat pulse apikal<br />• Berikan sentuhan taktil dan stimulasi sensori<br />• Observasi warna kulit, lokasi sianosis, kaji tonus otot <br />Kolaborasi<br />• Berikan oksigen melalui masker, 4 - 7 lt/menit jika diindikasikan asfiksia<br />• Berikan obat-obatan seperti Narcan melalui IV<br />• Berikan terapi resusitasi<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Markum, A.H., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1991<br /><br />Melson, Kathryn A & Marie S. Jaffe, Maternal Infant Health Care Planning, Second Edition, Springhouse Corporation, Springhouse Pennsylvania, 1994<br /><br />Wong, Donna L., Wong & Whaley’s Clinical Manual of Pediatric Nursing, Fourth Edition, Mosby-Year Book Inc., St. Louis Missouri, 1990<br /><br />Doenges, Marilyn E., Maternal/Newborn Care Plans : Guidelines for Client Care, F.A. Davis Company, Philadelphia, 1988SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-86886858033868623952010-11-22T01:43:00.001-08:002010-11-22T01:43:34.882-08:00BAYI HIPERBILIRUBINEMIABAYI HIPERBILIRUBINEMIA<br /><br />A. Batasan-Batasan<br />1. Ikterus Fisiologis<br /> Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987): <br />• Timbul pada hari kedua-ketiga<br />• Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.<br />• Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari<br />• Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %<br />• Ikterus hilang pada 10 hari pertama<br />• Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu<br /> <br />2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia<br /> Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.<br /> <br />3. Kern Ikterus<br /> Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.<br /><br />D. Etiologi<br />1. Peningkatan produksi :<br />• Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.<br />• Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.<br />• Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .<br />• Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.<br />• Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).<br />• Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.<br />• Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.<br />2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.<br />3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksion yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Siphilis.<br />4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.<br />5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif<br /><br />E . Metabolisme Bilirubin <br /> Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site). <br /> Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.<br /><br /><br /> <br />Diagram Metabolisme Bilirubin<br /><br /><br /><br />ERITROSIT<br /><br /> <br /><br />HEMOGLOBIN<br /><br /> <br /><br />HEM<br /><br /> GLOBIN<br /><br />BESI/FE<br />BILIRUBIN INDIREK<br />( tidak larut dalal air )<br /><br /> Terjadi pada <br />Limpha, Makofag<br /><br /><br />BILIRUBIN BERIKATAN DENGAN ALBUMIN<br /><br /> Terjadi dalam <br />plasma darah<br /><br />MELALUI HATI<br /><br /> <br /><br />BILIRUBIN BERIKATAN DENGAN GLUKORONAT/ GULA RESIDU BILIRUBIN DIREK<br />( larut dalam air )<br /> Hati<br /><br /><br />BILIRUBIN DIREK DIEKSRESI KE KANDUNG EMPEDU<br /> <br /><br /><br /><br />Melalui <br />Duktus Billiaris<br /><br />KANDUNG EMPEDU KE DEUDENUM<br /><br /> <br /> BILIRUBIN DIREK DI EKSKRESI MELALUI URINE & FECES <br /> <br />F. Patofisiologi Hiperbilirubinemia<br /><br /> Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.<br /> Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.<br /> Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.<br /> Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).<br /><br />G. Penata Laksanaan Medis<br /> Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :<br />1. Menghilangkan Anemia<br />2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi<br />3. Meningkatkan Badan Serum Albumin<br />4. Menurunkan Serum Bilirubin<br /> Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.<br /> <br />Fototherapi<br /> Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.<br /> Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.<br /> Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.<br /><br />Tranfusi Pengganti<br /> Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :<br />1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.<br />2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.<br />3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.<br />4. Tes Coombs Positif<br />5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.<br />6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.<br />7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.<br />8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.<br />9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.<br /> <br />Transfusi Pengganti digunakan untuk :<br />1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.<br />2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)<br />3. Menghilangkan Serum Bilirubin <br />4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin<br /> <br /> Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil. <br /><br />Therapi Obat<br /> Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).<br />Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.<br /><br />Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:<br />1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.<br />Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sbb: <br />• Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.<br />• Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)<br />• Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.<br /><br />Pemeriksaan yang perlu dilakukan:<br />• Kadar Bilirubin Serum berkala.<br />• Darah tepi lengkap.<br />• Golongan darah ibu dan bayi.<br />• Test Coombs.<br />• Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.<br /><br />2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.<br />• Biasanya Ikterus fisiologis.<br />• Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.<br />• Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.<br />• Polisetimia.<br />• Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll).<br /><br />Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan:<br />• Pemeriksaan darah tepi.<br />• Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.<br />• Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.<br />• Pemeriksaan lain bila perlu.<br /><br />3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.<br />• Sepsis.<br />• Dehidrasi dan Asidosis.<br />• Defisiensi Enzim G6PD.<br />• Pengaruh obat-obat.<br />• Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.<br /><br />4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya: <br />• Karena ikterus obstruktif.<br />• Hipotiroidisme<br />• Breast milk Jaundice.<br />• Infeksi.<br />• Hepatitis Neonatal.<br />• Galaktosemia.<br />Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:<br />• Pemeriksaan Bilirubin berkala.<br />• Pemeriksaan darah tepi.<br />• Skrining Enzim G6PD.<br />• Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.<br /><br />ASUHAN KEPERAWATAN<br /> Untuk memberikan keperawatan yang paripurna digunakan proses keperawatan yang meliputi Pengkajian, Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi.<br /><br />Pengkajian<br />1. Riwayat orang tua :<br /> Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.<br />2. Pemeriksaan Fisik : <br /> Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui yang lemah, Iritabilitas.<br />3. Pengkajian Psikososial : <br /> Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.<br /> <br />4. Pengetahuan Keluarga meliputi : <br /> Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988)<br /><br />2. Diagnosa, Tujuan , dan Intervensi<br /> Berdasarkan pengkajian di atas dapat diidentifikasikan masalah yang memberi gambaran keadaan kesehatan klien dan memungkinkan menyusun perencanaan asuhan keperawatan. Masalah yang diidentifikasi ditetapkan sebagai diagnosa keperawatan melalui analisa dan interpretasi data yang diperoleh.<br />1. Diagnosa Keperawatan : Kurangnya volume cairan sehubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.<br /> Tujuan : Cairan tubuh neonatus adekuat<br /> Intervensi : Catat jumlah dan kualitas feses, pantau turgor kulit, pantau intake output, beri air diantara menyusui atau memberi botol.<br />2. Diagnosa Keperawatan : Gangguan suhu tubuh (hipertermi) sehubungan dengan efek fototerapi<br /> Tujuan : Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan<br /> Intervensi : Beri suhu lingkungan yang netral, pertahankan suhu antara 35,5 - 37 C, cek tanda-tanda vital tiap 2 jam.<br /> <br />3. Diagnosa Keperawatan : Gangguan integritas kulit sehubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare<br /> Tujuan : Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan<br /> Intervensi : Kaji warna kulit tiap 8 jam, pantau bilirubin direk dan indirek , rubah posisi setiap 2 jam, masase daerah yang menonjol, jaga kebersihan kulit dan kelembabannya.<br /> <br />4. Diagnosa Keperawatan : Gangguan parenting sehubungan dengan pemisahan <br /> Tujuan : Orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.<br /> Intervensi : Bawa bayi ke ibu untuk disusui, buka tutup mata saat disusui, untuk stimulasi sosial dengan ibu, anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya, libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan, dorong orang tua mengekspresikan perasaannya.<br /> <br />5. Diagnosa Keperawatan : Kecemasan meningkat sehubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.<br /> Tujuan : Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-gejala untuk menyampaikan pada tim kesehatan<br /> Intervensi :<br /> Kaji pengetahuan keluarga klien, beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah.<br /> <br />6. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan efek fototherapi<br /> Tujuan : Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat fototherapi<br /> Intervensi :<br /> Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya; usahakan agar penutup mata tida menutupi hidung dan bibir; matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam; buka penutup mata setiap akan disusukan; ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan.<br /> <br />7. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan tranfusi tukar<br /> Tujuan : Tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi <br /> Intervensi :<br /> Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan; basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam sebelum tindakan, pertahankan suhu tubuh bayi, catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar; pantau tanda-tanda vital; selama dan sesudah tranfusi; siapkan suction bila diperlukan; amati adanya ganguan cairan dan elektrolit; apnoe, bradikardi, kejang; monitor pemeriksaan laboratorium sesuai program.<br /><br />Aplikasi Discharge Planing.<br /> Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi dengan hiperbilirubin (seperti rangsangan, latihan, dan kontak sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama perawatan di Rumah Sakit dan perawatan lanjutan dirumah.<br /><br />Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat melakukan tindakan yang terbaik dalam perawatan bayi hiperbilirubinimea (warley &Wong, 1994):<br />1. Anjurkan ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguan-gangguan kesadaran seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui menurun.<br />2. Anjurkan ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk mempertahankan kelancaran air susu.<br />3. Memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk menurunkan kadar bilirubin bayi.<br />4. Menasehatkan pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal mencegah peningkatan bilirubin. <br />5. Mengajarkan tentang perawatan kulit : <br />• Memandikan dengan sabun yang lembut dan air hangat. <br />• Siapkan alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah sekitar kulit yang rusak. <br />• Gunakan pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan kelembaban kulit.<br />• Hindari pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.<br />• Hindari penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat mengakibatkan lecet karena gesekan<br />• Melihat faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti penekanan yang lama, garukan .<br />• Bebaskan kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena bab dan bak.<br />• Melakukan pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor kulit, capilari reffil.<br /><br />Hal lain yang perlu diperhatikan adalah : <br />1. Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 -38 celsius)<br />2. Perawatan tali pusat / umbilikus<br />3. Mengganti popok dan pakaian bayi<br />4. Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan sesuatu yang baru<br />5. Temperatur / suhu<br />6. Pernapasan<br />7. Cara menyusui<br />8. Eliminasi<br />9. Perawatan sirkumsisi<br />10. Imunisasi<br />11. Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :<br />• letargi ( bayi sulit dibangunkan )<br />• demam ( suhu > 37 celsius)<br />• muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)<br />• diare ( lebih dari 3 x)<br />• tidak ada nafsu makan.<br />12. Keamanan<br />• Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau, gunting) yang mudah dijangkau oleh bayi / balita.<br />• Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya<br />• Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana lainnya.<br />• Pengawasan yang ketat terhadap bayi oleh saudara - saudaranya.<br /><br /><br />RENCANA PEMULANGAN POST PARTUM<br />(DISCHARGE PLANNING)<br /><br />1. Pendahuluan <br /><br />Beberapa tahun terakhir ini sistem perawatan dan pengobatan telah berubah. Perawatan klien di rumah sakit saat ini diusahakan untuk mengurangi biaya perawatan dan memberi kesempatan pada pasien lain yang lebih membutuhkan. konsekuensinya, tim kesehatan harus membantu klien benar-benar memahami status kesehatannya dan harus mampu menyiapkan klien merawat dirinya sendiri di rumah atau di masyarakat.<br />Pendekatan perawatan klien selama post partum juga berubah. Klien tidak dianggap lagi orang sakit, tetapi dianggap suatu proses yang alami dan mereka dianggap sehat. Oleh karena itu klien harus secepatnya mobilisasi dan mandiri dalam merawat dirinya sendiri. Waktu perawatan juga berubah, menjadi lebih singkat, bisa hanya 24 jam sampai 72 jam saja. Dalam waktu yang sesingkat mungkin, klien dan keluarganya harus dibekali pengetahuan, ketrampilan dan informasi tempat rujukan sehingga klien mampu merawat dirinya sendiri. <br />Perawatan yang diberikan merupakan usaha kolaborasi yang melibatkan ibu dan keluarga, perawat, dokter dan tim kesehatan lainnya, untuk mencapai kesehatan yang optimal. Untuk semua alasan di atas maka rencana pemulangan pasien post partum sangat penting karena :<br />1. Memudahkan pemantauan kesehatan setelah pasien pulang ke rumah.<br />2. Membuat pasien lebih bertanggung jawab terhadap kesehatan dirinya.<br />3. Berkurangnya biaya pengobatan dan perawatan, tempat tidur dapat diisi pasien lain<br />4. Penggunaan rencana pemulangan tertulis sangat efektif untuk pedoman pengajaran dan evaluasi serta menjadi sumber pengetahuan ibu dan keluarga. <br /><br />Bagi klien post partum, pemulihan kesehatan setelah melahirkan relatif singkat dan dianggap suatu proses sehat. Persepsi ini sering kali membuat tim kesehatan berpendapat bahwa ibu dan keluarga tidak mempunyai kebutuhan dan pelatihan yang khusus, ditambah lagi ada anggapan bahwa keluarga sedang berbahagia dan siap menerima bayinya. Anggapan ini tentunya tidak benar karena setiap keluarga post pertum mempunyai kebutuhan dan masalah tertentu, ibu-ibu primipara bingung dalam merawat dan beradaptasi dengan bayi dan peran barunya, sedangkan ibu-ibu multipara mungkin bingung dengan masalah keuangan, anak-anak yang lain serta berhubungan dengan datangnya anggota baru. Jadi pendekatan dan perhatian dan sikap tim kesehatan, harus sama dengan kedua kelompok ini. Pada masa perawatan post partum di rumah sakit inilah mereka menerima pengajaran dan bimbigan untuk mengantisipasi perubahan fisik dan suasana dalam keluarga di rumah nanti.<br /><br />Karena kebanyakan ibu dirawat dalam waktu singkat, maka penting bagi perawat mempersiapkan klien secara sistematis. Seringkali digunakan paduan format-format. Sebelum ibu pulang sebaiknya rencana pemulangan sudah dipersiapkan dan perawat masih tetap menyediakan waktu untuk penguatan dan evaluasi pengetahuan, ketrampilan, dan kondisi mental seluruh keluarga. Mengingat luasnya dan kompleksnya perawatan terhadap klien post partum, maka kelompok mambatasi permasalahannya tentang pendidikan kesehatan pada klien post partum.<br /><br />Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran yang lebih jelas kepada perawat dan tenaga kesehatan lainnya mengenai rencana pemulangan klien post partum, hal ini akan diuraikan dalam makalah.<br /> <br />TINJAUAN KEPUSTAKAAN<br /><br />Rencana Pemulangan<br />Rencana Pemulangan (RP) merupakan bagian pelayanan perawatan, yang bertujuan untuk memandirikan klien dan mempersiapkan orang tua untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional bayi bila pulang.<br /><br />Waktu yang terbaik untuk memulai rencana pulang adalah hari pertama masuk rumah sakit. Klien belum dapat dipulangkan sampai dia mampu melakukan apa yang diharapkan darinya ketika di rumah. Oleh karena itu Rencana Pemulangan harus didasarkan pada :<br />1. Kemampuan klien untuk melakukan aktifitas sehari-hari dan seberapa jauh tingkat ketergantungan pada orang lain<br />2. Ketrampilan, pengetahuan dan adanya anggota keluarga atau teman<br />3. Bimbingan perawat yang diperlukan untuk memperbaiki dan mempertahankan kesehatan, pendidikan, dan pengobatan.<br /><br />Beberapa hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan proses berencana untuk memulangkan klien adalah :<br />1. Menentukan klien yang memerlukan rencana pulang.<br />2. Waktu yang terbaik untuk memulai rencana pulang.<br />3. Staf yang terlibat dalam rencana pulang.<br />4. Cara yang digunakan dan evaluasi efektifitas dari rencana pulang.<br /><br />Beberapa karakteristik yang harus dipertimbangkan dalam membuat Rencana Pemulangan (RP) adalah :<br />1. Berfokus pada klien. Nilai, keinginan dan kebutuhan klien merupakan hal penting dalam perencanaan. Klien dan keluarga harus berpartisipasi aktif dalam hal ini.<br />2. Kebutuhan dasar klien pada waktu pulang harus diidentifikasi pada waktu masuk dan terus dipantau pada masa perawatan<br />3. Kriteria evaluasi menjadi panduan dalam menilai keberhasilan implementasi dan evaluasi secara periodik.<br />4. Rencana pemulangan suatu proses yang melibatkan tim kesehatan dari berbagai disiplin ilmu.<br />5. Klien harus membuat keputusan yang tertulis mengenai rencana pemulangan.<br /><br />Rencana penyuluhan didasarkan pada :<br />1. Kebutuhan belajar orang tua.<br />2. Prinsip belajar mengajar.<br />3. Mengkaji tingkat pengetahuan dan kesiapan belajar.<br />• Metode belajar<br />• Kondisi fisik dan psikologis orang tua<br />4. Latar belakang sosial budaya untuk proses belajar mengajar<br />• Tekankan bahwa merawat bayi bukan hanya kewajiban wanita<br />5. Lamanya bayi dan ibu tinggal di rumah sakit<br />• “Early discharge” 6 - 8 jam I, dimana informasi penting harus diberikan serta follow up.<br /><br />Cara-cara penyampaian Rencana Pemulangan adalah :<br />1. Gunakan bahasa yang sederhana, jelas dan ringkas.<br />2. Jelaskan langkah-langkah dalam melaksanakan suatu perawatan.<br />3. Perkuat penjelasan lisan dengan instruksi tertulis<br />4. Motivasi klien untuk mengikuti langkah-langkah tersebut dalam melakukan perawatan dan pengobatan.<br />5. Kenali tanda-tanda dan gejala komplikasi yang harus dilaporkan pada tim kesehatan.<br />6. Berikan nama dan nomor telepon yang dapat klien hubungi.<br /> <br /><br />Dasar-dasar rencana penyuluhan<br />1. Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 -38 celsius)<br />• membersihkan mata dari dalam ke luar<br />• membersihkan kepala bayi (bayi masih berpakaian lalu keringkan)<br />• buka pakaian bayi, beri sabun dan celupkan ke dalam air.<br />2. Perawatan tali pusat / umbilikus<br />• bersihkan dengan alkohol lalu kompres betadin<br />• tali pusat akan tanggal pada hari 7 - 10<br />3. Mengganti popok dan pakaian bayi<br />4. Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan sesuatu yang baru<br />5. Cara-cara mengukur suhu <br />6. Memberi minum<br />7. Pola eliminasi<br />8. Perawatan sirkumsisi<br />9. Imunisasi<br />10. Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :<br />• letargi ( bayi sulit dibangunkan )<br />• demam ( suhu > 37 celsius)<br />• muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)<br />• diare ( lebih dari 3 x)<br />• tidak ada nafsu makan.<br /><br />Rencana pemulangan ditujukan pada :<br /><br />IBU<br />Dalam rencana pemulangan yang perlu dianjurkan antara lain :<br />1. Pernapasan dada<br />2. Bentuk tubuh, lumbal,dan fungsi otot-otot panggul<br />3. Latihan panggul, evaluasi, gambaran dan ukuran yang menyenangkan<br />4. Latihan penguatan otot perut<br />5. Posisi nyaman untuk istirahat<br />6. Permudahan gerakan badan dari berdiri ke jalan<br />7. Tehnik relaksasi<br />8. Pencegahan; jangan mengangkat berat, melakukan sit up secara berlebihan. <br />Daftar kegiatan sangat membantu kondisi post partum kembali dalam keadaan sehat. Saat ibu kembali ke rumah, secara bertahap akan kembali melakukan aktivitas normal. Pekerjaan rumah akan membantu mencegah kekakuan otot-otot secara umum tetapi tidak akan melemahkan kekuatan otot (Blankfield, 1967).<br /><br />Ketika membantu klien untuk memilih program latihan perawat seharusnya memperingatkan akan perubahan muskuloskeletal yang akan kembali normal pada 6 - 8 minggu (Danforth,1967). Selama periode ini, ligamen-ligamen akan lunak dan saling terpisah oleh karena itu latihan-latihan memerlukan keregangan dan kekuatan otot-otot yang berlebihan seperti halnya aerobik, lari, dan lai-lain harus dihindari selama periode ini untuk mencegah ketegangan. Aktifitas yang aman seperti berjalan, berenang dan bersepeda sangat dianjurkan. Seorang wanita dapat memulai latihan atau Yoga 2 minggu setelah melahirkan pervaginam atau 4 - 6 minggu setelah mengalami operasi caesar. <br /><br />Secara ideal ini harus memiliki seorang instruktur yang berpengalaman yang bertanggung jawab selama melatih ibu post partum. Ibu biasanya mendapatlan kesulitan dalam mengatur waktu untuk latihan atau melakukan tehnik relaksasi di rumah. Perawat harus membantu mendorong ibu untuk istirahat ketika bayi sedang tidur dan mencoba untuk tidak melakukan pekerjaan selama waktu itu. <br /><br />Wanita biasanya kurang sabar dalam hal merawat tubuhnya . Perawat harus mengingatkan bahwa selama masa menyusui membutuhkan ekstra lemak dari tubuhnya, oleh karena itu nutrizi dan gizi yang baik sangat dibutuhkan. Perawat harus meyakinkan ibu bahwa waktu yang dibutuhkan seorang wanita untuk kembali pada tubuh yang normal setelah persalinan sangan bervariasi dan prosesnya dapat berlangsung 6 - 12 bulan.<br /><br />Selama masa nifas ibu perlu memperhatikan :<br />Pemenuhan rasa nyaman<br />Hari I<br /><br /><br /><br />Hari II<br /><br /><br /><br />Pernapasan<br /><br />Latihan<br />Hari I<br />Permulaan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Hari II<br />tambahan <br />Perineum kompres dingin. Posisi terlentang, Sim, telungkup; semua dengan bantal yang menyokong kepala, kedua lutut dan pelvis hanya untuk prone (telungkup)<br />Gunakan BH yang menyangga, lakukan rendam hangat (daerah perineum), lanjutkan latihan Kegel, posisi berbaring atau telungkup (2x sehari selama 30 - 60 menit), ambulansi.<br />Pernafasan ke arah dada dan toraks<br />Pengembalian posisi pelvis : <br />Pengerutan dasar pelvis 1-3-5 detik 5 kali / jam<br />Pengerutan abdomen 5 - 10 detik 5 kali / 2 x sehari<br />Pergerutan abdomen dan <br />dasar pelvis 3-5-10 detik 5 x / 2x sehari <br />Pengerutan abdominal,<br /> dasar panggul dan bokong 3 - 5- 10 detik 5 x /2x sehari<br />Ekstremitas bagian bawah<br />Menutup dan membuka lutut 10 x / jam<br />Memutar lutut 10 x / jam<br />Mengaktifkan quatriseps 5 - 10 detik, 10 x / jam<br />Abdominal / pelvis<br />Mengkaji dasar pelvis 1x tiap hari<br />Mengangkat pinggul 5 detik , 5 x / 2x sehari<br />Gerakan bersepeda dengan terus-<br />menerus terlentang 5x / 2x sehari<br />Mengangkat bokong 5 detik, 5 x /2 x sehari<br />Mengangkat kepala 5 detik, 5 x / 2x sehari<br /><br /><br /> <br /> <br />Instruksi masa nifas adalah :<br />Bekerja <br />Ibu seharusnya menghindari kerja berat (misalnya mengangkat / membawa beban) pada 3 minggu pertama. Pada ibu-ibu yang mempunyai pengertian berbeda tengan kerja berat dapat mendiskusikan dengan ibu-ibu yang lain. Perawat dapat membantu mengidentifikasikan pengertian dari kerja berat.<br />Biasanya dianjurkan tidak bekerja selama 3 minggu ( lebih baik 6 minggu), bukan saja untuk kesehatan tetapi juga untuk mendapatkan kesempatan lebih dekat dengan bayinya.<br /><br />Istirahat<br />Ibu sebaiknya mengusahakan bisa tidur siang dan tidur malam yang cukup. Ibu biasanya tidur siang selagi bayi tidur dan minta suami/keluarga menggantikan tugas-tugas yang ada. Mintalah keluarga / suami untuk membantu tugas-tugas rumah tangga.<br /><br /><br />Kegiatan / aktifitas / latihan<br />Pada minggu pertama ibu seharusnya memulai latihan berjalan setahap demi setahap.<br />Pada minggu ke dua, jika lokea normal dapat memulai latihan aktifitas lain yang akan direncanakan seperti mencuci popok setiap hari walaupun dengan memakai mesin cuci, naik turun tangga untuk melihat bayinya atau berada setiap saat disamping bayinya. Ibu seharusnya melanjutkan senam nifas di rumah seperti halnya sit up dan mengangkat kaki.<br /><br /><br />Kebersihan <br />Ibu harus tetap bersih, segar dan wangi. Merawat perineum dengan baik dengan menggunakan antiseptik (PK / Dethol) dan selalu diingat bahwa membersihkan perineum dari arah depan ke belakang.<br /><br />Coitus<br />Coitus lebih segera setelah lokea menjadi alba dan bila ada episiotomi sudah membaik / sembuh ( minggu 3 setelah persalinan)<br />Sel-sel vagina mungkin tidak setebal sebelumnya karena keseimbangan hormon prepregnansi belum kembali secara lengkap. Gunakan kontrasepsi busa atau jeli akan membantu kenyamanan dan pengaturan posisi yang bisa mengurangi penekanan atau dispariunia.<br /><br />Kontrasepsi<br />Jika ibu menginginkan memakai IUD, dapat dipasang segera setelah persalinan atau chekup post partum yang pertama. Jenis kontrasepsi yang memakai diafragma harus pada minggu ke 6 , kontrasepsi oral dimulai antara 2 -3 minggu post partum sampai kembali pada chekup berikutnya. Ibu dan pasangannya dapat menggunakan kombinasi antara jelly yang mengandung spermatid dengan kondom lebih dapat mencegah pembuahan. Konsultasi dalam memilih alat kontrasepsi harus kepada tenaga kesehatan yang berkopeten untuk mencegah kesalahan informasi.<br /><br />BAYI<br />Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi (seperti rangsangan, latihan, dan kotak sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama perencanaan pulang .<br /><br />Yang perlu diperhatikan adalah :<br />Temperatur / suhu<br />1. Sebab-sebab penurunan suhu tubuh<br />2. Catat gejala-gejala yang timbul seperti kelemahan, bersin, batuk dll.<br />3. Cara-cara mengurangi / menurunkan suhu tubuh seperti kompres dingin, mencegah bayi terkena sinar matahari terlalu lama, dan lain-lain<br />4. Gunakan lampu penghangat / selimut tambahan<br />5. Ukur suhu tubuh <br /><br />Pernapasan<br />1. Perubahan frekwensi dan irama napas<br />2. Refleks-refleks seperti; bersin, batuk.<br />3. Pencegahan terhadap asap rokok, infeksi orang terkena infeksi saluran napas<br />4. Gejala-gejala pnemonia aspirasi<br /><br />Eliminasi<br />1. Perubahan warna dan kosistensi feses<br />2. Perubahan warna urin<br /><br />Keamanan<br />1. Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau, gunting) yang mudah dijangkau oleh bayi / balita.<br />2. Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya<br />3. Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana lainnya.<br />4. Pengawasan yang ketat terhadap bayi oleh saudara - saudaranya.<br /><br />ADAPTASI FISIOLOGIS PADA MASA POST PARTUM/NIFAS<br /><br />Sebelum membahas tentang perubahan-perubahan pada masa nifas baik fisiologis maupun psikologis, maka kelompok akan menjelaskan terlebih dahulu tentang pengertian nifas.<br />Masa nifas adalah suatu masa dimana tubuh menyesuaikan baik fisik maupun psikologis terhadap proses melahirkan yang lamanya kurang lebih 6 minggu. Selain itu, pengertian masa nifas adalah masa mulainya persalinan sampai pulihnya alat-alat dan anggota badan yang berhubungan dengan kehamilan / persalinan. (Ahmad Ramli. 1989).<br /><br />Dari dua pengertian di atas kelompok menyimpulkan bahwa masa nifas adalah masa sejak selesainya persalinan hingga pulihnya alat-alat kandungan dan anggota badan serta psikososial yang berhubungan dengan kehamilan / persalinan selama 6 minggu.<br /><br />Dalam proses adaptasi pada masa post partum terdapat 3 (tiga) periode yang meliputi “immediate puerperium” yaitu 24 jam pertama setelah melahirkan, “ early puerperium” yaitu setelah 24 jam hingga 1 minggu, dan “late puerperium” yaitu setelah 1 minggu sampai dengan 6 minggu post partum.<br /><br />Perubahan fisiologis terjadi sejak hari pertama melahirkan. Adapun perubahan fisik yang terjadi adalah :<br />Sistem kardiovaskuler<br />Sebagai kompensasi jantung dapat terjadi brandikardi 50 - 70 x/menit, keadaan ini dianggap normal pada 24 - 48 jam pertama. Perubahan suhu yang meningkat sampai dengan 38 Celsius sebagai akibat pemakaian tenaga dan banyak berkeringat saat melahirkan. Peningkatan suhu tubuh lebih dari 38 Celsius menunjukan adanya tanda-tanda infeksi pada post partum seperti mastitis, endometritits. Penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg pada saat klien merubah posisi dari berbaring ke duduk lebih disebabkan oleh refleks ortostatik hipertensi.<br /><br />Diaporesis Post partum<br />Klien dapat mengeluarkan keringat yang banyak disertai perasaan menggigil. Perasaan ini terjadi karena vasomotor yang tidak stabil.<br />Perubahan sistem urinarius<br />Selama masa persalinan trauma pada kandung kemih dapat mengakibatkan edema dan mengurangi sensitifitas kandung kemih. Perubahan ini dapat terjadi sebagai akibat peregangan yang berlebihan dan pengosongan kandung kemih yang tidak tuntas. <br />Bila klien lebih dari dua hari tidak dapat buang air kecil, maka keadaan ini merupakan hal yang tidak normal. Protein urin pada hari kedua adalah normal, karena kebutuhan protein yang dikatalisis involusi uteri meningkat. Bila ini berlangsung sampai dengan hari ke tujuh, menandakan adanya gejala preeklamsi.<br /><br />Perubahan sistem gastro intestinal<br />Keadaan gastro intestinal kembali berfungsi ke keadaan semula setelah satu minggu post partum. Konstipasi terjadi akibat penurunan motilitas usus, kehilangan cairan tubuh dan rasa tidak nyaman di daerah perineum, penggunaan enema pada kala I dan penurunan tonus otot abdominal.<br /><br />Keadaan muskuloskeletal<br />Pada masa kehamilan otot abdomen meregang sedemikian rupa dikarenakan pembesaran uterus yang mengakibatkan otot abdomen melemas dan kendor sehingga teraba bagian otot-otot yang terpisah disebut diastasis recti abdominis.<br /><br />Perubahan sisten endokrin<br />Perubahan sistem endokrin disini terjadi penurunan segera kadar hormon estrogen dan progesteron. Hormon prolaktin pada masa laktasi akan meningkat sebagai respon stimulasi penghisapan puting susu ibu oleh bayi. Pada wanita yang tidak menyusui hormon estrogen dapat meningkat dan merangsang pematangan folikel. Untuk itu menstruasi dapat terjadi 12 minggu post partum, pada klien menyusui dapat lebih lama (36 minggu).<br /><br />Perubahan pada payudara<br />Payudara dapat membengkak karena sistem vaskularisasi dan limfatik disekitar payudara dan mengakibatkan perasaan tegang dan sakit. Pengeluaran air susu ke duktus lactiferus oleh kontraksi sel-sel mioepitel tergantung pada sekresi oksitosin dan rangsangan penghisapan puting susu oleh bayi.<br /><br />Perubahan uterus<br />Involusi uterus terjadi segera setelah melahirkan. Tinggi fundus uteri pada saat plasenta lahir 1 - 2 jam setinggi 1 jari di atas pusat, 12 jam setelah melahirkan tinggi fundus uteri pertengahan pusat dan sympisis, pada hari ke sembilan uterus tidak teraba lagi. Bersama involusi uterus ini teraba terdapat pengeluaran lochea. Lochea pada hari ke 1 - 3 berwarna merah muda (rubra), pada hari ke 4 - 9 warna coklat / pink (serosa), pada hari ke- 9 warna kuning sampai putih (alba).<br /><br />Perubahan dinding vagina<br />Segera setelah melahirkan dinding vagina tampak edema, memar serta rugae atau lipatan-lipatan halus tidak ada lagi.<br />Pada daerah perineum akan tampak goresan akibat regangan pada saat melahirkan dan bila dilakukan episiotomi akan menyebabkan rasa tidak nyaman.<br /><br />ADAPTASI PSIKOLOGI PADA MASA POST PARTUM<br />I. Adaptasi Psikologi Ibu <br />Menjadi orang tua merupakan suatu krisis tersendiri dan harus melewati masa transisi. Masa transisi pada post partum yang harus diperhatikan perawat adalah :<br />1. Honeymoon adalah fase setelah anak lahir dan dan terjadi kontak yang lama antara ibu, ayah, anak. Kala ini dapat dikatakan sebagai psikis honeymoon yang memerlukan hal-hal romantis masing-masing saling memperhatikan anaknya dan menciptakan hubungan yang baru.<br /> <br />2. “ Bonding Attachment ” atau ikatan kasih <br />• Dimulai sejak dini begitu bayi dilahirkan. “Bonding” adalah suatu istilah untuk menerangkan hubungan antara ibu dan anak. Sedangkan “attachment” adalah suatu keterikatan antara orang tua dan anak. Peran perawat penting sekali untuk memikirkan bagaimana hal tersebut dapat terlaksana. Partisipasi suami dalam proses persalinan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan ikatan kasih tersebut.<br /><br />Perubahan psikologis pada klien post partum akan dikuti oleh perubahan psikologis secara simultan sehingga klien harus beradaptasi secara menyeluruh. <br />Menurut klasifikasi Rubin terdapat tiga tingkat psikologis klien setelah melahirkan adalah :<br /><br />“Taking In”<br />Suatu periode dimana ibu hanya berorientasi pada kebutuhan diri sendiri, tingkah laku klien pasif dengan berdiam diri, tergantung pada orang lain. Ibu belum mempunyai inisiatif untuk kontak dengan bayinya. Dia sangat membutuhkan orang lain untuk membantu, kebutuhannya yang utama adalah istirahat dan makan. Selain itu ibu mulai menerima pengalamannya dalam melahirkan dan menyadari bahwa hal tersebut adalah nyata. Periode ini berlangsung 1 - 2 hari.<br /><br />Menurut Gottible, ibu akan mengalami “proses mengetahui/menemukan “ yang terdiri dari :<br />1. Identifikasi<br /> Ibu mengidentifikasi bagian-bagian dari fisik bagyi, gambaran tubuhnya untuk menyesuaikan dengan yang diharapkan atau diimpikan.<br />2. Relating (menghubungkan) <br /> Ibu menggambarkan anaknya mirip dengan anggota keluarga yang lain, baik dari tingkah lakunya dan karakteristiknya.<br />3. Menginterpretasikan<br />• Ibu mengartikan tingkah laku bayi dan kebutuhan yang dirasakan.<br />Pada fase ini dikenal dengan istilah “ fingertip touch”<br /><br />“ Taking Hold “<br />Periode dimana terjadi perpindahan dari keadaan ketergantungan keadaan mandiri. Perlahan-lahan tingkat energi klien meningkat merasa lebih nyaman dan mulai berfokus pada bayi yang dilahirkan. Klien lebih mandiri, dan pada akhirnya mempunyai inisiatif untuk merawat dirinya, mampu untuk mengontrol fungsi tubuh, fungsi eliminasi dan memperhatikan aktifitas yang dilakukannya setiap hari. Jika ibu merawat bayinya, maka ia harus memperhatikan kualitas dan kuantitas dari produksi ASI. Selain itu, ibu seharusnya tidak hanya mengungkapkan keinginannya saja akan tetapi harus melakukan hal tersebut, misalnya keinginan berjalan, duduk, bergerak seperti sebelum melahirkan. Disini juga klien sangat antusias merawat bayinya. Pada fase ini merupakan saat yang tepat untuk memberikan pendidikan perawatan utnuk dirinya dan bayinya. Pada saat ini perawat mutlak memberikan semua tindakan keperawatan seperti halnya menghadapi kesiapan ibu menerima bayi, petunjuk-petunjuk yang harus diikuti tentang bagaimana cara mengungkapkan dan bagaimana mengaturnya. Perawat harus berhati-hati dalam memberikan instruksi dan tidak memaksakan kehendaknya sendiri.<br />Apabila klien merasa tidak mampu berbuat seperti yang diperbuat oleh perawat, maka perawat harus turun langsung membantu ibu dalam melaksanakan kegiatan / tugas yang nyata (setelah pemberian demonstrasi yang penting) dan memeberi pujian untuk setiap tindakan yang tepat. <br />Bila ibu sudah merasakan lebih nyaman, maka ibu sudah masuk dalam tahap ke- 2 “ maternal touch”, yaitu “total hand contact” dan akhirnya pada tahap ke- 3 yang disebut “ enfolding”. Dan periode ini berlangsung selama 10 hari.<br /><br />“Letting Go”<br />Pada fase ini klien sudah mampu merawat dirinya sendiri dan mulai disibukan oleh tanggung jawabnya sebagai ibu. Secara umum fase ini terjadi ketika ibu kembali ke rumah.<br />Pada fase ini ibu mengalami 2 perpisahan, yaitu :<br />• Mengerti dan menerima bentuh fisik dari bayinya<br />• Melepaskan peran ibu sebelum memiliki anak, menjadi ibu yang merawat anak.<br /><br />“Post partum Blues”<br />Pada fase ini , terjadi perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron yang menurun, selain itu klien tidak siap dengan tugas-tugas yang harus dihadapinya. Post partum blues biasanya terjadi 6 minggu setelah melahirkan. Gejala yang tampak adalah menangis, mudah tersinggung, gangguan nafsu makan, gangguan pola tidur, dan cemas. <br />Bila keadaan ini berlangsung lebih dari 2 minggu dan klien tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan tugasnya, maka keadaan ini dapat menjadi serius yaitu keadaan post partum depresi.<br /><br />II. Adaptasi Psikologis Ayah<br />Respon ayah pada masa sesudah klien melahirkan tergantung keterlibatanya selama proses persalinan, biasanya ayah akan merasa lelah, ingin selalu dekat dengan isteri dan anaknya, tetepi kadang-kadang terbentur dengan peraturan rumah sakit. <br /><br />III. Adaptasi Psikologis Keluarga<br />Kehadiran bayi baru lahir dalam keluarga menimbulkan perubahan peran dan hubungan dalam keluarga tersebut, misalnya anak yang lebih besar menjadi kakak, orang tua menjadi kakek / nenek, suami dan isteri harus saling membagi perhatian. Bila banyak anggoata yang membantu merawat bayi, maka keadaan tidaklah sesulit dengan tidak ada yang membantu, sementara klien harus ikut aktif melibatkan diri dalam merawat bayi dan membantu rumah tangga.<br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br /><br />Bobak and Jansen (1984), Etential of Nursing. St. Louis : The CV Mosby Company<br />Hawkins, J.W. and Gorsine, B. (1985), Post Partum Nursing, New York: Springen<br />Nelson J.P. and May, K.A.(1986), Comprehensive Maternity Nursing. Philadelphia : J.B. Lippincot Company.<br />Reeder,S.J. et al.(1983), Maternity Nursing, Philadelphia : J.B. Lippincot Company.SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-62241090247821636222010-11-22T01:42:00.002-08:002010-11-22T01:43:16.915-08:00ASKEP ANAK ASTHMA BRONCHIALASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ASTHMA BRONCHIAL<br /><br />Definisi<br />Asthma disebut juga sebagai reactive air way disease (RAD), adalah suatu penyakit obstruksi pada jalan nafas secara riversibel yang ditandai dengan bronchospasme, inflamasi dan peningkatan sekresi jalan napas terhadap berbagai stimulan.<br />Patofisiologi<br /> Astma pada anak terjadi adanya penyempitan pada jalan nafas dan hiperaktif dengan respon terhadap bahan iritasi dan stimulus lain.<br /> Dengan adanya bahan iritasi atau allergen otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat antibodi tubuh muncul ( immunoglobulin E atau IgE ) dengan adanya alergi. IgE di muculkan pada reseptor sel mast dan akibat ikatan IgE dan antigen menyebabkan pengeluaran histamin dan zat mediator lainnya. Mediator tersebut akan memberikan gejala asthma.<br /> Respon astma terjadi dalam tiga tahap : pertama tahap immediate yang ditandai dengan bronkokontriksi ( 1-2 jam ); tahap delayed dimana brokokontriksi dapat berulang dalam 4-6 jam dan terus-menerus 2-5 jam lebih lama ; tahap late yang ditandai dengan peradangan dan hiperresponsif jalan nafas beberapa minggu atau bulan.<br /> Astma juga dapat terjadi faktor pencetusnya karena latihan, kecemasan, dan udara dingin.<br /> Selama serangan asthmatik, bronkiulus menjadi meradang dan peningkatan sekresi mukus. Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas menjadi bengkak, kemudian meningkatkan resistensi jalan nafas dan dapat menimbulkan distres pernafasan<br /> Anak yang mengalami astma mudah untuk inhalasi dan sukar dalam ekshalasi karena edema pada jalan nafas.Dan ini menyebabkan hiperinflasi pada alveoli dan perubahan pertukaran gas.Jalan nafas menjadi obstruksi yang kemudian tidak adekuat ventilasi dan saturasi 02, sehingga terjadi penurunan p02 ( hipoxia).Selama serangan astmati, CO2 terthan dengan meningkatnya resistensi jalan nafas selama ekspirasi, dan menyebabkan acidosis respiratory dan hypercapnea. Kemudian sistem pernafasan akan mengadakan kompensasi dengan meningkatkan pernafasan (tachypnea), kompensasi tersebut menimbulkan hiperventilasi dan dapat menurunkan kadar CO2 dalam darah (hypocapnea). <br />Alergen, Infeksi, Exercise ( Stimulus Imunologik dan Non Imunologik )<br /> <br />Merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel T helper<br /> <br />IgE diikat oleh sel mastosit melalui reseptor FC yang ada di jalan napas<br /> <br />Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastosit<br /> <br />Akibat ikatan antigen-IgE, mastosit mengalami degranulasi dan melepaskan mediator radang ( histamin )<br /> <br />Peningkatan permeabilitas kapiler ( edema bronkus )<br />Peningkatan produksi mukus ( sumbatan sekret )<br />Kontraksi otot polos secara langsung atau melalui persarafan simpatis ( N.X )<br /> <br />Hiperresponsif jalan napas<br /> <br />Astma<br /> <br /> Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan nafas, dan tidak efektif pola nafas berhubungan dengan bronkospasme, edema mukosa dan meningkatnya produksi sekret.<br /> Fatigue berhubungan dengan hypoxia meningkatnya usaha nafas.<br /> Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi dan distress pernafasan<br /> Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan meningkatnya pernafasan dan menurunnya intake cairan<br /> Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi kronik<br /> Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan pengobatan<br /> <br />Komplikasi<br /> Mengancam pada gangguan keseimbangan asam basa dan gagal nafas<br /> Chronik persistent bronchitis<br /> Bronchiolitis<br /> Pneumonia<br /> Emphysema.<br /><br />Etiologi<br /> Faktor ekstrinsik :reaksi antigen- antibodi; karena inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang).<br /> Faktor intrinsik; infeksi : para influenza virus, pneumonia,Mycoplasma..Kemudian dari fisik; cuaca dingin, perubahan temperatur. Iritan; kimia.Polusi udara ( CO, asap rokok, parfum ). Emosional; takut, cemas, dan tegang. Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus.<br /><br />Manifestasi klinis<br /> Auskultasi :Wheezing, ronki kering musikal, ronki basah sedang.<br /> Dyspnea dengan lama ekspirasi; penggunaan otot-otot asesori pernafasan, cuping hidung, retraksi dada,dan stridor.<br /> Batuk kering ( tidak produktif ) karena sekret kental dan lumen jalan nafas sempit.<br /> Tachypnea, orthopnea.<br /> Diaphoresis<br /> Nyeri abdomen karena terlibatnya otot abdomen dalam pernafasan.<br /> Fatigue.<br /> Tidak toleransi terhadap aktivitas; makan, bermain, berjalan, bahkan bicara.<br /> Kecemasan, labil dan perubahan tingkat kesadaran.<br /> Meningkatnya ukuran diameter anteroposterior (barrel chest) akibat ekshalasi yang sulit karena udem bronkus sehingga kalau diperkusi hipersonor.<br /> Serangan yang tiba-tiba atau berangsur.<br /> Bila serangan hebat : gelisah, berduduk, berkeringat, mungkin sianosis.<br /> X foto dada : atelektasis tersebar, “Hyperserated”<br /> <br />Pemeriksaan Diagnostik<br /> Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik<br /> Foto rontgen<br /> Pemeriksaan fungsi paru; menurunnya tidal volume, kapasitas vital, eosinofil biasanya meningkat dalam darah dan sputum<br /> Pemeriksaan alergi<br /> Pulse oximetri<br /> Analisa gas darah.<br /><br />Penatalaksanaan serangan asma akut :<br /> Oksigen nasal atau masker dan terapi cairan parenteral. <br /> Adrenalin 0,1- 0,2 ml larutan : 1 : 1000, subkutan. Bila perlu dapat diulang setiap 20 menit sampai 3 kali.<br /> Dilanjutkan atau disertai salah satu obat tersebut di bawah ini ( per oral ) :<br />a. Golongan Beta 2- agonist untuk mengurangi bronkospasme :<br /> Efedrin : 0,5 – 1 mg/kg/dosis, 3 kali/ 24 jam<br /> Salbutamol : 0,1-0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam<br /> Terbutalin : 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/ 24 jam<br />Efeknya tachycardia, palpitasi, pusing, kepala, mual, disritmia, tremor, hipertensi dan insomnia, . Intervensi keperawatan jelaskan pada orang tua tentang efek samping obat dan monitor efek samping obat.<br /><br />b. Golongan Bronkodilator, untuk dilatasi bronkus, mengurangi bronkospasme dan meningkatkan bersihan jalan nafas.<br /> Aminofilin : 4 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam<br /> Teofilin : 3 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam <br /> Pemberian melalui intravena jangan lebih dari 25 mg per menit.Efek samping tachycardia, dysrhytmia, palpitasi, iritasi gastrointistinal,rangsangan sistem saraf pusat;gejala toxic;sering muntah,haus, demam ringan, palpitasi, tinnitis, dan kejang. Intervensi keperawatan; atur aliran infus secara ketat, gunakan alat infus kusus misalnya infus pump.<br /><br />c. Golongan steroid, untuk mengurangi pembengkakan mukosa bronkus. Prednison : 0,5 – 2 mg/kg/hari, untuk 3 hari (pada serangan hebat).<br /> <br />ASUHAN KEPERAWATAN<br /><br />1 PENGKAJIAN <br />1.1 Identitas<br />Pada asma episodik yang jarang, biasanya terdapat pada anak umur 3-8 tahun.Biasanya oleh infeksi virus saluran pernapasan bagian atas. Pada asma episodik yang sering terjadi, biasanya pada umur sebelum 3 tahun, dan berhubungan dengan infeksi saluran napas akut. Pada umur 5-6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas.Biasanya orang tua menghubungkan dengan perubahan cuaca, adanya alergen, aktivitas fisik dan stres.Pada asma tipe ini frekwensi serangan paling sering pada umur 8-13 tahun. Asma kronik atau persisten terjadi 75% pada umur sebeluim 3 tahun.Pada umur 5-6 tahun akan lebih jelas terjadi obstruksi saluran pernapasan yang persisten dan hampir terdapat mengi setiap hari.Untuk jenis kelamin tidak ada perbedaan yang jelas antara anak perempuan dan laki-laki.<br />1.2 Keluhan utama<br />Batuk-batuk dan sesak napas.<br />1.3 Riwayat penyakit sekarang<br />Batuk, bersin, pilek, suara mengi dan sesak napas.<br />1.4 Riwayat penyakit terdahulu<br />Anak pernah menderita penyakit yang sama pada usia sebelumnya.<br />1.5 Riwayat penyakit keluarga<br />Penyakit ini ada hubungan dengan faktor genetik dari ayah atau ibu, disamping faktor yang lain.<br />1.6 Riwayat kesehatan lingkungan<br />Bayi dan anak kecil sering berhubungan dengan isi dari debu rumah, misalnya tungau, serpih atau buluh binatang, spora jamur yang terdapat di rumah, bahan iritan: minyak wangi, obat semprot nyamuk dan asap rokok dari orang dewasa.Perubahan suhu udara, angin dan kelembaban udara dapat dihubungkan dengan percepatan terjadinya serangan asma.<br /><br />1.7 Riwayat tumbuh kembang<br />1.7.1 Tahap pertumbuhan<br />Pada anak umur lima tahun, perkiraan berat badan dalam kilogram mengikuti patokan umur 1-6 tahun yaitu umur ( tahun ) x 2 + 8. Tapi ada rata-rata BB pada usia 3 tahun : 14,6 Kg, pada usia 4 tahun 16,7 kg dan 5 tahun yaitu 18,7 kg. Untuk anak usia pra sekolah rata – rata pertambahan berat badan 2,3 kg/tahun.Sedangkan untuk perkiraan tinggi badan dalam senti meter menggunakan patokan umur 2- 12 tahun yaitu umur ( tahun ) x 6 + 77.Tapi ada rata-rata TB pada usia pra sekolah yaitu 3 tahun 95 cm, 4 tahun 103 cm, dan 5 tahun 110 cm. Rata-rata pertambahan TB pada usia ini yaitu 6 – 7,5 cm/tahun.Pada anak usia 4-5 tahun fisik cenderung bertambah tinggi.<br /><br />1.7.2 Tahap perkembangan.<br /> Perkembangan psikososial ( Eric Ercson ) : Inisiatif vs rasa bersalah.Anak punya insiatif mencari pengalaman baru dan jika anak dimarahi atau diomeli maka anak merasa bersalah dan menjadi anak peragu untuk melakukan sesuatu percobaan yang menantang ketrampilan motorik dan bahasanya.<br /> Perkembangan psikosexsual ( Sigmund Freud ) : Berada pada fase oedipal/ falik ( 3-5 tahun ).Biasanya senang bermain dengan anak berjenis kelamin berbeda.Oedipus komplek ( laki-laki lebih dekat dengan ibunya ) dan Elektra komplek ( perempuan lebih dekat ke ayahnya ).<br /> Perkembangan kognitif ( Piaget ) : Berada pada tahap preoperasional yaitu fase preconseptual ( 2- 4 tahun ) dan fase pemikiran intuitive ( 4- 7 tahun ). Pada tahap ini kanan-kiri belum sempurna, konsep sebab akibat dan konsep waktu belum benar dan magical thinking.<br /> Perkembangan moral berada pada prekonvensional yaitu mulai melakukan kebiasaan prososial : sharing, menolong, melindungi, memberi sesuatu, mencari teman dan mulai bisa menjelaskan peraturan- peraturan yang dianut oleh keluarga.<br /> Perkembangan spiritual yaitu mulai mencontoh kegiatan keagamaan dari ortu atau guru dan belajar yang benar – salah untuk menghindari hukuman.<br /> Perkembangan body image yaitu mengenal kata cantik, jelek,pendek-tinggi,baik-nakal, bermain sesuai peran jenis kelamin, membandingkan ukuran tubuhnya dengan kelompoknya.<br /> Perkembangan sosial yaitu berada pada fase “ Individuation – Separation “. Dimana sudah bisa mengatasi kecemasannya terutama pada orang yang tak di kenal dan sudah bisa mentoleransi perpisahan dari orang tua walaupun dengan sedikit atau tidak protes.<br /> Perkembangan bahasa yaitu vokabularynya meningkat lebih dari 2100 kata pada akhir umur 5 tahun. Mulai bisa merangkai 3- 4 kata menjadi kalimat. Sudah bisa menamai objek yang familiar seperti binatang, bagian tubuh, dan nama-nama temannya. Dapat menerima atau memberikan perintah sederhana.<br /> Tingkah laku personal sosial yaitu dapat memverbalisasikan permintaannya, lebih banyak bergaul, mulai menerima bahwa orang lain mempunyai pemikiran juga, dan mulai menyadari bahwa dia mempunyai lingkungan luar.<br /> Bermain jenis assosiative play yaitu bermain dengan orang lain yang mempunyai permainan yang mirip.Berkaitan dengan pertumbuhan fisik dan kemampuan motorik halus yaitu melompat, berlari, memanjat,dan bersepeda dengan roda tiga.<br />1.8 Riwayat imunisasi<br />Anak usia pre sekolah sudah harus mendapat imunisasi lengkap antara lain : BCG, POLIO I,II, III; DPT I, II, III; dan campak.<br />1.9 Riwayat nutrisi<br />Kebutuhan kalori 4-6 tahun yaitu 90 kalori/kg/hari.Pembatasan kalori untuk umur 1-6 tahun 900-1300 kalori/hari. Untuk pertambahan berat badan ideal menggunakan rumus 8 + 2n. <br />Status Gizi <br />Klasifikasinya sebagai berikut :<br /> Gizi buruk kurang dari 60%<br /> Gizi kurang 60 % - <80 %<br /> Gizi baik 80 % - 110 % <br /> Obesitas lebih dari 120 %<br /><br />1.10 Dampak Hospitalisasi<br />Sumber stressor :<br />1. Perpisahan<br />a. Protes : pergi, menendang, menangis<br />b. Putus asa : tidak aktif, menarik diri, depresi, regresi<br />c. Menerima : tertarik dengan lingkungan, interaksi<br />2. Kehilangan kontrol : ketergantungan fisik, perubahan rutinitas, ketergantungan, ini akan menyebabkan anak malu, bersalah dan takut.<br />3. Perlukaan tubuh : konkrit tentang penyebab sakit.<br />4. Lingkungan baru, memulai sosialisasi lingkungan.<br /><br />1.11 Pemeriksaan Fisik / Pengkajian Persistem <br />1.11.1 Sistem Pernapasan / Respirasi <br />Sesak, batuk kering (tidak produktif), tachypnea, orthopnea, barrel chest, penggunaan otot aksesori pernapasan, Peningkatan PCO2 dan penurunan O2,sianosis, perkusi hipersonor, pada auskultasi terdengar wheezing, ronchi basah sedang, ronchi kering musikal.<br />1.11.2 Sistem Cardiovaskuler<br />Diaporesis, tachicardia, dan kelelahan.<br />1.11.3 Sistem Persyarafan / neurologi<br />Pada serangan yang berat dapat terjadi gangguan kesadaran : gelisah, rewel, cengeng → apatis → sopor → coma. <br />1.11.4 Sistem perkemihan<br />Produksi urin dapat menurun jika intake minum yang kurang akibat sesak nafas.<br />1.11.5 Sistem Pencernaan / Gastrointestinal<br />Terdapat nyeri tekan pada abdomen, tidak toleransi terhadap makan dan minum, mukosa mulut kering.<br />1.11.6 Sistem integumen<br />Berkeringat akibat usaha pernapasan klien terhadap sesak nafas.<br /><br />2 DIAGNOSA KEPERAWATAN, TUJUAN, KRITERIA HASIL, RENCANA INTERVENSI<br />1. Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan nafas, dan tidak efektif pola nafas berhubungan dengan bronkospasme, udem mukosal dan meningkatnya sekret.<br />Tujuan : Anak menunjukkan pertukaran gas yang normal, bersihan jalan nafas yang efektif dan pola nafas dalam batas normal.<br />Kriteria hasil : PO2 dan CO2 dalam batas nilai normal, tidak sesak nafas, batuk produktif, cianosis tdak ada, tidak ada tachypnea,ronki dan wheesing tidak ada<br />Intervensi :<br />• Pertahankan kepatenan jalan nafas; pertahankan support ventilasi bila diperlukan ( oksigen 2 ml dengan kanule ).<br />• Kaji fungsi pernafasan; auskultasi bunyi nafas, kaji kulit setiap 15 menit sampai 4 jam.<br />• Berikan oksigen sesuai program dan pantau pulse oximetry.<br />• Kaji kenyamanan posisi tidur anak.<br />• Monitor efek samping pengobatan; monitor serum darah;theophyline dan catat kemudian laporkan dokter. Normalnya 10-20 ug/ml pada semua usia.<br />• Berikan cairan yang adekuat per oral atau peranteral<br />• Pemberian terapi pernafasan; nebulizer, fisioterapi dada, ajarkan batuk dan nafas dalam efektif setelah pengobatan dan pengisapan sekret ( suction ).<br />• Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan pada anak untuk menurunkan kecemasan.<br />• Berikan terapi bermai sesuai usia.<br />2. Fatigue berhubungan dengan hipoksia dan meningkatnya usaha nafas.<br />Tujuan : Anak tidak tampak fatigue.<br />Kriteria : Tidak iritabel, dapat beradaptasi dan aktivitas sesuai dengan kondisi.<br />Intervensi :<br />• Kaji tanda dan gejala hypoxia; kegelisahann fatigue, iritabel, tachycardia, tachypnea.<br />• Hindari seringnya melakukan intervensi yang tidak penting yang dapat membuat anak lelah, berikan istirahat yang cukup.<br />• Intrusikan pada orang tua untuk tetap berada didekat anak.<br />• Berikan kenyamanan fisik; support dengan bantal dan pengaturan posisi.<br />• Berikan oksigen humidifikasi sesuai program.<br />• Berikan nebulizer; kemudian pantau bunyi nafas, dan usaha nafas setelah terapi.<br />• Setelah krisis, ajarkan untuk aktivitas yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan untuk meningkatkan ventilasi,dan memperluas perkembangan psikososial.<br />3. Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi dan distres pernafasan.<br />Tujuan : Kecemasan menurun<br />Kriteria : Anak tenang dan dapat mengekspresikan perasaannya, orang tua merasa tenang dan berpartisipasi dalam perawatan anak.<br />• Ajarkan teknik relaksasi; latihan nafas, melibatkan penggunaan bibir dan perut, dan ajarkan untuk berimajinasi.<br />• Pertahankan lingkungan yang tenang ; temani anak, dan berikan support.<br />• Ajarkan untuk ekspresi perasaan secara verbal<br />• Berikan terapi bermain sesuai dengan kondisi.<br />• Informasikan tentang perawatan, pengobatan dan kondisi anak.<br />• Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan.<br />4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan meningkatnya pernafasan dan menurunnya intake cairan.<br />Goal : Status hidrasi adekuat <br />Kriteria : Turgor kulit elastis, membran mukosa lembab, intake cairan sesuai dengan usia dan berat badan, output urine > 2 ml/ kg per jam.<br />• Monitor intake dan output, mukosa membran, turgor kulit, pengeluaran urin, ukur grapitasi urin atau berat jenis urin ( nilai 1.003-1030 ).<br />• Monitor elektrolit <br />• Kaji warna sputum, konsistensi dan jumlah<br />• Pertahankan terapi parenteral bila indikasi, dan monitor kelebihan caiaran ( overload )<br />• Berikan intake cairan per oral bila toleran, hati-hati minuman yang dapat meningkatkan bronkospasme ( air dingin ).<br />• Setelah fase akut, ajarkan anak dan orang tua untuk minum 3-8 gelas (750-2000 ml), tergantung usia dan berat badan.<br />5. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi kronik.<br />Goal : Orang tua mendemonstrasikan koping yang tepat<br />Kriteria : Mengekspresikan perasaan dan perhatian serta memberikan aktivitas yang sesuai usia atau kondisi dan perkembangan psikososial pada anak.<br />• Berikan kesempatan pada orang tua untuk ekspresi perasaan.<br />• Kaji mekanisme koping sebelumnya pada waktu stress<br />• Jelaskan prosedur dan pengobatan yang diberikan<br />• Informasikan kepada orang tua tentang kondisi anak<br />• Identifikasi sumber-sumber psikososial keluarga dan finansial<br />6. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan pengobatan.<br />Goal : Orang tua secara verbal memahami proses penyakit dan pengobatan dan mengikuti regimen terapi yang diberikan.<br />Kriteria : Berpartispasi dalam memberikan perawatan pada anak sesuai dengan program medik atau perawatan, misalnya memberikan makan dan minum yang cukup, memberi minum obat oral pada anak sesuai program. <br />• Kaji pengetahuan anak dan orang tua tentang penyakit, pengobatan dan intervensi.<br />• Bantu untuk mengidentifikasi faktor pencetus.<br />• Jelaskan tentang emosi dan stres yang dapat menjadi faktor pencetus.<br />• Jelaskan tentang pentingnya pengobatan; dosis, efek samping, waktu pemberian dan pemeriksaan darah.<br />• Informasikan tanda dan gejala yang harus dilaporkan dan kontrol ulang.<br />• Informasikan pentingnya program aktivitas dan latihan nafas.<br />• Jelaskan tentang pentingnya terapi bermain sesuai usia.<br /><br />Perencanaan Pemulangan<br /> Jelaskan proses penyakit dengan menggunakan gambar-gambar atau phantom.<br /> Fokuskan pada perawatan mandiri di rumah.<br /> Hindari faktor pemicu; kebersihan lantai rumah, debu-debu, karpet, bulu binatang dan lainnya.<br /> Jelaskan tanda-tanda bahaya akan muncul.<br /> Ajarkan penggunaan nebulizer.<br /> Keluarga perlu memahami tentang pengobatan; nama obat, dosis, efek samping, waktu pemberian.<br /> Ajarkan strategi kontrol kecemasan, takut dan stress.<br /> Jelaskan pentingnya istirahat dan latihan, termasuk latihan nafas.<br /> Jelaskan pentingnya intake cairan dan nutrisi yang adekuat.<br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Panitia Media Farmasi dan Terapi. (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi LAB/UPF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya<br />Soetjningsih. (1998). Tumbuh kembang anak . Cetakan kedua. EGC. Jakarta<br />Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Percetakan Infomedika Jakarta.<br />Suriadi dan Yuliana R.(2001) Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 1 Penerbit CV Sagung Seto Jakarta.SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-90324980550646522772010-11-22T01:42:00.001-08:002010-11-22T01:42:34.310-08:00ASKEP ANAK ASPIRASI MEKONIUMASUHAN KEPERAWATAN ASPIRASI MEKONIUM<br /><br /><br />A. PENGERTIAN<br />Terisapnya cairan amnion yang tercemar mekonium ke dalam paru yang dapat terjadi pada saat intra uterin, persalinan dan kelahiran.<br /> <br />B. ETIOLOGI<br /> Riwayat persalinan postmatur<br /> Riwayat janin tumbuh lambat<br /> Riwayat kesulitan persalinan, riwayat gawat janin, asfiksia berat<br /> Riwayat persalinan dengan air ketuban bercampur mekonium<br /><br />C. PENGKAJIAN<br /> Cairan amnion tercemar mekonium<br /> Kulit bayi diliputi mekonium<br /> Tali pusat dan kulit bayi berwarna hijau kekuningan <br /> Gangguan napas (merintih, sianosis, napas cuping hidung, retraksi, takipnue)<br /> Biasanya disertai tanda bayi lebih bulan<br /><br />Pemeriksaan Laboratorium :<br /> Preparat darah hapus, kultur darah, darah rutin, analisa gas darah (hipoksemia, asidemia)<br /> Pemeriksaan sinar X dada<br /><br />D. KOMPLIKASI<br /> Hipoksia serebri, gagal ginjal, keracunan O2, pneumothorak<br /> Sepsis, kejang, retardasi mental, epilepsi, palsi serebral<br /><br />D. PENATALAKSANAAN MEDIS<br /> Tindakan resusitasi<br /> Pemberian antibiotika<br /> Terapi suportif : infuse, oksigen, jaga kehangatan, pemberian ASI<br /><br />E. ASUHAN KEPERAWATAN<br />No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan<br /><br />1.<br /> <br />Resiko cedera berhubungan dengan sepsis neonatal <br />Tidak terjadi cedera <br /><br />Kriteria :<br /> Bayi menerima terapi sesuai pesanan<br /> Bayi mengalami kultur ulang setelah tindakan medis yang menunjukkan tak ada ‘pertumbuhan’ atau komplikasi lain.<br /> Bayi mengalami normotermik <br /> Pertahankan isolasi : perawatan isolasi<br /> Ubah posisi tiap 2 jam<br /> Observasi tanda vital setiap 2 jam, beritahu perubahan dan laporkan dokter sesuai kebutuhan<br /> Pantau tanda vital <br /> Pertahankan suhu lingkungan netral <br /> Periksa suhu setiap 2 jam<br /> Pertahankan prosedur mencuci tangan ketat<br /> Ajarkan tehnik mencuci tangan pada orang tua sebelum memegang bayi<br /> Berikan oksigen sesuai pesanan<br /> Lakukan AGD periodik sesuai pesanan<br /> Rencanakan periode istirahat; hindari memegang yang tak perlu<br /><br /><br />No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Lakukan tindakan pendinginan bila bayi menggigil, mis., lepaskan sumber pemanas eksternal atau selimut berikan mandi hangat<br /> Dengan perlahan rangsang bila apnea dengan menggosok dada, menggoyang kaki<br /> Pertahankan peralatan resusitasi di dekatnya<br /> Observasi terhadap tanda fokal kacau mental <br /> Hisap lendir hidung dan mulut sesuai kebutuhan<br /> Miringkan kepala <br /> Lindungi dari gerakan membentur sisi inkubator atau box<br /> Berikan oksigen sesuai kebutuhan<br /> Bantu dokter dalam kerja septik sesuai indikasi<br /> Berikan antibiotik sesuai pesanan<br /> Beri penkes pada ortu tentang pemberian obat (nama obat, dosis, waktu, tujuan, efek samping), pentingnya rawat jalan, gejala kekambuhan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan<br /><br />2.<br /><br /> <br />Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan bayi malas minum <br />Kebutuhan nutrisi terpenuhi<br /><br /> Kriteria:<br /> Bayi tidak kehilangan berat badan<br />Bayi mampu mempertahankan/menunjukkan peningkatan berat badan <br /> Berikan cairan parenteral sesuai pesanan<br /> Ukur masukan dan haluaran<br /> Timbang berat badan bayi setiap hari<br /> Berikan makanan melalui sonde sesuai pesanan<br /> Catat aktifitas bayi dan perilaku makan secara akurat<br /> Observasi koordinasi reflek menghisap/menelan <br /> Berikan kebutuhan menghisap pada botol sesuai indikasiSmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-92115687880565290452010-11-22T01:41:00.004-08:002010-11-22T01:42:10.083-08:00ASKEP ANAK DENGAN ANEMIALAPORAN PENDAHULUAN <br />ASHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN ANEMIA<br /><br /><br />A. PENGERTIAN<br />Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan atau hitung eritrosit lebih rendah dari normal. Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah Hb dalam 1mm3 darah atau berkurangnya volume sel yang didapatkan (packed red cells volume) dalam 100 ml darah. <br /><br />B. PENYEBAB ANEMIA<br />Anemia dapat dibedakan menurut mekanisme kelainan pembentukan, kerusakan atau kehilangan sel-sel darah merah serta penyebabnya. Penyebab anemia antara lain sebagai berikut:<br />1. Anemia pasca perdarahan : akibat perdarahan massif seperti kecelakaan, operasi dan persalinan dengan perdarahan atau perdarahan menahun:cacingan.<br />2. Anemia defisiensi: kekurangan bahan baku pembuat sel darah. Bisa karena intake kurang, absorbsi kurang, sintesis kurang, keperluan yang bertambah.<br />3. Anemia hemolitik: terjadi penghancuran eritrosit yang berlebihan. Karena faktor intrasel: talasemia, hemoglobinopatie,dll. Sedang factor ekstrasel: intoksikasi, infeksi –malaria, reaksi hemolitik transfusi darah.<br />4. Anemia aplastik disebabkan terhentinya pembuatan sel darah oleh sumsum tulang (kerusakan sumsum tulang).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />C. TANDA DAN GEJALA<br />1. Tanda-tanda umum anemia: <br />a. pucat, <br />b. tacicardi, <br />c. bising sistolik anorganik, <br />d. bising karotis, <br />e. pembesaran jantung.<br />2. Manifestasi khusus pada anemia:<br />a. Anemia aplastik: ptekie, ekimosis, epistaksis, ulserasi oral, infeksi bakteri, demam, anemis, pucat, lelah, takikardi.<br />b. Anemia defisiensi: konjungtiva pucat (Hb 6-10 gr/dl), telapak tangan pucat (Hb < 8 gr/dl), iritabilitas, anoreksia, takikardi, murmur sistolik, letargi, tidur meningkat, kehilangan minat bermain atau aktivitas bermain. Anak tampak lemas, sering berdebar-debar, lekas lelah, pucat, sakit kepala, anak tak tampak sakit, tampak pucat pada mukosa bibir, farink,telapak tangan dan dasar kuku. Jantung agak membesar dan terdengar bising sistolik yang fungsional.<br />c. Anemia aplastik : ikterus, hepatosplenomegali.<br /><br />D. PEMERIKSAAN PENUNJANG<br />1. Kadar Hb.<br />Kadar Hb <10g/dl. Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata < 32% (normal: 32-37%), leukosit dan trombosit normal, serum iron merendah, iron binding capacity meningkat.<br />2. Kelainan laborat sederhana untuk masing-masing tipe anemia :<br />a. Anemia defisiensi asam folat : makro/megalositosis<br />b. Anemia hemolitik : retikulosit meninggi, bilirubin indirek dan total naik, urobilinuria.<br />c. Anemia aplastik : trombositopeni, granulositopeni, pansitopenia, sel patologik darah tepi ditemukan pada anemia aplastik karena keganasan.<br />E. PATHWAYS<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />F. PENATALAKSANAAN <br />a. Anemia pasca perdarahan: transfusi darah. Pilihan kedua: plasma ekspander atau plasma substitute. Pada keadaan darurat bisa diberikan infus IV apa saja.<br />b. Anemia defisiensi: makanan adekuat, diberikan SF 3x10mg/kg BB/hari. Transfusi darah hanya diberikan pada Hb <5 gr/dl.<br />c. Anemia aplastik: prednison dan testosteron, transfusi darah, pengobatan infeksi sekunder, makanan dan istirahat.<br /><br />G. MASALAH KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL<br />1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan berkurangnya komparten seluler yang penting untuk menghantarkan oksigen / zat nutrisi ke sel.<br />2. Tidak toleransi terhadap aktivitas berhubungan dengan tidak seimbangnya kebutuhan pemakaian dan suplai oksigen.<br />3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya selera makan.<br /><br />H. TINDAKAN KEPERAWATAN<br />1. Perfusi jaringan adekuat<br />- Memonitor tanda tanda vital, pengisian kapiler, wama kulit, membran mukosa.<br />- Meninggikan posisi kepala di tempat tidur <br />- Memeriksa dan mendokumentasikan adanya rasa nyeri.<br />- Observasi adanya keterlambatan respon verbal, kebingungan, atau gelisah<br />- Mengobservasi dan mendokumentasikan adanya rasa dingin.<br />- Mempertahankan suhu lingkungan agar tetap hangat sesuai kebu¬tuhan tubuh.<br />- Memberikan oksigen sesuai kebutuhan.<br />2. Mendukung anak tetap toleran terhadap aktivitas<br />- Menilai kemampuan anak dalam melakukan aktivitas sesuai dengan kondisi fisik dan tugas perkembangan anak.<br />- Memonitor tanda tanda vital selama dan setelah melakukan aktivitas, dan mencatat adanya respon fisiologis terhadap aktivitas (peningkatan denyut jantung peningkatan tekanan darah, atau nafas cepat). <br />- Memberikan informasi kepada pasien atau keluarga untuk berhenti melakukan aktivitas jika teladi gejala gejala peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, nafas cepat, pusing atau kelelahan).<br />- Berikan dukungan kepada anak untuk melakukan kegiatan sehari¬ hari sesuai dengan kemampuan anak.<br />- Mengajarkan kepada orang tua teknik memberikan reinforcement terhadap partisipasi anak di rumah.<br />- Membuat jadual aktivitas bersama anak dan keluarga dengan melibatkan tim kesehatan lain.<br />- Menjelaskan dan memberikan rekomendasi kepada sekolah tentang kemampuan anak dalam melakukan aktivitas, memonitor kemam¬puan melakukan aktivitas secara berkala dan menjelaskan kepada orang tua dan sekolah.<br />3. Memenuhi kebutuhan nutrisi yang adekuat<br />- Mengijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.<br />- Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi.<br />- Mengijinkan anak untuk terlibat dalam persiapan dan pemilihan makanan<br />- Mengevaluasi berat badan anak setiap hari.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Betz, Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Jakarta, EGC.<br />2. Suriadi, Yuliani R. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. Jakarta, CV Sagung Seto.<br />3. Tucker SM. (1997). Standar Perawatan Pasien. Edisi V. Jakarta, EGC.<br />4. Smeltzer, Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta, EGC.<br />5. FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1. Jakarta, FKUI.<br />6. Harlatt, Petit. (1997). Kapita Selekta Hematologi. Edisi 2. Jakarta, EGC.<br />7. ACS. (2003). What is Anemia ?. Available (online) http: // www // yahoo / nurse / leucemia / htm.SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-10673598967583706562010-11-22T01:41:00.003-08:002010-11-22T01:41:38.516-08:00ASKEP ANAK NEFROTIC SINDROMENEFROTIC SINDROME<br /><br /> Nefrotic syndrome merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan adanya edema. Kadang-kadang disertai hematuri, hipertensi dan menurunnya kecepatan filtrasi glomerulus. Sebab pasti belum jelas, dianggap sebagai suatu penyakit autoimun.<br />Secara umum etiologi dibagi menjadi nefrotic syndrome bawaan, sekunder, idiopatik dan sklerosis glomerulus. Penyakit ini biasanya timbul pada 2/100000 anak setiap tahun. Primer terjadi pada anak pra sekolah dan anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan. <br />Peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sangat penting karena pada pasien nefrotic syndrome sering timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Perawat diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Fokus asuhan keperawatan adalah mengidentifikasi masalah yang timbul, merumuskan diagnosa keperawatan, membuat rencana keperawatan, melaksanakan dan mengevaluasi tindakan yang telah diberikan apakah sudah diatasi atau belum atau perlu modifikasi.<br /> <br /><br />1.1 Konsep Nefrotik Syndrome (NS)<br />1. Pengertian.<br />NS adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbunemia dan hiperkolesterolemia (Rusepno, H, dkk. 2000, 832).<br /><br />2. Etiologi<br />Sebab pasti belum jelas. Saat ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Secara umum etiologi dibagi menjadi :<br />a. Nefrotic syndrome bawaan.<br />Gejala khas adalah edema pada masa neonatus.<br />b. Nefrotic syndrome sekunder<br />Penyebabnya adalah malaria, lupus eritematous diseminata, GNA dan GNK, bahan kimia dan amiloidosis.<br />c. Nefrotic syndrome idiopatik<br />d. Sklerosis glomerulus.<br /><br />3. Patofisiologi.<br />Adanya peningkatan permiabilitas glomerulus mengakibatkan proteinuria masif sehingga terjadi hipoproteinemia. Akibatnya tekanan onkotik plasma menurun karean adanya pergeseran cairan dari intravaskuler ke intestisial.<br />Volume plasma, curah jantung dan kecepatan filtrasi glomerulus berkurang mengakibatkan retensi natrium. Kadar albumin plasma yang sudah merangsang sintesa protein di hati, disertai peningkatan sintesa lipid, lipoprotein dan trigliserida.<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />4. Gejala klinis.<br />- Edema, sembab pada kelopak mata<br />- Rentan terhadap infeksi sekunder<br />- Hematuria, azotemeia, hipertensi ringan<br />- Kadang-kadang sesak karena ascites<br />- Produksi urine berkurang<br />5. Pemeriksaan Laboratorium<br />- BJ urine meninggi<br />- Hipoalbuminemia<br />- Kadar urine normal<br />- Anemia defisiensi besi<br />- LED meninggi<br />- Kalsium dalam darah sering merendah<br />- Kadang-kdang glukosuria tanpa hiperglikemia.<br />6. Penatalaksanaan<br />- Istirahat sampai edema sedikit<br />- Protein tinggi 3 – 4 gram/kg BB/hari<br />- Diuretikum<br />- Kortikosteroid<br />- Antibiotika<br />- Punksi ascites<br />- Digitalis bila ada gagal jantung.<br /><br />1.2 Konsep Asuhan Keperawatan pada Nefrotic Syndrome<br />1. Pengkajian<br />a. Identitas.<br />Umumnya 90 % dijumpai pada kasus anak. Enam (6) kasus pertahun setiap 100.000 anak terjadi pada usia kurang dari 14 tahun. Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Pada daerah endemik malaria banyak mengalami komplikasi nefrotic syndrome.<br />b. Riwayat Kesehatan.<br />1) Keluhan utama. <br />Badan bengkak, muka sembab dan napsu makan menurun<br />2) Riwayat penyakit dahulu.<br />Edema masa neonatus, malaria, riwayat GNA dan GNK, terpapar bahan kimia. <br />3) Riwayat penyakit sekarang.<br />Badan bengkak, muka sembab, muntah, napsu makan menurun, konstipasi, diare, urine menurun.<br />c. Riwayat kesehatan keluarga.<br />Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak dapat ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya mati pada tahun pertama atau dua tahun setelah kelahiran.<br />d. Riwayat kehamilan dan persalinan<br />Tidak ada hubungan.<br />e. Riwayat kesehatan lingkungan.<br />Endemik malaria sering terjadi kasus NS. <br />f. Imunisasi. <br />Tidak ada hubungan. <br />g. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.<br />Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8<br />Tinggi badan = 2 kali tinggi badan lahir.<br />Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, senang bermain dengan anak berjenis kelamin beda, oedipus kompleks untuk anak laki-laki lebih dekat dengan ibu, elektra kompleks untuk anak perempuan lebih dekat dengan ayah. <br />Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre school (inisiative vs rasa bersalah) yaitu memiliki inisiatif untuk belajar mencari pengalaman baru. Jika usahanya diomeli atau dicela anak akan merasa bersalah dan menjadi anak peragu.<br />Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional yaitu mulai mempresentasekan dunia dengan bahasa, bermain dan meniru, menggunakan alat-alat sederhana.<br />Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari, menggambar orang dengan kepala, lengan dan badan, segiempat, segitiga, menghitung jari-jarinya, menyebut hari dalam seminggu, protes bila dilarang, mengenal empat warna, membedakan besar dan kecil, meniru aktivitas orang dewasa.<br />Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka, gangguan tidur, kecemasan, keterbatasan dalam bermain, rewel, gelisah, regresi, perasaan berpisah dari orang tua, teman.<br />h. Riwayat nutrisi.<br />Usia pre school nutrisi seperti makanan yang dihidangkan dalam keluarga. Status gizinya adalah dihitung dengan rumus (BB terukur dibagi BB standar) X 100 %, dengan interpretasi : < 60 % (gizi buruk), < 30 % (gizi sedang) dan > 80 % (gizi baik).<br />i. Pengkajian persistem.<br />a) Sistem pernapasan.<br />Frekuensi pernapasan 15 – 32 X/menit, rata-rata 18 X/menit, efusi pleura karena distensi abdomen<br />b) Sistem kardiovaskuler.<br />Nadi 70 – 110 X/mnt, tekanan darah 95/65 – 100/60 mmHg, hipertensi ringan bisa dijumpai. <br />c) Sistem persarafan.<br />Dalam batas normal.<br />d) Sistem perkemihan.<br />Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria, oliguri.<br />e) Sistem pencernaan.<br />Diare, napsu makan menurun, anoreksia, hepatomegali, nyeri daerah perut, malnutrisi berat, hernia umbilikalis, prolaps anii.<br />f) Sistem muskuloskeletal.<br />Dalam batas normal.<br />g) Sistem integumen.<br />Edema periorbital, ascites.<br />h) Sistem endokrin<br />Dalam batas normal<br />i) Sistem reproduksi<br />Dalam batas normal. <br />j. Persepsi orang tua<br />Kecemasan orang tua terhadap kondisi anaknya.<br /> <br />2. Diagnosa dan Rencana Keperawatan.<br />a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus.<br />Tujuan volume cairan tubuh akan seimbang dengan kriteria hasil penurunan edema, ascites, kadar protein darah meningkat, output urine adekuat 600 – 700 ml/hari, tekanan darah dan nadi dalam batas normal.<br />Intervensi Rasional<br />1. Catat intake dan output secara akurat<br /><br />2. Kaji dan catat tekanan darah, pembesaran abdomen, BJ urine<br />3. Timbang berat badan tiap hari dalam skala yang sama<br />4. Berikan cairan secara hati-hati dan diet rendah garam.<br />5. Diet protein 1-2 gr/kg BB/hari. Evaluasi harian keberhasilan terapi dan dasar penentuan tindakan<br />Tekanan darah dan BJ urine dapat menjadi indikator regimen terapi<br />Estimasi penurunan edema tubuh<br /><br />Mencegah edema bertambah berat<br /><br />Pembatasan protein bertujuan untuk meringankan beban kerja hepar dan mencegah bertamabah rusaknya hemdinamik ginjal.<br /><br />b) Perubahan nutrisi ruang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu makan.<br />Tujuan kebutuhan nutrisi akan terpenuhi dengan kriteria hasil napsu makan baik, tidak terjadi hipoprtoeinemia, porsi makan yang dihidangkan dihabiskan, edema dan ascites tidak ada.<br />Intervensi Rasional<br />1. Catat intake dan output makanan secara akurat<br />2. Kaji adanya anoreksia, hipoproteinemia, diare.<br /><br />3. Pastikan anak mendapat makanan dengan diet yang cukup<br /> Monitoring asupan nutrisi bagi tubuh<br /><br />Gangguan nuirisi dapat terjadi secara perlahan. Diare sebagai reaksi edema intestinal<br />Mencegah status nutrisi menjadi lebih buruk<br /> <br />c) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun.<br />Tujuan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil tanda-tanda infeksi tidak ada, tanda vital dalam batas normal, ada perubahan perilaku keluarga dalam melakukan perawatan.<br /><br />Intervensi Rasional<br />1. Lindungi anak dari orang-orang yang terkena infeksi melalui pembatasan pengunjung.<br />2. Tempatkan anak di ruangan non infeksi<br />3. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan.<br />4. Lakukan tindakan invasif secara aseptik<br /> Meminimalkan masuknya organisme<br /><br /><br />Mencegah terjadinya infeksi nosokomial<br />Mencegah terjadinya infeksi nosokomial<br />Membatasi masuknya bakteri ke dalam tubuh. Deteksi dini adanya infeksi dapat mencegah sepsis.<br /><br />d) Kecemasan anak berhubungan dengan lingkungan perawatan yang asing (dampak hospitalisasi).<br />Tujuan kecemasan anak menurun atau hilang dengan kriteria hasil kooperatif pada tindakan keperawatan, komunikatif pada perawat, secara verbal mengatakan tidak takur.<br />Intervensi Rasional<br />1. Validasi perasaan takut atau cemas <br /><br /><br />2. Pertahankan kontak dengan klien<br /><br />3. Upayakan ada keluarga yang menunggu<br /><br /><br />4. Anjurkan orang tua untuk membawakan mainan atau foto keluarga. Perasaan adalah nyata dan membantu pasien untuk tebuka sehingga dapat menghadapinya.<br />Memantapkan hubungan, meningkatan ekspresi perasaan <br />Dukungan yang terus menerus mengurangi ketakutan atau kecemasan yang dihadapi. <br />Meminimalkan dampak hospitalisasi terpisah dari anggota keluarga.<br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Berhman & Kliegman (1987), Essentials of Pediatrics, W. B Saunders, Philadelphia.<br /><br />Doengoes et. al, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan, alih bahasa Made Kariasa, EGC, Jakarta<br /><br />Matondang, dkk. (2000), Diagnosis Fisis Pada Anak, Sagung Seto, Jakarta<br /><br />Ngastiyah, (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta<br /><br />Rusepno, Hasan, dkk. (2000), Ilmu Kesehaatan Anak 2, Infomedica, Jakarta<br /><br />Tjokronegoro & Hendra Utama, (1993), Buku Ajar Nefrologi, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.<br /><br />-------, (1994), Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo-Lab/UPF IKA, Surabaya.<br /> <br />BAB 2<br />TINJAUAN TEORI <br /><br />1.3 Konsep Nefrotik Syndrome (NS)<br />1. Pengertian.<br />2. Etiologi<br />b. Nefrotic syndrome bawaan.<br />c. Nefrotic syndrome sekunder<br />d. Nefrotic syndrome idiopatik<br />e. Sklerosis glomerulus.<br /> <br />3. Patofisiologi.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />1.4 Konsep Asuhan Keperawatan pada Nefrotic Syndrome<br />1. Pengkajian<br /><br />2. Diagnosa dan Rencana Keperawatan.<br />a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus.<br />b. Perubahan nutrisi ruang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu makan.<br />c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun.<br />d. Kecemasan anak berhubungan dengan lingkungan perawatan yang asing (dampak hospitalisasi).SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-73919988046468678692010-11-22T01:41:00.001-08:002010-11-22T01:41:17.666-08:00ASKEP ANAK DENGAN MENINGITISASKEP ANAK DENGAN MENINGITIS<br />MENINGITIS<br />Suatu peradangan akut pada selaput otak yang diakibatkan oleh<br /><br /><br /><br /><br /><br />Bakteri Virus<br /><br /><br /><br />Meningitis Bakteri Meningitis non bakteri<br />(Aseptc)<br /><br /><br /><br />90 % kasus terjadi pada <br />anak umur 1 bln - 5 th<br />MENINGITIS BAKTERI <br />Etiologi :<br /> H. influenza ( type B )<br /> Streptokokus pneumonie<br /> Neisseria meningitides ( meningococus)<br /> Hemolytic streptococcus<br /> Stapilococus aureus<br /> Escherecia coli<br />Faktok Predisposisi<br /> Laki-laki > perempuan<br /> Faktor maternal<br />- ketuban pecah dini<br /> - Infeksi maternal pada akhir kehamilan meningitis pada neonatus<br /> Penurunan mekanisme immune dan penurunan leukosit meningitis pada BBL<br /> Anak dengan kekurangan imunoglobulin dan anak yang minum obat imunosupresant<br /><br />Infeksi<br /><br /><br />Pembuluh darah Penetrasi Luka<br /><br /><br />CSS<br /><br />Seluruh rongga sub arachnoid<br /><br /> Eksudat Tuberkel<br /><br />Kelainan pembuluh darah Obstruksi sisterna basalis<br /> (Arthritis-phlebitis) <br /><br /> Infark Otak Hidrocephalus<br /><br /><br /> Pelunakan Otak<br />MANIFESTASI KLINIS<br /> Tergantung pada luasnya penyebaran dan umur anak<br /> Dipengaruhi oleh type dari organisme keefektifan dari terapi<br />CHILDREN AND ADOLESCENT<br /> Sakitnya tiba-tiba, adanya demam, sakit kepala, panas dingin, muntah, kejang-kejang<br /> Anak menjadi irritable dan agitasi dan dapat berkembang photopobia, delirium, halusinasi, tingkah laku yang agresif atau mengantuk stupor dan koma<br /> Gejala pada respiratory atau gastrointestinal<br /> Adanya tahanan pada kepala jika difleksikan<br /> Kekakuan pada leher (Nuchal Rigidity)<br /> Tanda kernig dan brudzinki (+)<br /> Kulit dingin dan sianosis<br /> Peteki/adannya purpura pada kulit infeksi meningococcus (meningo cocsemia)<br /> Keluarnya cairan dari telinga meningitis peneumococal<br /> Congenital dermal sinus infeksi E. Colli<br />INFANT AND CHILDREN<br /> Manifestasi klinisnya biasanya tampak pada anak umur 3 bulan sampai 2 tahun<br /> Adanya demam, nafsu makan menurun, muntah, iritabel, mudah lelah dan kejang-kejang, dan menangis meraung-raung.<br /> Fontanel menonjol<br /> Nuchal Rigidity tanda-tanda brudzinki dan kernig dapat terjadi namun lambat<br />NEONATUS<br /> Sukar untuk diketahui manifestasinya tidak jelas dan tidak spesifik <br /> ada kemiripan dengan anak yang lebih tua, seperti: <br /> Menolak untuk makan<br /> Kemampuan menelan buruk<br /> Muntah dan kadang-kadang ada diare<br /> Tonus otot lemah, pergerakan melemah dan kekuatan menangis melemah<br /> Hypothermia/demam, joundice, iritabel, mengantuk, kejang-kejang, RR yang tidak teratur/apnoe, sianosis dan kehilangan BB.<br /> Ketegangan , fontanel menonjol mungkin ada atau tidak<br /> Leher fleksibel<br /> Kolaps kardiovaskuler, kejang-kejang dan apnoe terjadi bila tidak diobati/ditangani<br />KOMPLIKASI<br /> Dapat dikurangi dikurangi dengan diagnosis yang awal dan pemberian terapi antimikrobial dengan cepat.<br /> Bila infeksi meluas ke ventrikel, pus yang banyak (kental), adanya penekatan pada bagian yang sempit obstruksi cairan cerebrospinal hydrocephalus<br /> Perubahan yang dekstruktif ada pada kortex serebral dan adanya abses otak infeksi langsung. Atau melalui penyebaran pembuluh darah.<br /> Ketulian, kebutaan, kelemahan/paralysis dari otot-otot wajah atau otot-otot yang lain pada kepala dan leher penyebaran infeksi pada daerah syaraf cranial<br /> Kompl;ikasi yang serius biasanya diakibatkan oleh infeksi : meningococcal sepsis atau meningococcemia<br /> Syndrom water haouse-Friderichsen<br /> Overwhelming septic shock<br /> DIC<br /> Perdarahan<br /> Purpura <br /> SIADH, subdural effusion, kejang-kejang, edema serebral, herniasi dan hydrocephalus.<br /> Komplikasi post meningitis pada neonatus:<br /> Ventriculitis (yang menghasilkan kista, daerah yang dibatasi oleh akumulasi cairan dan tekanan pada otak)<br /> Gangguan yang menetap dan penglihatan, pendengaran dan kelemahan nervus yang lain<br /> Cerebral palsy, cacat mental, gangguan belajar, penurunan perhatian, gangguan hiperaktivitas dan adanya kejang.<br /> Hemiparesis dan quadriparesis arthritis/thrombosis<br />EVALUASI DIAGNOSTIK<br />LUMBAL FUNKSI<br /> Cairannya diukur dan diambil sample untuk mendapatkan culture, gram stain, jumlah sel darah merah dan untuk mengetahui adanya glukosa dan protein<br /> Culture dan stain mengidentifikasi organisme penyebab<br /> Jumlah sel darah merah meningkat<br /> Glukosa menurun<br /> Kensentrasi protein meningkat<br /> Culture darah<br /> Culture hidung dan tenggorokan<br />TERAPEUTIC MANAGEMENT<br /> Isolation precautions<br /> Pemberian terapi antimikroba<br /> Mempertahankan hidrasi yang optimum<br /> Mempertahankan ventilasi<br /> Mengurangi peningkatan TIK<br /> Management dari shock<br /> Mengontrol kejang<br /> Mengontrol temperatur pada ekstrimitas<br /> Koreksi anemia<br /> Perawatan dari komplikasi<br />PERHATIAN PERAWAT<br /> Melakukan precautions untuk melindungi anak dan orang laindari kemungkinan infeksi .<br /> Menjaga ruangan agar tidak bising dan menimpalkan stimulus lingkungan.<br /> Mencegah aktifitas yang menyebabkan nyeri/ meningkatkan ketidaknyamanan, seperti mengangkat kepala anak.<br /> Memberi dukungan pada keluarga <br /> Berdiskusi dengan keluarga <br /> Memberikan informasi tentang perkembang anak dan semua prosedur yang akan dilakukan.<br />DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />1. GANGGUAN RASA NYAMAN: NYERI BERHUBUNGAN DENGAN IRITASI MENINGEAL, BEDREST.<br /><br />TUJUAN 1. : Tidak menunjukkan adanya tanda-tanda nyeri/iritasi meningeal.<br />KELUHAN : sakit kepala (-), fotophobia (-), tidak ada iritabilitas yang berlebihan. <br />HR dan RR normal, tanda kernig’s dan brudzinki (-)<br />INTERVENSI : <br />1. Kaji tingkat nyeri <br />2. Evaluasi indikator dari nyeri (ekspresi wajah, menangis, gerakan), lokasi, lamanya.<br />3. Lakukan tindakan untuk memberikan kenyamanan (seperti memberikan posisi yang nyaman, distraksi dan massage)<br />4. Kolaborasi pemberian analgetik<br />5. Ajarkan anak ( bila sudah besar ) untuk mencegah gerakkan yang meningkatkan TIK ( mis : Batuk, mengedan dll )<br />6. Batasi pengunjung<br /><br />TUJUAN 2. : Menunjukkan tidak ada peningkatan TIK <br /><br />Kriteria hasil : Tanda Tanda Vital dalam batas normal<br />Tidak ada iritabilitas<br />Tidak ada keluhan<br />INTERVENSI :<br />1. Kaji tanda-tanda peningkatan TIK tiap 1 – 2 jam<br /> Penurunan HR & RR, peningkatan TD<br /> Penurunan tingkat pada bayi <br /> Peningkatan LK pada bayi<br /> Fontanel menonjol<br /> Cengeng, perubahan pupil, simetris, bengkak & melebar<br /> Sakit kepala & muntah <br />2. Elevasikan kepala 30 - 45 <br />3. Posisi kepala tegak & stabil<br />4. Menurunkan stimulasi lingkungan<br />5. Tawarkan kegiatan untuk meningkatkan kenyamanan<br />6. Batasi cairan<br /><br />2. RISIKO TINGGI INJURI BERHUBUNGAN DENGAN<br />TUJUAN : Injuri tidak terjadi<br />Kriteria Hasil : Tidak ada luka selama dan sesudah serangan<br />Mengetahui dan mengatasi serangan sesegera mungkin<br />INTERVENSI : <br />1. Monitor frekuensi serangan<br />2. Pasang penghalang TT<br />3. Berikan mainan yang lembut<br />4. Sediakan suction & O 2 disamping tempat tidur<br />5. Jaga dan tetap tenang dalam serangan<br />6. Miringkan anak<br />7. Hindari barang – barang berbahaya<br /><br /> DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Laboratorium UPF Ilmu Kesehatan Anak, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya, 1998<br /><br />Ngastiyah, Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997.<br /><br />Rahman M, Petunjuk Tentang Penyakit, Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium, Kelompok Minat Penulisan Ilmiah Kedokteran Salemba, Jakarta, 1986.<br /><br />Sacharian, Rosa M, Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2 Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta ,1993.<br /><br />Sutjinigsih (1995), Tumbuh kembang Anak, Penerbit EGC, Jakarta.SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-31447555689746445872010-11-22T01:40:00.003-08:002010-11-22T01:40:57.422-08:00ASKEP ANAK DENGAN ENCEPHALITISASKEP ANAK DENGAN ENCEPHALITIS <br /><br /><br />PENGERTIAN<br />Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikro organisme lain yang non purulent.<br /><br />PATOGENESIS ENSEFALITIS<br />Virus masuk tubuh pasien melalui kulit,saluran nafas dan saluran cerna.setelah masuk ke dalam tubuh,virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara:<br /> Setempat:virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ tertentu.<br /> Penyebaran hematogen primer:virus masuk ke dalam darah <br />Kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.<br /> Penyebaran melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di <br />Permukaan selaput lendir dan menyebar melalui sistem saraf.<br />Masa Prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremintas dan pucat .<br />Gejala lain berupa gelisah, iritabel, perubahan perilaku, gamgguan kesadaran, kejang. <br />Kadang-kadang disertai tanda Neurologis tokal berupa Afasia, Hemifaresis, Hemiplegia, Ataksia, Paralisis syaraf otak.<br /><br />Penyebab Ensefalitis:<br />Penyebab terbanyak : adalah virus<br />Sering : - Herpes simplex <br />- Arbo virus<br />Jarang : - Entero virus <br />- Mumps<br />- Adeno virus <br />Post Infeksi : - Measles<br />- Influenza<br />- Varisella <br />Post Vaksinasi : - Pertusis<br />Ensefalitis supuratif akut :<br />Bakteri penyebab Esenfalitis adalah : Staphylococcusaureus, Streptokok, E.Coli, Mycobacterium dan T. Pallidum.<br /><br />Ensefalitis virus:<br />Virus yang menimbulkan adalah virus R N A (Virus Parotitis) virus morbili,virus rabies,virus rubella,virus denque,virus polio,cockscakie A,B,Herpes Zoster,varisela,Herpes simpleks,variola.<br /><br />Gejala-Gejala yang mungkin terjadi pada Ensefalitis :<br />- Panas badan meningkat ,photo fobi,sakit kepala ,muntah-muntah lethargy ,kadang disertai kaku kuduk apabila infeksi mengenai meningen.<br />- Anak tampak gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku. Dapat disertai gangguan penglihatan ,pendengaran ,bicara dan kejang.<br /><br />PENGKAJIAN<br />1. Identitas<br />Ensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur.<br />2. Keluhan utama<br />Panas badan meningkat, kejang, kesadaran menurun.<br />3. Riwayat penyakit sekarang<br />Mula-mula anak rewel ,gelisah ,muntah-muntah ,panas badan meningkat kurang lebih 1-4 hari , sakit kepala.<br />4. Riwayat penyakit dahulu <br />Klien sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah menderita penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung,telinga dan tenggorokan.<br />5. Riwayat Kesehatan Keluarga<br />Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh : Herpes dll. Bakteri contoh : Staphylococcus Aureus,Streptococcus , E , Coli, dll.<br />6. Imunisasi <br />Kapan terakhir diberi imunisasi DTP<br />Karena ensefalitis dapat terjadi post imunisasi pertusis.<br />- Pertumbuhan dan Perkembangan <br /><br />POLA-POLA FUNGSI KESEHATAN<br /><br />Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat<br />Kebiasaan<br />sumber air yang dipergunakan dari PAM atau sumur ,kebiasaan buang air besar di WC,lingkungan penduduk yang berdesakan (daerah kumuh)<br />Status Ekonomi<br />Biasanya menyerang klien dengan status ekonomi rendah.<br /><br />Pola Nutrisi dan Metabolisme<br />Menyepelekan anak yang sakit ,tanpa pengobatan yang semPemenuhan Nutrisi<br />Biasanya klien dengan gizi kurang asupan makana dan cairan dalam jumlah kurang dari kebutuhan tubuh.,<br />Pada pasien dengan Ensefalitis biasanya ditandai <br />Dengan adanya mual, muntah, kepalah pusing, kelelahan.<br />Status Gizi yang berhubungan dengan keadaan tubuh.<br />Postur tubuh biasanya kurus ,rambut merah karena kekurangan vitamin A, berat badan kurang dari normal.<br />Menurutrumus dari BEHARMAN tahun 1992, umur 1 sampai 6 tahun <br />Umur (dalam tahun) x 2 + 8<br />Tinggi badan menurut BEHARMAN umur 4 sampai 2 x tinggi badan lahir. <br />Perkembangan badan biasanya kurang karena asupan makanan yang bergizi kurang.<br />Pengetahuan tentang nutrisi biasanya pada orang tua anak yang kurang pengetahuan tentang nutrisi.<br />Yang dikatakan gizi kurang bila berat badan kurang dari 70% berat badan normal.<br /><br />Pola Eliminasi<br />Kebiasaan Defekasi sehari-hari<br />Biasanya pada pasien Ensefalitis karena pasien tidak dapat melakukan mobilisasi maka dapat terjadi obstipasi.<br />Kebiasaan Miksi sehari-hari<br />Biasanya pada pasien Ensefalitis kebiasaan mictie normal frekuensi normal.<br />Jika kebutuhan cairan terpenuhi.<br />Jika terjadi gangguan kebutuhan cairan maka produksi irine akan menurun, konsentrasi urine pekat.<br /><br />Pola tidur dan istirahat<br />Biasanya pola tidur dan istirahat pada pasien Ensefalitis biasanya tidak dapat dievaluasi karena pasien sering mengalami apatis sampai koma.<br /><br />Pola Aktivitas<br />a. Aktivitas sehari-hari : klien biasanya terjadi gangguan karena bx Ensefalitis dengan gizi buruk mengalami kelemahan.<br />b. Kebutuhan gerak dan latihan : bila terjadi kelemahan maka latihan gerak dilakukan latihan positif.<br />Upaya pergerakan sendi : bila terjadi atropi otot pada px gizi buruk maka dilakukan latihan pasif sesuai ROM <br />Kekuatan otot berkurang karena px Ensefalitisdengan gizi buruk .<br />Kesulitan yang dihadapi bila terjadi komplikasi ke jantung ,ginjal ,mudah terkena infeksi ane<br />berat,aktifitas togosit turun ,Hb turun ,punurunan kadar albumin serum, gangguan pertumbuhan.<br /><br />Pola Hubungan Dengan Peran<br />Interaksi dengan keluarga / orang lain biasanya pada klien dengan Ensefalitis kurang karena kesadaran klien menurun mulai dari apatis sampai koma.<br /><br />Pola Persepsi dan pola diri<br />Pada klien Ensenfalitis umur > 4 ,pada persepsi dan konsep diri<br />Yang meliputi Body Image ,seef Esteem ,identitas deffusion deper somalisasi belum bisa menunjukkan perubahan.<br /><br />Pola sensori dan kuanitif<br />a. Sensori<br />- Daya penciuman<br />- Daya rasa<br />- Daya raba<br />- Daya penglihatan<br />- Daya pendengaran.<br /><br />b. Kognitif :<br /><br />Pola Reproduksi Seksual<br />Bila anak laki-laki apakah testis sudah turun ,fimosis tidak ada.<br /><br />Pola penanggulangan Stress<br />Pada pasien Ensefalitis karena terjadi gangguan kesadaran : <br />- Stress fisiologi biasanya anak hanya dapat mengeluarkan air mata saja ,tidak bisa menangis dengan keras (rewel) karena terjadi afasia.<br />- Stress Psikologi tidak di evaluasi.<br /><br />Pola Tata Nilai dan Kepercayaan <br />Anak umur 3-4 tahun belumbisa dikaji<br /> <br />PEMERIKSAAN LABORATORIUM / PEMERIKSAAN PENUNJANG<br /><br />Gambaran cairan serebrospinal dapat dipertimbangkan meskipun tidak begitu membantu. Biasanya berwarna jernih ,jumlah sel 50-200 dengan dominasi limfasit. Kadar protein kadang-kadang meningkat, sedangkan glukosa masih dalam batas normal.<br /><br />Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difus (aktifitas lambat bilateral).Bila terdapat tanda klinis flokal yang ditunjang dengan gambaran EEG atau CT scan dapat dilakukan biopal otak di daerah yang bersangkutan. Bila tidak ada tanda klinis flokal, biopsy dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes Simplex.<br /><br />DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING TERJADI<br />1. Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan terhadap infeksi turun.<br />2. Resiko tinggi perubahan peR/usi jaringan b/d Hepofalemia, anemia.<br />3. Resiko tinggi terhadap trauma b/d aktivitas kejang umu.<br />4. Nyeri b/d adanya proses infeksi yang ditandai dengan anak menangis, gelisah.<br />5. Gangguan mobilitas b/d penurunan kekuatan otot yang ditandai dengan ROM terbatas.<br />6. Gangguan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah.<br />7. Gangguan sensorik motorik (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) b/d kerusakan susunan saraf pusat.<br />8. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan sakit kepala mual.<br />9. Resiko gangguan integritas kulit b/d daya pertahanan tubuh terhadap infeksi turun.<br />10. Resiko terjadi kontraktur b/d spastik berulang.<br /> <br />DIAGNOSA KEPERAWATAN I.<br /><br />Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan tubuh terhadap infeksi turun <br />Tujuan:<br />- tidak terjadi infeksi<br />Kriteria hasil:<br />- Masa penyembuhan tepat waktu tanpa bukti penyebaran infeksi endogen<br />Intervensi<br />1. Pertahanan teknik aseptic dan teknik cuci tangan yang tepat baik petugas atau pengunmjung. Pantau dan batasi pengunjung.<br />R/. menurunkan resiko px terkena infeksi sekunder . mengontrol penyebaran Sumber infeksi, mencegah pemajaran pada individu yang mengalami nfeksi saluran nafas atas.<br />2. Abs. suhu secara teratur dan tanda-tanda klinis dari infeksi.<br />R/. Deteksi dini tanda-tanda infeksi merupakan indikasi perkembangan Meningkosamia .<br />3. Berikan antibiotika sesuai indikasi <br />R/. Obat yang dipilih tergantung tipe infeksi dan sensitivitas individu. <br /><br />DIAGNOSA KEPERAWATAN II<br /><br />Resiko tinggi terhadap trauma b/d aktivitas kejang umum<br />Tujuan : <br />- Tidak terjadi trauma<br /><br />Kriteria hasil :<br />- Tidak mengalami kejang / penyerta cedera lain<br /><br />Intervensi :<br />1. Berikan pengamanan pada pasien dengan memberi bantalan,penghalang tempat tidur tetapn terpasang dan berikan pengganjal pada mulut, jalan nafas tetap bebas. <br />R/. Melindungi px jika terjadi kejang , pengganjal mulut agak lidah tidak tergigit.<br /> Catatan: memasukkan pengganjal mulut hanya saat mulut relaksasi.<br />2. Pertahankan tirah baring dalam fase akut.<br />R/. Menurunkan resiko terjatuh / trauma saat terjadi vertigo. <br />3. Kolaborasi.<br />Berikan obat sesuai indikasi seperti delantin, valum dsb.<br />R/. Merupakan indikasi untuk penanganan dan pencegahan kejang.<br />4. Abservasi tanda-tanda vital<br />R/. Deteksi diri terjadi kejang agak dapat dilakukan tindakan lanjutan.<br /><br />DIAGNOSA KEPERAWATAN III<br /><br />Resiko terjadi kontraktur b/d kejang spastik berulang<br /><br />Tujuan :<br />- Tidak terjadi kontraktur<br />Ktiteria hasil :<br />- Tidak terjadi kekakuan sendi<br />- Dapat menggerakkan anggota tubuh<br /><br />Intervensi<br /><br />1. Berikan penjelasan pada ibu klien tentang penyebab terjadinya spastik , terjadi kekacauan sendi.<br />R/ . Dengan diberi penjelasan diharapkan keluarga mengerti dan mau membantu program perawatan .<br />2. Lakukan latihan pasif mulai ujung ruas jari secara bertahap <br />R/ Melatih melemaskan otot-otot, mencegah kontraktor.<br />3. Lakukan perubahan posisi setiap 2 jam <br />R/ Dengan melakukan perubahan posisi diharapkan peR/usi ke jaringan lancar, meningkatkan daya pertahanan tubuh .<br />4. Observasi gejala kaerdinal setiap 3 jam <br />R/ Dengan melakukan observasi dapat melakukan deteksi dini bila ada kelainan dapat dilakukan inteR/ensi segera<br />5. Kolaborasi untuk pemberian pengobatan spastik dilantin / valium sesuai Indikasi<br />R/ Diberi dilantin / valium ,bila terjadi kejang spastik ulang <br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Laboratorium UPF Ilmu Kesehatan Anak, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya, 1998<br /><br />Ngastiyah, Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997.<br /><br />Rahman M, Petunjuk Tentang Penyakit, Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium, Kelompok Minat Penulisan Ilmiah Kedokteran Salemba, Jakarta, 1986.<br /><br />Sacharian, Rosa M, Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2 Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta ,1993.<br /><br />Sutjinigsih (1995), Tumbuh kembang Anak, Penerbit EGC, Jakarta.<br /> <br />PATO FISIOLOGI ENSEFALISTIS<br /> Virus / Bakteri <br /> <br /> <br /> Mengenai CNS <br /> <br /> <br /> Insevalitis<br /> <br /><br /> <br /> Tik Kejaringan Susu Non Saraf Pusat Panas/Sakit kepala<br /> <br /><br />Muntah- muntah Kerusakan- kerusakan susunan Rasa Nyaman <br /> Mual Saraf Pusat<br /> <br /><br />BB Turun <br />- Gangguan Penglihatan Kejang Spastik<br /> - Gangguan Bicara <br />Nutrisi Kurang - Gangguan Pendengaran Resiko Cedera<br /> - Kekemahan Gerak Resiko Contuaktur<br /> <br /> <br />- Gangguan Sensorik<br /> Motorik<br /><br />PATO FISIOLOGI GIZI KURANG<br />Asupan Makanan Kurang<br /> <br /> <br /> Defisiensi Protein Energi ( EDP ) Defisiensi Vitamin A<br /> <br /> <br /> <br /><br />gangguan Penurunan keadaan aktivitas Hb sintensis ennim<br />pertumbuhan albumin fagosit<br /><br /><br />BB rendah oediem/asites Daya tahan thd anemia ganguan Pencernaan<br /> Infeksi dan metabolisme<br /> Gangguan<br /> Pengankutan O2<br />Nutrisi gangguan integritas mudah infeksi gangguan nutrisi<br />Kurang kulit /terkena infeksiSmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-85200532977087438522010-11-22T01:40:00.001-08:002010-11-22T01:40:27.616-08:00ASKEP ANAK ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIAACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA<br /><br /><br />A. PENGERTIAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA<br />Acut limphosityc leukemia adalah proliferasi maligna / ganas limphoblast dalam sumsum tulang yang disebabkan oleh sel inti tunggal yang dapat bersifat sistemik. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Tucker, 1997; Reeves & Lockart, 2002).<br /><br />B. PENYEBAB ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA<br />Penyebab acut limphosityc leukemia sampai saat ini belum jelas, diduga kemungkinan karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu:<br />1. Faktor eksogen <br />a. Sinar x, sinar radioaktif.<br />b. Hormon.<br />c. Bahan kimia seperti: bensol, arsen, preparat sulfat, chloramphinecol, anti neoplastic agent).<br />2. Faktor endogen<br />a. Ras (orang Yahudi lebih mudah terkena dibanding orang kulit hitam)<br />b. Kongenital (kelainan kromosom, terutama pada anak dengan Sindrom Down).<br />c. Herediter (kakak beradik atau kembar satu telur).<br />(Ngastiyah, 1997)<br /><br />C. PATOFISIOLOGI ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA<br />Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).<br /><br />D. TANDA DAN GEJALA ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA<br />Manifestasi klinik dari acut limphosityc leukemia antara lain:<br />1. Pilek tak sembuh-sembuh<br />2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi<br />3. Demam, anoreksia, mual, muntah<br />4. Berat badan menurun<br />5. Ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi, memar tanpa sebab<br />6. Nyeri tulang dan persendian <br />7. Nyeri abdomen<br />8. Hepatosplenomegali, limfadenopati<br />9. Abnormalitas WBC<br />10. Nyeri kepala<br /><br /><br /><br /><br />E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA<br />Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan acut limphosityc leukemia adalah:<br />1. Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction):<br />a. Ditemukan sel blast yang berlebihan<br />b. Peningkatan protein<br />2. Pemeriksaan darah tepi<br />a. Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia)<br />b. Peningkatan asam urat serum<br />c. Peningkatan tembaga (Cu) serum<br />d. Penurunan kadar Zink (Zn)<br />e. Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000 – 200.000 / µl) tetapi dalam bentuk sel blast / sel primitif<br />3. Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ tersebut<br />4. Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum<br />5. Sitogenik:<br />50-60% dari pasien ALL dan AML mempunyai kelainan berupa:<br />a. Kelainan jumlah kromosom, seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a)<br />b. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial delection)<br />c. Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen kromosom normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />F. PENGOBATAN PADA ALL<br />1. Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberi¬kan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda tanda DIC dapat dibe¬rikan heparin.<br />2. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhir¬nya dihentikan.<br />3. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6 merkaptopurin atau 6 mp, metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriami¬sin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama sama dengan prednison. Pada pemberian obat obatan ini sering terdapat akibat samping beru¬pa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3.<br />4. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama).<br />5. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah ter¬capai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyunti¬kan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna.<br />6. Cara pengobatan.<br />Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalaman¬nya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut:<br />a. Induksi<br />Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berba¬gai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sam¬pai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.<br />b. Konsolidasi<br />Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.<br />c. Rumat (maintenance)<br />Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat dapatnya suatu masa remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa.<br />d. Reinduksi<br />Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3 6 bulan dengan pemberian obat obat seperti pada induksi se¬lama 10 14 hari.<br />e. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.<br />Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.400¬2.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia sereb¬ral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.<br />f. Pengobatan imunologik<br />Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna.<br />(FKUI, 1985)<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />G. PATHWAYS<br /><br />Proliferasi sel kanker<br /> <br />Sel kanker bersaing dengan sel normal<br />Untuk mendapatkan nutrisi<br /><br /> Infiltrasi<br /><br /> Sel normal digantikan dengan <br /> Sel kanker<br /><br />Depresi sumsum metabolisme infiltrasi infiltrasi<br /> Tulang S S P ekstra medular<br /><br /> Sel kekurangan meningitis pembesaran limpa,<br /> makanan leukemia liver,nodus limfe, tulang <br />Eritrosit leukosit faktor tekanan <br /> Pembekuan jaringan nyeri tulang tulang<br /> & persendian mengecil&<br />Anemia infeksi perdarahan lemah<br /><br /><br /> Demam trombositopeni fraktur<br /> fisiologis <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />H. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA<br />Adanya keganasan menimbulkan masalah keperawatan, antara lain:<br />1. Intoleransi aktivitas<br />2. Resiko tinggi infeksi<br />3. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuahn<br />4. Resiko cedera (perdarahan)<br />5. Resiko kerusakan integritas kulit<br />6. Nyeri<br />7. Resiko kekurangan volume cairan<br />8. Berduka<br />9. Kurang pengetahuan<br />10. Perubahan proses keluarga<br />11. Gangguan citra diri / gambaran diri<br /><br />I. PERAWATAN PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA<br />1. Mengatasi keletihan / intoleransi aktivitas:<br />a. Kaji adanya tanda-tanda anemia: pucat, peka rangsang, cepat lelah, kadar Hb rendah.<br />b. Pantau hitung darah lengkap dan hitung jenis<br />c. Berikan cukup istirahat dan tidur tanpa gangguan<br />d. Minimalkan kegelisahan dan anjurkan bermain yang tenang<br />e. Bantu pasien dalam aktivitas sehari-hari<br />f. Pantau frekuensi nadi, prnafasan, sebelum dan selama aktivitas<br />g. Ketika kondisi membaik, dorong aktivitas sesuai toleransi<br />h. Jika diprogramkan, berikan packed RBC<br />2. Mencegah terjadinya infeksi<br />a. Observasi adanya tanda-tanda infeksi, pantau suhu badan laporkan jika suhu > 38oC yang berlangsung > 24 jam, menggigil dan nadi > 100 x / menit.<br />b. Sadari bahwa ketika hitung neutrofil menurun (neutropenia), resiko infeksi meningkat, maka:<br />1). Tampatkan pasien dalam ruangan khusus<br />2). Sebelum merawat pasien: cuci tangan dan memakai pakaian pelindung, masker dan sarung tangan. <br />3). Cegah komtak dengan individu yang terinfeksi<br />c. Jaga lingkungan tetap bersih, batasi tindakan invasif<br />d. Bantu ambulasi jika mungkin (membalik, batuk, nafas dalam)<br />e. Lakukan higiene oral dan perawatan perineal secara sering.<br />f. Pantau masukan dan haluaran serta pertahankan hidarasi yang adekuat dengan minum 3 liter / hari<br />g. Berika terapi antibiotik dan tranfusi granulosit jika diprogramkan<br />h. Yakinkan pemberian makanan yang bergizi.<br />3. Mencegah cidera (perdarahan)<br />a. Observasi adanya tanda-tanda perdarahan dengan inspeksi kulit, mulut, hidung, urine, feses, muntahan, dan lokasi infus.<br />b. Pantau tanda vital dan nilai trombosit<br />c. Hindari injesi intravena dan intramuskuler seminimal mungkin dan tekan 5-10 menit setiap kali menyuntik<br />d. Gunakan sikat gigi yang lebut dan lunak<br />e. Hindari pengambilan temperatur rektal, pengobatan rekatl dan enema<br />f. Hindari aktivitas yang dapat menyebabkan cidera fisik atau mainan yang dapat melukai kulit.<br />4. Memberikan nutrisi yang adekuat<br />a. Kaji jumlah makanan dan cairan yang ditoleransi pasien<br />b. Berikan kebersihan oral sebelum dan sesudah makan<br />c. Hindari bau, parfum, tindakan yang tidak menyenangkan, gangguan pandangan dan bunyi<br />d. Ubah pola makan, berikan makanan ringan dan sering, libatkan pasien dalam memilih makanan yang bergizi tinggi, timbang BB tiap hari<br />e. Sajikan makanan dalam suhu dingin / hangat<br />f. Pantau masukan makanan, bila jumlah kurang berikan ciran parenteral dan NPT yang diprogramkan.<br /><br />5. Mencegah kekurangan cairan <br />a. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi<br />b. Berikan antiemetik awal sebelum pemberian kemoterapi<br />c. Hindari pemberian makanan dan minuman yang baunya merangngsang mual / muntah<br />d. Anjurkan minum dalam porsi kecil dan sering<br />e. Kolaborasi pemberian cairan parenteral untuk mempertahankan hidrasi sesuai indikasi<br />6. Antisipasi berduka<br />a. Kaji tahapan berduka oada anak dan keluarga<br />b. Berikan dukungan pada respon adaptif dan rubah respon maladaptif<br />c. Luangkan waktu bersama anak untuk memberi kesempatan express feeling<br />d. Fasilitasi express feeling melalui permainan<br />7. Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga tentang:<br />a. Proses penyakit leukemia: gejala, pentingnya pengobatan / perawatan.<br />b. Komplikasi penyakit leukemia: perdarahan, infeksi dll.<br />c. Aktivitas dan latihan sesuai toleransi<br />d. Mengatasi kecemasan<br />e. Pemberian nutrisi<br />f. Pengobatan dan efek samping pengobatan<br />8. Meningkatkan peran keluarga<br />a. Jelaskan alasan dilakukannya setiap prosedur pengobatan / dianostik<br />b. Jadwalkan waktu bagi keluarga bersama anak tanpa diganggu oleh staf SR<br />c. Dorong keluarga untuk express feelings<br />d. Libatkan keluarga dalam perencanaan dan pelaksanaan perawatan si anak<br />9. Mencegah gangguan citra diri / gambaran diri<br />a. Dorong pasien untuk express feelings tentang dirinya<br />b. Berikan informasi yang mendukung pasien ( misal; rambut akan tumbuh kembali, berat badan akan kembali naik jika terapi selesai dll.)<br />c. Dukung interaksi sosial / peer group<br />d. Sarankan pemakaian wig, topi / penutup kepala.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Betz, Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Jakarta, EGC.<br />2. Suriadi, Yuliani R. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. Jakarta, CV Sagung Seto.<br />3. Reeeves, Lockart. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Cetakan I. Jakarta, Salemba Raya.<br />4. FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1. Jakarta, FKUI.<br />5. Sacharin Rosa M. (1993). Prinsip Perawatan Pediatri. Edisi 2. Jakarta : EGC.<br />6. Gale Danielle, Charette Jane. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, Jakarta : EGC.<br />7. Price Sylvia A, Wilson Lorraine Mc Cart .(1995). Patofisiologi. Jakarta : EGC<br />8. Sutarni Nani.(2003). Prosedur Dan Cara Pemberian Obat Kemoterapi. Disampaikan Pada Pelatihan Kemoterapi Di RS Kariadi Semarang, Tanggal 13-15 November 2003.SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-8716832535887319932010-11-22T01:39:00.000-08:002010-11-22T01:40:00.550-08:00ASKEP ANAK THIPOIDASUHAN KEPERAWATAN KLIEN ANAK DENGAN THIPOID<br /><br />A. PENGERTIAN<br />Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002)<br />Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit kepala, kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran dari limpa/hati/kedua-duanya. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)<br /><br />B. PENYEBAB <br />Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai oleh demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi/diare. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: perforasi usus, perdarahan, toksemia dan kematian. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)<br />Etiologi demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi b dan S.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997) <br /><br />C. PATOFISIOLOGIS<br />Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier.<br />Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)<br />Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)<br />PATHWAYS<br /><br />Salmonella typhosa<br /><br />Saluran pencernaan<br /><br />Diserap oleh usus halus<br /><br />Bakteri memasuki aliran darah sistemik<br /><br />Kelenjar limfoid Hati Limpa Endotoksin<br />usus halus<br /><br />Tukak Hepatomegali Splenomegali Demam<br /><br />Pendarahan dan Nyeri perabaan <br />perforasi Mual/tidak nafsu makan<br /><br /> Perubahan nutrisi<br /><br />Resiko kurang volume cairan<br /><br /> (Suriadi & Rita Y, 2001)<br /><br /> <br /><br /><br /><br />D. GEJALA KLINIS<br />Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan orang dewasa. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, tetapi secara garis besar terdiri dari demam satu minggu/lebih, terdapat gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, serta suhu badan yang meningkat.<br />Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, bisa disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat. Lidah tifoid dan tampak kering, dilapisi selaput kecoklatan yang tebal, di bagian ujung tepi tampak lebih kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)<br />Sejalan dengan perkembangan penyakit, suhu tubuh meningkat dengan gambaran ‘anak tangga’. Menjelang akhir minggu pertama, pasien menjadi bertambah toksik. (Vanda Joss & Stephen Rose, 1997)<br />Gambaran klinik tifus abdominalis<br />Keluhan:<br />- Nyeri kepala (frontal) 100%<br />- Kurang enak di perut 50%<br />- Nyeri tulang, persendian, dan otot 50%<br />- Berak-berak 50%<br />- Muntah 50%<br />Gejala:<br />- Demam 100%<br />- Nyeri tekan perut 75%<br />- Bronkitis 75%<br />- Toksik 60%<br />- Letargik 60%<br />- Lidah tifus (“kotor”) 40%<br /> (Sjamsuhidayat,1998)<br />E. PEMERIKSAAN PENUNJANG<br />1. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap<br />Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. <br />2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT<br />SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus<br />3. Pemeriksaan Uji Widal<br />Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita Demam Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin) yaitu:<br />• Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri<br />• Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri<br />• Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakter.<br />Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis Demam Tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan menderita Demam Tifoid. (Widiastuti Samekto, 2001)<br /><br />F. TERAPI<br />1. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas<br />2. Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari. <br />3. Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)<br />4. Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu<br />5. Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari<br /><br />6. Golongan Fluorokuinolon<br />• Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari<br />• Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari<br />• Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari<br />• Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari<br />• Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari<br />7. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001)<br /><br />G. KOMPLIKASI<br />Perdarahan usus, peritonitis, meningitis, kolesistitis, ensefalopati, bronkopneumonia, hepatitis. (Arif mansjoer & Suprohaitan 2000)<br />Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan denyut jantung.Pneumonia sering ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain selain Salmonella. Pielonefritis, endokarditis, meningitis, osteomielitis dan arthritis septik jarang terjadi pada hospes normal. Arthritis septik dan osteomielitis lebih sering terjadi pada penderita hemoglobinopati. (Behrman Richard, 1992)<br /><br /><br /> <br />H. ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DEMAM TIPOID<br /><br />A. PENGKAJIAN<br />1. Riwayat keperawatan<br />2. Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epistaksis, penurunan kesadaran<br /><br />B. DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi<br />2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual, dan kembung<br />3. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh<br /><br />C. PERENCANAAN<br />1. Mempertahankan suhu dalam batas normal<br />• Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia<br />• Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan<br />• Berri minum yang cukup<br />• Berikan kompres air biasa<br />• Lakukan tepid sponge (seka)<br />• Pakaian (baju) yang tipis dan menyerap keringat<br />• Pemberian obat antipireksia<br />• Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat<br /><br />2. Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan<br />• Menilai status nutrisi anak<br />• Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.<br />• Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi<br />• Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tetapi sering<br />• Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala yang sama<br />• Mempertahankan kebersihan mulut anak<br />• Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit<br />• Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral jika pemberian makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak<br /><br />3. Mencegah kurangnya volume cairan<br />• Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) paling sedikit setiap 4 jam<br />• Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor tidak elastis, ubun-ubun cekung, produksi urin menurun, memberan mukosa kering, bibir pecah-pecah<br />• Mengobservasi dan mencatat berat badan pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama <br />• Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam<br />• Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (Insensible Water Loss/IWL) dengan memberikan kompres dingin atau dengan tepid sponge<br />• Memberikan antibiotik sesuai program<br />(Suriadi & Rita Y, 2001)<br /><br /><br /> <br />I. DISCHARGE PLANNING<br />1. Penderita harus dapat diyakinkan cuci tangan dengan sabun setelah defekasi<br />2. Mereka yang diketahui sebagai karier dihindari untuk mengelola makanan<br />3. Lalat perlu dicegah menghinggapi makanan dan minuman.<br />4. Penderita memerlukan istirahat <br />5. Diit lunak yang tidak merangsang dan rendah serat<br />(Samsuridjal D dan Heru S, 2003)<br />6. Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak<br />7. Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, dan efek samping<br />8. Menjelaskan gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk mengatasi gejala tersebut<br />9. Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan.<br />(Suriadi & Rita Y, 2001) <br /><br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Arif Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit Media Aesculapius. FKUI Jakarta. 2000.<br />2. Arjatmo Tjokronegoro & Hendra Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke Tiga. FKUI. Jakarta. 1997.<br />3. Behrman Richard. Ilmu Kesehatan Anak. Alih bahasa: Moelia Radja Siregar & Manulang. Editor: Peter Anugrah. EGC. Jakarta. 1992.<br />4. Joss, Vanda dan Rose, Stephan. Penyajian Kasus pada Pediatri. Alih bahasa Agnes Kartini. Hipokrates. Jakarta. 1997. <br />5. Ranuh, Hariyono dan Soeyitno, dkk. Buku Imunisasi Di Indonesia, edisi pertama. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2001.<br />6. Samsuridjal Djauzi dan Heru Sundaru. Imunisasi Dewasa. FKUI. Jakarta. 2003.<br />7. Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998.<br />8. Soegeng Soegijanto. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Salemba Medika. Jakarta. 2002.<br />9. Suriadi & Rita Yuliani. Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. CV Sagung Seto. Jakarta. 2001.<br />10. Widiastuti Samekto. Belajar Bertolak dari Masalah Demam Typhoid. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2001.<br />11. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2005/02/03brkSmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-4497652690105019252010-11-22T01:38:00.000-08:002010-11-22T01:39:25.129-08:00ASKEP ANAK DMLAPORAN PENDAHULUAN<br />ASUHAN KEPERAWATAN ANAK<br />PADA KASUS DIABETES MILLITUS<br /><br />Diabetes mellitus merupakan suatu gangguan sistem endokrin yang sering menyerang anak usia sekolah.<br /><br />PATHOGENESIS<br />Disfungsi dari sel – sel beta pulau langerhans di panereas yang dapat disebabkan oleh adanya tumor, pangkreatitis, penggunaan Corticosteroid yang akan mengganggu sekresi insulin. Tiga efek utama gangguan / kekurangan insulin :<br />Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel – sel tubuh dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah.<br />Peningkatan nyata mobilisasi lemak dari daerah – daerah penyimpanan lemak menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler.<br />Pengurangan protein dalam jaringan tubuh. Dapat juga defisit insulin akan terjadi perubahan metabolic : Transport glukosa yang melintasi membran sel – sel berkurang. Glikogenesis berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah<br />Glikolisis meningkat sehingga cadangan glikogen berkurang dan glukosa hati dicurahkan kedalam darah secara terus menerus melebihi kebutuhan.<br />Glukoneogenesis meningkat dan lebih banyak lagi glukosa hati yang tercurahkan kedalam darah dari hasil pemecahan asam amino dan lemak sehingga menyebabkan konsetrasi glukosa melebihi ambang ginjal, maka timbul glukosuria. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poli uri) akan timbul rasa haus (polidipsi), karena kalori negatif dan berat badan berkurang rasa lapar semakin besar (palipagi) mungkin timbul sebagai akibat kehilangan kalori.<br />Pada anak Diabetes terjadi rata – rata, penurunan produsi insulin akan berakibat penurunan kemampuan memperoleh energi yang berasal dari nutrisi yang dibutuhkan oleh anak. Karena kehilangan berat badan dan pertumbuhan yang lambat, gabungan kegagalan akan memambah berat badan dan mengurangi energi secara tiba – tiba yang akan membawa perhatian kesehatannya seberapa jauh. Anak mungkin melihat kesehatannya dari gejala sampai terlihat jelas.<br />Gejala – gejala tersebut biasanya disertai dengan penurunan berat badan atau kegagalan untuk memambah berat badan dan kekurangan energi. Gejalanya biasanya terjadi secara tiba – tiba. Jika seorang anak tidak tampak adanya gejala, dan mengarah kediagnos, mungkin gangguan tersebut akan berkembang pada asidosis Diabetes karena tidak adekuatnya produksi insulin, karbohidrat tidak dapat dipakai sebagai bahan bakar penghasil energi, kemudian lemak dimobilisir untuk energi yang proses oksidasinya tidak lengkap, akan menghasilkan ketone bodies (acetone, acid diacetid, oxybatyric acid) terjadi penumpukan keton bodies siap di ekskresi ke dalam urine, tetapi di dalam ekresi akan menyebabkan gangguan keseimbangan cairan yang menyebabkan acidosis dengan karakteristik.<br /><br />GEJALA<br />Pada timbul dibetes mellitus ada rasa haus, penurunan berat badan, kencing banyak, lesu dan ngompol waktu malam. Gejala – gejala ini mampak selama beberapa minggu.<br />Ketoasidosis yang nampak pada anak harus diperlakukan sebagai keadaan gawat dan anak harus dirawat dirumah sakit.<br />Insulin komponen tunggal berisi porsin murni (misalnya Actrapid MC atau Leo Neutral) diberikan melalui infus pelan menggunakan pompa infus yang memberikan 2,5 atau 5 unit perjam secara teratur tergantung usia anak. NaCl 0,9 diberikan secara intravena sampai gula darah mendekati harga normal (11 mmo1/1) kemudian diganti dengan NaCl 0,45 % ditambah Dekstrosa 5 %. Natrium bikarbonat dan garam kalium ditambahkan bila perlu.<br />Pada penyembuhan secara bertahap diberikan diet yang sesuai tergantung usia anak. Insulin diberikan sesuai hasil pemeriksaan air kencing sebelum makan. Dalam waktu singkat anak makan seperti biasa dan dapat dimulai dengan insulin “ long acting “ sebagai pengobatan pemeliharaan.<br />Rapitard MC (Novo) 1 atau 2 kali sehari atau gabungan seperti :<br />Monotard MC (Novo) + Actrapid MC (Novo) pagi hari atau<br />Leo Retard + Leo Neutral pada pagi hari<br />Anak usia 6 tahun keatas dapat diajar memakai insulinnya dengan pengawasan ibunya. Tempat suntikan dipindah setiap hari dari depan / sisi lateral pada mengikuti pola tertentu. Mereka harus memeriksa air kencing mereka setengah jam sebelum makan. Kandung kencing harus dikosongkan setengah jam sebelum mendapatkan bahan pemeriksaan yang menggambarkan glukosa darah waktu itu.<br />Glukose merupakan sumberenergi utama untuk sel. Insulin merupakan fasilitas peningkatan glukosa intravaskuler melalui muskulus dari cell lemak, memfasititasi penyimpanan glukosa menjadi glikogen didalam liver dan sel muskulus dan secara tidak langsung mencegah metabolisme lemak, kekurangan insulin berperan penting terjadinya hyperglikemia karena glucosa intravascular tidak akan masuk ke dalam sel. Lever merespon kekurangan glukosa intraselluler melalui glukoncogenesis dan glyconolysis dan lebih lanjut akan memperberat hyperglikemia. Hyperglikemia menyebabkan diuresis osmotic yang berlanjut kehilangan cairan ekektrolit dan rata – rata akan terjadi dehidrasi.<br />Ketidakmampuan glukosa masuk ke sell, memacu katabolise di proses katabolisme tubuh menggunakan lemak dan protein sebagai energi dan walaupun intake makanan meningkat terjadi penurunan berat badan. Ketika lemak digunakan sebagai energi, liver merubah peningkatan lemak bebas didalam darah menjadi ketone bodies. Penumpukan sirkulasi akumulasi keton bodies akan mempengaruhi PH darah yang akan mempengaruhi ketoacidasi. Selama acidosis potassium (kalium) tubuh menurun secara signifikan. Tanda – tanda kenaikan aceton dan ketoacid ialah pernafasan berbau buah – buahan, kussmaul, nyeri abdominal, muntah. Saat terjadi muntah cairan banyak keluar dan terjadi gangguan keseimbangan dan diperlukan peningkatan intake, dan kondisi anak dapat lebih cepat memburuk.<br />Anak dengan diabetes dengan riwayat poliuri, polidipsi, poliphagia dan penurunan berat badan, banyak yang mengalami ketoacidosis. Anak dengan diabetes ketoacidosis dengan tanda – tanda klasik dan hyperglikemia (glokusa darah lebih dari 300 mg / dl), ketonemia, acidosis / PH < 7.30, bicarbnat < 15 mEq / 1, glucosuria, ketonuria.<br />Fokus treatment anak dengan diabetes keseimbangan metabolisme. Treatment jangka panjang berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal dan memberi tekanan tidak bergantung dan mengurangi efek psychososial. Treatment termasuk pendidikan anak dan keluarga untuk monitoring glukosa, pemberian insulin, diet, exercise, management, hyperglydemia dan hypoglikemia.<br /><br />DIAGNOSIS<br />Hati – hati obsevasi gejala / tanda di dalam anggota keluarga yang mempunyai riwayat Diabetes, misalnya frekwensi BAK, rasa haus, kehilangan berat badan dan yang merupakan reseko tinggi diharapkan untuk secara rutin periksa, dengan finger stickglucose monitoring atau test glicosuria apabila level glukosa darah > 200 mg / dl atau glycosuria, dan adanya tanda poliuria dan penurunan berat badan, polipagia.<br />Walaupun test toleransi glukosa dapat menggambarkan Diabetes pada dewasa, tidak dapat digunakan untuk anak – anak. Test oral glukosa toleransi sering tidak cocok / mendapatkan sukses pada anak karena mereka memuntahkan glukosa padat / pekata yang seharusnya ditelan.<br />Treatment untuk anak diabetes melibatkan keluarga anak dan tim kesehatan (perawat, gizi, dokter). Setelah anak terdiagnosa Diabetes, untuk beberapa waktu akan masuk rumah sakit, sampai keadaan stabil dibawah supervisor. Untuk beberapa saat perawat harus memahami perasaan emosi klien.<br />Reaksi insulin yaitu shock. Hipoglikemia, karena kebanyakan insulin akan mengakibatkan kecepatan metabolisme glukosa di dalam tubuh, saat terjadi perubahan di dalam tubuh yang seharusnya dengan syarat, kesembronoan dalam diet, kesalahan dalam pengukuran insulin atau berlebihan exercise karena Diabetes pada anak mudah labil. Tanda hypoglikemia irritabilitas, diaphoresis, mengantuk, perubahan tingkat kesadaran. Tanda hyperglikemia : polipagia, poliuri, membran mucosa kering, letargi, perubahan tingkat kesadaran.<br />Pada anak – anak reaksi insulin sering terjadi lebih pagi, oleh karena itu dibutuhkan observasi lebih dini selama malam hari ( setiap 2 jam ). Oleh karena itu monitoring glukosa darah harus dilakukan lebih pagi khususnya bila di Rumah Sakit.<br />Teatment bila terjadi reaksi insulin, anak diberikan gula, permen, orenge juice atau salah produk yang digunakan untuk penanganan emergency lalu konsultasi dokter bila anak tidak dapat peroral, dapat diberikan glikogen subcutan untuk meningkatkan glukosa darah. Glukogon adalah hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pancreas, dimana peninggian kadar glukosa darah akan membebaskan insulin ( pada normalnya orang ) tetapi glukosa darah menurun statimulasi pembebasan glikogen. Pembebasan glukoge di dalam darah akan meningkatkan penghancuran glukogen dihati dan glukosa dihasilkan.<br /><br />ASUHAN KEPERAWATAN<br />Pengkajian :<br />Penurunan berat badan<br />Appetiti<br />Polydipsia<br />Dehidrasi<br />Irritablity<br />Kelemahan<br />Tinggi badan, berat badan<br />Kelembaban kulit<br />Turgor<br />Tanda – tanda vital<br />Kolekting urine spesimen<br />Gukosa darah meningkat<br />Perkembangan anak usia sekolah.<br /><br /><br />Psikososial :<br />Dapat menyelesaikan tugas – tugasnya sampai menghasilkan sesuatu <br />Belajar bersaing dan koperatif dengan orang lain<br /><br />Psikoseksual :<br />Berorentasi pada sosial, kelompok bermain<br />Mulai berkembang intelektual dan socsal<br /><br />Intelektual :<br />Mulai berpikir logis, terarah, dapat mengelompokkan fakta –fakta berfikir abstrak<br />Mengatasi masalah secara nyata dan sistematis.<br /><br />DIAGNOSA KEPERAWATAN <br />1. Resiko injuri berhubungan dengan kekurangan insulin<br />2. Tidak efektifnya koping keluarga ; kompromi berhubungan dengan perawatan rumah dalam mencegah hypo dan hyperglikemia<br />3. Ketakutan anak berhubungan dengan pemberian insulin<br />4. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari berhubungan dengan, penurunan produksi insulin <br />5. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan sirkulasi / sensori<br />6. Kecemasan anak / keluarga berhubungan dengan diagnosis diabetes dan komplikasi<br />7. Gangguan selfesteem berhubungan dengan penyakit kronik dan ketergantungan insulin<br /><br />PERENCANAAN DAN IDENTIFIKASI OUT COME<br />Tujuan secara garis besarnya adalah :<br />Mencegah injuri dan infeksi<br />Eliminir ketakutan saat pemberian insulin<br />Maintenance nutrisi yang adekuat<br />Self konsep yang positif<br />Tidak bergantung<br />Untuk keluarga menjaga agar anak tidak terjadi hipoglikemia, pemberian insulin nutrisi untuk anak<br />Untuk anak agar dapat belajar merawat diabet supaya terhindar dari komplikasi.<br /><br /><br /><br />Mencegah injuri<br />Monitoring level glukosa darah; 2 kali sehari, sebelum makan pagi dan makan malam<br />Membantu expresikan perasaan ketakutan saat dilakukan test glukosa darah ( finger stick )<br />Fase sekolah ; Industri tertarik dengan informasi agar anak kooperatif <br />Monitor tanda – tanda hiperglikemia<br /><br />Meningkatkan koping keluarga dalam manajemen hypoglikemia dan hyperglikemia<br />Pendidikan / HE tentang tanda – tanda hypoglikemia dan hyperglikemia dan bagaimana penanganan seperlunya untuk mengatasi <br />Cara penanganan apabila gula darah < 60 mg/dl, juice, gula, soda non diet, apabila glukosa tidak dicek beri karbohidrat simple apabila ada tanda hipoglikemia <br />Apabila anak mendapat therapi glukagon atau dextrose dari dokter, ajari bagaimana pemberian glukagon secara intra muscular <br />Anjurkan anak membawa bekal dan dimakan apabila ada tanda – tanda hipoglikemia (bekalnya karbohidrat complex misalnya cake, crakers, roti, kacang dan sebagainya ) <br />Catat pola terjadinya hipoglikemia dan buat jadwal rencana pengambilan keputusan agar tidak terjadi hipoglikemia<br />Apabila anak mengalami sakit ( panas, infeksi, muntah, mual, tidak mau makan ) hubungi dokter<br />Ajari cara pemberian insulin secara subcutan<br /><br />Memastikan tepat dan adekuatnya nutrisi<br />Melibatkan anak dalam rencana pemberian nutrisi<br />Membantu anak agar ikut terlibat dalam program diet<br />Apabila anak akan pulang terlambat untuk makan siamg dianjurkan membawa makanan karbohidrat komplek<br />Anjurkan anak agar dapat bagaimana mengatasi makan di sekolah dan lingkungan sosial<br /><br />Mencegah infeksi dan kerusakan kulit<br />Ajarkan cara mengobservasi, tentukan kulit setiap hari ( setelah mandi ) biasanya yang mudah mengalami kerusakan pada lipatan – lipatan ( axilla, paha )<br />Perhatikan penggunaan sepatu yang baik<br />Observasi kedua kaki untuk pecah –pecah, potong kuku sesuai garis, gunakan kaos kaki yang bersih dan jangan tidak menggunakan pengalas kaki <br />Infeksi yang sering adalah sistem urinary dan sistem respirasi atas ajarkan mengenal tanda – tanda infeksi urinary ; gatal, rasa panas pada sistem urinary bila terjadi hubungi dokter<br /><br />Mengurangi kecemasan anak dan keluarga<br />Anjurkan kepada anak dan keluarga untuk mengungkapkan perasaannya ( rasa bersalah, marah, penolakan ) <br />Anjurkan banyak membaca untuk menambah pemahaman tentang penyakitnya<br />Berikan informasi yang jujur dan jelas<br /><br />Meningkatkan self care dan self esteem yang positif<br />Anjurkan untuk saling mengunjungi antar anak yang sakit<br />Menjelaskan bahwa anak diabetes dapat melakukan aktifitas yang sama seperti anak lainnya<br /><br />EVALUASI<br />Anak tidak mendapat injuri<br />Anak dan keluarga dapat menunjukkan cara penanganan hypoglikemia dan hyperglikemia<br />Anak dan keluarga dapat menunjukkan cara pemberian insulin <br />Anak dan keluarga dapat menunjukkan nutrisi yang dibutuhkan <br />Anak tidak mendapatkan kulit yang rusak atau infeksi<br />Anak dan keluarga dapat menunjukkan perawatan dirumah untuk jangka panjang <br />Anak dan keluarga dapat menunjukkan sikap positif didalam segala kondisi<br /> <br />KEPUSTAKAAN<br /><br />Dr. Sidhartani Zain. (1981), Ilmu Kesehatan Anak Untuk Perawat, Ikip Semarang, Semarang.<br /><br />Dr. Sidhartani Zain. (1991), Penatalaksanaan Kegawatan Neonatus, Universitas Diponegoro Semarang, Semarang.<br /><br />Marilynn. E. Doenges, (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta.SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-64735005388424142582009-01-15T02:01:00.001-08:002009-01-15T02:01:55.019-08:00GAGAL GINJAL AKUTDEFINISI<br />Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinis yang di tandai dengan penurunan mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) laju filtrasi glomerulus (LFG), di sertai akumulasi nitrogen sisa metabolisme (ureum dan kreatinin).<br /><br />GAGAL GINJAL AKUT PRARENAL<br />GGA prarenal atau azotemia prarenal atau di sebut juga sebagai GGA fungsional, di sebabkan oleh ferfusi glomerulus yang abnormal sehingga menurunkan LFG.<br /><br />ETIOLOGI<br />Hipovolemia di sebabkan oleh;<br />• Kehilangan darah /plasma : perdarahan, luka baker.<br />• Kehilangan cairan melalui gastrointestinal, kulit, ginjal (diuretik, penyakit ginjal lain), pernafasan, pembedahan.<br />• Redistribusi dari intravaskuler ke ekstravaskuler (hipoalbuminemia, sindrom kompartemen ketiga, pankreatitis, peritonitis, kerusakan otot yang luas, sindrom distres pernafasan).<br />• Kekurangan asupan cairan.<br /><br />Vasodilatasi sistemik;<br />• Sepsis<br />• Sirosis hati<br />• Anestesi/blokade ganglion<br />• Reaksi anafilaksis<br />• Vasodilatasi oleh obat<br /><br />Penurunan curah jantung/kegagalan pompa jantung;<br />• Renjatan kardiogenik,infark jantung<br />• Gagal jantung kongestif (disfungsi miokard, katup jantung)<br />• Tamponade jantung<br />• Distrimia<br />• Emboli paru<br /><br />Kegagalan autoregulasi<br />• Vasokontriksi praglomerulus oleh karena sepsis, hiperkalsemia, sindrom hepatorenal, obat-obat seperti inflamasi non steroid (AINS), adrenalin, noradrenalin, siklosporin, dan ampoterisin B.<br />• Vasodilatasi pascaglomerulus: di sebabkan oleh obat-obat penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE), dan antagonis reseptor AT1 angiotensin.<br /><br />PATOGENESIS<br />Obat golongan AINS dapat menyebabkan GGA pada sebagian orang yang aliran darah ginjal dan LFG di pertahankan atau memerlukan prostaglandin, keadaan ini sering di temukan pada hipovolemia, gagal jantung, sirosis, dan sepsis, serta sebagian pasien sindrom nefrotik.<br />Penghambat ACE dapat menimbulkan GGA prarenal pada sebagian pasien yang LFG-nya di pertahankan melalui vasokontriksi vasoeferen yang dimediasi oleh angiotensin-II.<br /><br /><br />GAGAL GINJAL AKUT RENAL<br />Banyak penyebab gagal ginjal akut renal yang di sebabkan langsung atau di eksaserbasi oleh berkurangnya aliran darah ginjal ke seluruh bagian atau sebagian ginjal. Penyebab kerusakan iskemik ini di sebabkan keadaan prarenal yang tidak teratasi. Penyebab lain adalah penyempitan atau stenosis arteri renalis sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh ginjal.<br />Penyakit lain yang lebih komplek seperti eklamsia, rejeksi alograf, sepsis, sindrom hepatorenal juga merupakan penyakit iskemia ginjal.<br />Nekrosis Tubular Akut<br />Kebanyakan pasien dengan NTA tidak di biopsi, dan diagnosis di tegakkan atas dasar gejala dan perjalanan klinis saja. Pada NTA ini ternyata di dapatkan kontribusi perubuhan sel yang subletal seperti kehilangan lapisan brush border, membran plasma, polaritas membran, dan terlepasnya sel dari membran basalis, sehingga menyebabkan perubahan fungsional.<br /><br />Nekrosis Tubular Akut Akibat Toksin<br />Umumnya kerusakan terjadi akibat kerusakan tubulus, akan tetapi dapat juga di sertai dengan gangguan hemodinamik sistemik maupun mekanisme autoregulasi ginjal.<br />Toksin Endogen: Mioglobulinuria, Hemoglobulinuria, Protein Mieloma<br />Mioglobulin adalah protein yang mengandung hemo (17kDa), di filtrasi glomerulus. Pada rabdomiolisis tubulus proksimal tak mampu meresorpsi protein ini sehingga mioglobulin menyumbat tubulus yang lebih distal (obstructing tubular casts). Selain itu mioglobulin memprovokasi terjadinya vasokontriksi oleh karena dapat mengikat nitrik oksida dan oleh karena rabdomiolisis luas yang menyebabkan penggumpalan cairan (kompartemen ke-3), sehingga terjadi hipovolemia.<br /><br />Hemoglobulinuria<br />Hemoglobulin tak setoksik mioglobulin, dan jarang menyebabkan GGA kecuali apabila terjadi hemolisis intravaskular yang luas.<br /><br />Light chains<br />GGA sering merupakan gejala mieloma, protein ini di filtrasi melalui glomerulus dan pada kosentrasi tertentu mencapai tubulus distal dan di situ akan terbentuk silinder yang menyumbat (cast nephrophaty).<br /><br />Nefrotoksik Kontras<br />Prediktor dari GGA akibat kontras adalah usi lanjut, gangguan fungsi ginjal, diabetes dan miolema. Penurunan fungsi berlangsung selama 3-5 yang di mulai saat terpajan. Zat kontras dapat langsung nmerusak sel tubulus melalui efek hiperosmolar, memprovokasi produksi oksigen radikal bebas, dan juga menstimulasi vasokontriksi intrarenal. Pengelolaan kejadian ini hanya dengan cara pencegahan, 12 jam seelum tindakan di lakukan hidrasi dengan salin.<br /><br />NEKROSIS KORTIKAL AKUT<br />Pada keadaan ini terjadi nekrosis pada daerah korteks ginjal yang ekstensif dan gagal ginjal tak dapat pulih lagi.<br />Terjadinya NKA tidak ada hubungannya dengan lama beratnya renjatan akan tetapi lebih berkaitan dengan tipe renjatannya. Prediktor NKA antara lain adalah endotoksinemia, koagulasi intravaskular diseminata (KID). Anak-anak lebih sering kemungkinannya di banding dewasa, seperti pad gastrointestinal berat, atau dengan peritonitis, sepsis.<br /><br />GAGAL GINJAL AKUT PASCARENAL<br />Keadaan pascarenal adalah suatu keadaa dimana pembentukan urin cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat.obstruksi aliran ini akan mengakibatkan kegagalan filtrasi glomerulus dan transfor tubulus sehingga dapat mengakibatkan kerusakan yang permanen, tergantung berat dan lamanya obstruksi. Begatu terjadi hambatan aliran urin, terjadi kenaikan yang segara tekanan hidraulik tubulus proksimal, yang kemmudian di kompensasi dengan vasodilatasi arteriol eferen ginjal yang di mediasi oleh produksi prostaglandin; prostaksiklin dan prostaglandin E2.<br /><br />DIAGNOSIS GAGAL GINJAL AKUT<br />Diagnosis GGA pada tahap dini hanya dapat di tegakkan apabila ada rasa curiga terhadap adanya GGA.hanya sedikit psien yang dapat menjelaskan adanyakelainan pada jumlan urin, warna keruh atau tidak, dsb.<br />Untuk mendiagnosis GGA di perlukan pemeriksaan yang berulang-ulang fungsi yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus.<br /><br />DIAGNOSIS PENYEBAB GGA<br />Anamnesis<br />Pada GGA perlu di perhatikan betul banyaknya asupan cairan (input), kehilangan cairan (output) melalui: urin, muntah, diare, keringat yang berlebih,dll, serta pencatatan berat badan pasien. Perlu di perhatikan kemungkinan kehilangan cairan ke ekstravaskular (redistribusi) seperti pada peritonitis, asetis, ileus paralitik, edema anasarka, trauma luas (kerusakan otot atau crush syndrome). Riwayat penyakit jantung, gangguan hemodinamik, adanya penyakit sirosis hati, hipoalbuminemia, alergi yang mengakibatkan penurunan volume efektif perlu selaludi tanyakan.<br /><br />Pemeriksaan Fisis<br />Ada 3 hal penting yang harus di dapatkan pada pemeriksaan fisis pasien dengan GGA.<br />1. penentuan status volume sirkulasi<br />2. apakah ada tanda-tanda obstruksi saluran kemih<br />3. adakah tanda-tanda penyakit sistemik yang mungkin menyebabkan gagal ginjal<br />Tabel 2. evaluasi klinis intravaskular<br />Tanda Klinis Deplesi Cairan<br />1. tekanan vena jugular rendah<br />2. hipotensi; tekanan darah turun lebih dari 10 mmHg pada perubahan posisi (baring-duduk)<br />3. vena perifer kolaps dan perifer teraba dingin (hidung, jari-jari tangan, kaki)<br />Tanda Klinis Kelebihan Cairan<br />1. tekanan vena jugularis tinggi<br />2. terdengar suara gallop<br />3. hipertensi, edema perifer, pembengkakan hati, ronki di paru<br />Pada pemeriksaan fisis perlu di lakukan palpasi, perkusidaerah suprasifisis mencari adanya pembesaran kandung kemih, yang kemudian konfirmasi dengan pemasangan kateter.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Analisis Urin<br />Berat jenis urin yang tinggi lebih dari 1.020 menunjukkan prarenal, GN akut awal, sindrom hepatorenal, dan keadaan lain yang menurunkan perfusi ginjal. Berat jenis isosmolal (1.010) terdapat pada NTA, pascarenal dan penyakit intertisial (tubulointertisial). Pada keadaan ini BJ urin dapat meningkat kalaudalam urin terdapat banyak protein, glukosa, manitol, atau kontras radiologik.<br />Gambaran yangkhas pada NTA adalah urin yang berwarna kecoklatan dengan silinder mengandung sel tubulus, dan silinder yang besar (coarsely granulat broad casts).<br />Adanya kristal urat pada GGA menunjukkan adanya nefropati asam urat yang sering di dapat pada sindrom lisis tumor setelah pengobatan leukimia, limfoma. Kristal oksalat terlihat pada GGA akibat etilen glikol yang umumnya di akibatkan percobaan bunuh diri.<br /><br />Penentuan Indikator Urin<br />Pada GGA prarenal aliran urin lambat sehingga lebih banyak ureum yang di absorpsihal ini menyebabkan perbandingan ureum/kretinin dalam darah meningkat.<br /><br />Pemeriksaan Pencitraan<br />Pada GGA pemeriksaan USG menjadi pilihan utama untuk memperlihatkan anatomiginjal, dapat di peroleh informasi mengenai besar ginjal, ada tau tidaknya batu ginjal dan ada atau tidaknya hidronefrosis. Pemeriksaan USG juga dapat menentukan apakah gangguan fungi ginjal ini sudah terjadi lama (GGK), yaitu apabila di temukan gambaran ginjal yang sudah kecil.<br /><br />Pemeriksaan Biopsi Ginjal dan Serologi<br />Indikasi yang memerlukan biopsi adalah apabila penyebab GGA tak jelas atau berlangsung lama, atau terdapat tanda glomerulonefrosis atau nefritis intertisisl.<br /><br />PENGELOLAAN GGA<br />Prinsip pengelolaannya di mulai dengan mengidentifikasi pasien yang berisiko GGA (sebagai tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA, mempertahankan hemoestatis; mempertahankan euvolemia, keseimbangan cairandan elektrolit, mencegah komplikasimetabolik seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat –obat yang di pakai.<br /><br />Pengelolaan medis GGA<br />Pada GGA terdapat 2 masalah yang sering di dapatkan yang mengancam jiwa yaitu edema paru dan hiperkalemia.<br /><br />Edema paru<br />Keadaan ini terjadi akibat ginjal tak dapat mensekresi urin, garam dalam jumlah yang cukup. Posisi pasien setengah duduk agar cairan dalam paru dapat didistribusi ke vaskular sistemik, di pasang oksigen, dan di berikan diuretik kuat (furosemid inj.).<br /><br />Hiperkalemia<br />Mula-mula di berikan kalsium intravena (Ca glukonat) 10% sebanyak 10 ml yang dapat di ulangi sampai terjadi perubahan gelombang T. Belum jelas cara kerjanya, kadar kalium tak berubah, kerja obat ini pada jatung berfungsi untuk menstabilkan membran. Pengaruh obat ini hanya sekitar 20-60 menit.<br />Pemberian infus glukosa dan insulin (50 ml glukosa 50% dengan 10 U insulin kerja cepat) selama 15 menit dapat menurunkan kalium 1-2mEq/L dalam waktu 30-60 menit. Insulin bekerja dengan menstimulasi pompa N-K-ATPase pada otot skelet dan jantung, hati dan lemak, memasukkan kalium kedalam sel. Glukosa di tambahkan guna mencegah hipoglikemia.<br />Obat golongan agonis beta seperti salbutamol intravena (0,5mg dalam 15 menit) atau inhalasi nebuliser (10 atau 20mg) dapat menurunkan 1mEq/L. Obat ini bekerja dengan mengaktivasi pompa Na-K-ATPase. Pemberian sodium bikarbonat walaupun dapat menurukan kalium tidak begitu di anjurkan oleh karena menambah jumlah natrium, dapat menimbulkan iritasi, menurunkan kadar kalsium sehingga dapat memicu kejang. Tetapi bermanfaatapbila ada asidosis atau hipotensi.<br /><br />Pemberian diuretik<br />Pada GGA sering di berikan diuretik golongan loop yang sering bermanfaat pada keadaan tertentu. Pemberian diuretik furosemid mencegah reabsorpsi Na sehingga mengurangi metabolisme sel tubulus, selain itu juga di harapkan aliran urin dapat membersihkan endapan, silinder sehingga menghasilkan obstruksi, selain itu furosemid dapat mengurangi masa oliguri.<br />Dosis yang di berikan amat bervariasi di mulai dengan dosis konvensional 40 mg intravena, kemudian apabila tidak ada respons kenaikan bertahap dengan dosis tinggi 200 mg setiap jam, selanjutnya infus 10-40 mg/jam. Pada tahap lebih lanjut apabila belum ada respons dapat di berikan furosemid dalam albumin yang di berikan secara intravena selama 30 menit dengan dosis yang sama atau bersama dengan HCT.<br /><br />Nutrisi<br />Pada GGA kebutuhan nutrisi di sesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya.<br />GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yag amat kompleks, tidak hanya mengatur air, asam-basa, elektrolit, tetapi juga asam amino/protein, karbohidrat, dan lemak.<br /><br />Dialisis atau Pengobatan Pengganti Ginjal<br />Indikasi yang mutlak untuk dialisis adalah terdapatnya sindrom uremia dan terdapatnya kegawatan yang mengancam jiwa yaitu hipervolemia (edema paru), hiperkalemia, atau asidosis berat yang resisten terhadap pengobatan konservatif.<br />Pengobatan pengganti ginjal secara kontinyu dengan CAVH (continous arterivenous hemofiltration) yang tidak memerlukan mesin pompa sederhana. CAVH dan CVVH berdasarkan prinsip pengeluaran cairan bersama solutnya melalui membran semipermeabel atau hemofilter oleh karena perbedaan tekanan (convective clearance).SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-66786520138018169742008-10-28T19:43:00.000-07:002008-10-28T19:44:18.425-07:00Tata laksana pemberian infusPemberian Cairan Infus Intravena (Intravenous Fluids)<br /><br />Jika memungkinkan, jalur enteral digunakan untuk cairan. Panduan ini hanya digunakan pada anak yang tidak dapat menerima cairan melalui mulut.<br /><br />Panduan ini berlaku untuk anak di atas usia neonatus (satu bulan).<br /><br />Penggunaan terapi cairan intravena (intravenous fluid therapy) membutuhkan peresepan yang tepat dan pengawasan (monitoring) ketat.<br /><br />Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.<br /><br />Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah:<br /><br /> * Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)<br /> * Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)<br /> * Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)<br /> * “Serangan panas” (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi)<br /> * Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi)<br /> * Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh)<br /> * Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)<br /><br />Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena<br /><br />Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain:<br /><br /> * Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan, dan lamanya perawatan.<br /> * Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.<br /> * Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).<br /> * Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak—obat masuk ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.<br /> * Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.<br /><br />Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral Venous Cannulation)<br /><br /> * Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).<br /> * Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas.<br /> * Pemberian kantong darah dan produk darah.<br /> * Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).<br /> * Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)<br /> * Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.<br /><br />Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah Vena<br /><br /> * Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.<br /> * Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).<br /> * Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).<br /><br />Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus:<br /><br /> * Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah.<br /> * Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.<br /> * Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.<br /> * Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.<br /><br />Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus:<br /><br /> * Rasa perih/sakit<br /> * Reaksi alergi<br /><br />Jenis Cairan Infus<br /><br /> * Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.<br /> * Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).<br /> * Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.<br /><br />Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:<br /><br /> * Kristaloid: bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.<br /> * Koloid: ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.<br /><br />Pemberian Cairan Infus pada Anak<br /><br />Berapa Banyak Cairan yang Dibutuhkan Anak Sehat?<br /><br />Anak sehat dengan asupan cairan normal, tanpa memperhitungkan kebutuhan cairan yang masuk melalui mulut, membutuhkan sejumlah cairan yang disebut dengan “maintenance”.<br /><br />Cairan maintenance adalah volume (jumlah) asupan cairan harian yang menggantikan “insensible loss” (kehilangan cairan tubuh yang tak terlihat, misalnya melalui keringat yang menguap, uap air dari hembusan napas dalam hidung, dan dari feses/tinja), ditambah ekskresi/pembuangan harian kelebihan zat terlarut (urea, kreatinin, elektrolit, dll) dalam urin/air seni yang osmolaritasnya/kepekatannya sama dengan plasma darah.<br /><br />Kebutuhan cairan maintenance anak berkurang secara proporsional seiring meningkatnya usia (dan berat badan). Perhitungan berikut memperkirakan kebutuhan cairan maintenance anak sehat berdasarkan berat bdan dalam kilogram (kg).<br /><br />Cairan yang digunakan untuk infus maintenance anak sehat dengan asupan cairan normal adalah:<br />NaCl 0.45% dengan Dekstrosa 5% + 20mmol KCl/liter<br /><br />Penyalahgunaan cairan infus yang banyak terjadi adalah dalam penanganan diare (gastroenteritis) akut pada anak.<br /><br />Pemberian cairan infus banyak disalahgunakan (overused) di Unit Gawat Darurat (UGD) karena persepsi yang salah bahwa jenis rehidrasi ini lebih cepat menangani diare, dan mengurangi lama perawatan di RS.5<br /><br />Gastroenteritis akut disebabkan oleh infeksi pada saluran cerna (gastrointestinal), terutama oleh virus, ditandai adanya diare dengan atau tanpa mual, muntah, demam, dan nyeri perut. Prinsip utama penatalaksanaan gastroenteritis akut adalah menyediakan cairan untuk mencegah dan menangani dehidrasi.6<br /><br />Penyakit ini umumnya sembuh dengan sendirinya (self-limiting), namun jika tidak ditangani dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit yang bisa mengancam nyawa. Dehidrasi yang diakibatkan sering membuat anak dirawat di RS.6<br /><br />Terapi cairan yang diberikan harus mempertimbangkan tiga komponen: rehidrasi (mengembalikan cairan tubuh), mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, dan “maintenance”.3 Terapi cairan ini berdasarkan penilaian derajat dehidrasi yang terjadi.<br /><br />Penilaian Derajat Dehidrasi (dinyatakan dalam persentase kehilangan berat badan)3<br /><br />Tanpa Dehidrasi:<br /><br /> * Diare berlangsung, namun produksi urin normal, maka makan/minum dan menyusui diteruskan sesuai permintaan anak (merasa haus).<br /><br />Dehidrasi Ringan (<br /><br /> * Kotoran cair (watery diarrhea)<br /> * Produksi urin (air seni) berkurang<br /> * Senantiasa merasa haus<br /> * Permukaan lapisan lendir (bibir, lidah) agak kering<br /><br />Dehidrasi Sedang (5-10%)<br /><br /> * Turgor (kekenyalan) kulit berkurang<br /> * Mata cekung<br /> * Permukaan lapisan lendir sangat kering<br /> * Ubun-ubun depan mencekung<br /><br />Dehidrasi Berat (>10%)<br /><br />Tanda-tanda dehidrasi sedang ditambah:<br /><br /> * Denyut nadi cepat dan isinya kurang (hipotensi/tekanan darah menurun)<br /> * Ekstremitas (lengan dan tungkai) teraba dingin<br /> * Oligo-anuria (produksi urin sangat sedikit, kadang tidak ada), sampai koma<br /><br />Penggantian Cairan pada Anak dengan Gastroenteritis<br /><br />Derajat dehidrasi (persentase Cairan Rehidrasi Oral (CRO) Cairan intravena/infus<br />kehilangan berat badan/BB)<br />Ringan (< 5%) 50 ml/kg BB dalam 3 – 4 jam Tidak direkomendasikan<br />Sedang (5 - 10%) 100 ml/kg BB dalam 3 – 4 jam Tidak direkomendasikan<br />Berat ( > 10%) 100 – 150 ml/kg BB dalam 20 ml /kg, Bolus dalam<br />3 – 4 jam (jika masih mampu satu jam (NaCl atau RL)<br />minum CRO)<br />Kehilangan BB berlanjut 10 ml/kg setiap habis BAB 10 ml/kg setiap habis BAB<br />atau muntah atau muntah<br /><br />American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian CRO dalam penatalaksanaan diare (gastroenteritis) pada anak dengan dehidrasi derajat ringan-sedang. Penggunaan cairan infus hanya dibatasi pada anak dengan dehidrasi berat, syok, dan ketidakmampuan minum lewat mulut.5<br /><br />Terapi rehidrasi (pemberian cairan) oral (oral rehydration therapy) seperti oralit dan Pedialyte® terbukti sama efektifnya dengan cairan infus pada diare (gastroenteritis) dengan dehidrasi sedang.4 Keuntungan tambahan lain adalah waktu yang dibutuhkan untuk memberikan terapi CRO ini lebih cepat dibandingkan dengan harus memasang infus terlebih dahulu di Unit Gawat Darurat (UGD) RS. Bahkan dalam analisis penatalaksanaan, pasien yang diterapi dengan CRO sedikit yang masuk perawatan RS. Hasil penelitian ini meyarankan cairan rehidrasi oral menjadi terapi pertama pada anak diare di bawah 3 tahun dengan dehidrasi sedang.4<br /><br />Pada anak dengan muntah dan diare akut, apakah pemberian cairan melalui infus (intravenous fluids) mempercepat pemulihan dibandingkan dengan cairan rehidrasi oral (oral rehydration therapy/solution/CRO/oralit)?<br /><br />Ternyata pemberian cairan infus tidak mempersingkat lamanya penyakit, dan bahkan mampu menimbulkan efek samping dibandingkan pemberian oralit.5<br /><br />Sebuah penelitian meta analisis internasional yang membandingkan CRO (oralit) dengan cairan intravena/infus pada anak dengan derajat dehidrasi ringan sampai berat menunjukkan bahwa CRO mengurangi lamanya perawatan di RS sampai 29 jam.5 Sebuah studi lain juga menyimpulkan CRO menangani dehidrasi (kekurangan cairan tubuh) dan asidosis (keasaman darah meningkat) lebih cepat dan aman dibandingkan cairan infus.5 Penelitian lain menunjukkan keuntungan lain oralit pada diare dengan dehidrasi ringan-sedang adalah mengurangi lamanya diare, meningkatkan (mengembalikan) berat badan anak, dan efek samping lebih minimal dibandingkan cairan infus.6<br /><br />Pengawasan (Monitoring)<br /><br /> * Semua anak yang mendapatkan cairan infus sebaiknya diukur berat badannya, 6 –8 jam setelah pemberian cairan, dan kemudian sekali sehari.<br /> * Semua anak yang mendapatkan cairan infus sebaiknya diukur kadar elektrolit dan glukosa serum sebelum pemasangan infus, dan 24 jam setelahnya.<br /> * Bagi anak yang tampak sakit, periksa kadar elektrolit dan glukosa 4 – 6 jam setelah pemasangan, dan sekali sehari sesudahnya.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /> * Intravenous Fluids. Clinical Practice Guidelines. Royal Children’s Hospital Melbourne. http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm<br /> * C Waitt, P Waitt, M Pirmohamed. Intravenous Therapy. Postgrad. Med. J. 2004; 80; 1-6.<br /> * Nutrition Committee, Canadian Paediatric Society. Oral Rehydration Therapy and Early Refeeding in the Management of Childhood Gastroenteritis. The Canadian Journal of Paediatrics 1994; 1(5): 160-164.<br /> * Spandorfer PR, Alessandrini EA, Joffe MD, Localio R, Shaw KN. Oral Versus Intravenous Rehydration of Moderately Dehydrated Children: A Randomized, Controlled Trial. Pediatrics Vol. 115 No. 2 February 2005. American Academy of Pediatrics.<br /> * Banks JB, Meadows S. Intravenous Fluids for Children with Gastroenteritis. Clinical Inquiries, American Family Physician, January 1 2005. American Academy of Family Physicians.<br /> * D Payne J, Elliot E. Gastroenteritis in Children. Clin Evid 2004; 12: 1-3. BMJ Publishing Group Ltd 2004.<br /> * Eliason BC, Lewan RB. Gastroenteritis in Children: Principles of Diagnosis and Treatment. American Family Physician Nov 15 1998. American Academy of Family Physicians.<br /> * Revision of Intravenous Infusion<br /> * Martin S. Intravenous Therapy. Nova Southeastern University PA Program.SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-45036878823370060832008-10-09T02:05:00.001-07:002008-10-09T02:05:52.520-07:00OBAT DIURETIKDiuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dalam air.<br /><br />Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel kembali menjadi normal.<br /><br />Diuretik dapat dibagi menjadi 5 golongan yaitu :<br />1. Diuretik osmotik<br />2. diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase<br />3. diuretik golongan tiazid<br />4. diuretik hemat kalium<br />5. diuretik kuat<br /><br /> 1. Diuretik osmotik<br /> Diuretik osmotik mempunyai tempat kerja :<br /> 1. Tubuli proksimal<br /> Diuretik osmotik ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya.<br /> 2. Ansa enle<br /> Diuretik osmotik ini bekerja pada ansa henle dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan air oleh karena hipertonisitas daerah medula menurun.<br /> 3. Duktus Koligentes<br /> Diuretik osmotik ini bekerja pada Duktus Koligentes dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan air akibat adanya papillary wash out, kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain.<br /> Istilah diuretik osmotik biasanya dipakaiuntuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oeh ginjal. Contoh dari diuretik osmotik adalah ; manitol, urea, gliserin dan isisorbid.<br /> 2. Diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase<br /> Diuretik ini bekerja pada tubuli Proksimal dengan cara menghambat reabsorpsi bikarbonat.<br /> Yang termasuk golongan diuretik ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan meatzolamid.<br /> 3. Diuretik golongan tiazid<br /> Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli distal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium klorida.<br /> Obat-obat diuretik yang termsuk golongan ini adalah ; klorotiazid, hidroklorotiazid, hidroflumetiazid, bendroflumetiazid, politiazid, benztiazid, siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon, dan indapamid.<br /> 4. Diuretik hemat kalium<br /> Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus koligentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif (sipironolakton) atau secara langsung (triamteren dan amilorida).<br /> 5. Diuretik kuat<br /> Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat transport elektrolit natrium, kalium, dan klorida.<br /> Yang termasuk diuretik kuat adalah ; asam etakrinat, furosemid dan bumetamid.<br /><br />Penggunaan klinik diuretik<br /><br /> 1. Hipertensi<br /> Diuretik golongan Tiazid, merupakan pilihan utama step 1, pada sebagian besar penderita.<br /> Diuretik kuat (biasanya furosemid), digunakan bila terdapat gangguan fungsi ginjal atau bila diperlukan efek diuretik yang segera.<br /> Diuretik hemat kalium, digunakan bersama tiazid atau diuretik kuat, bila ada bahaya hipokalemia.<br /> 2. Payah jantung kronik kongestif<br /> Diuretik golongan tiazid, digunakann bila fungsi ginjal normal.<br /> Diuretik kuat biasanya furosemid, terutama bermanfaat pada penderita dengan gangguan fungsi ginja.<br /> Diuretik hemat kalium, digunakan bersama tiazid atau diuretik kuat bila ada bahaya hipokalemia.<br /> 3. Udem paru akut<br /> Biasanya menggunakan diuretik kuat (furosemid)<br /> 4. Sindrom nefrotik<br /> Biasanya digunakan tiazid atau diuretik kuat bersama dengan spironolakton.<br /> 5. Payah ginjal akut<br /> Manitol dan/atau furosemid, bila diuresis berhasil, volume cairan tubuh yang hilang harus diganti dengan hati-hati.<br /> 6. Penyakit hati kronik<br /> spironolakton (sendiri atau bersama tiazid atau diuretik kuat).<br /> 7. Udem otak<br /> Diuretik osmotik<br /> 8. Hiperklasemia<br /> Diuretik furosemid, diberikan bersama infus NaCl hipertonis.<br /> 9. Batu ginjal<br /> Diuretik tiazid<br /> 10. Diabetes insipidus<br /> Diuretik golongan tiazid disertai dengan diet rendah garam<br /> 11. Open angle glaucoma<br /> Diuretik asetazolamid digunakan untuk jangka panjang.<br /> 12. Acute angle closure glaucoma<br /> Diuretik osmotik atau asetazolamid digunakan prabedah.<br /> Untuk pemilihan obat Diuretik a yang tepat ada baiknya anda harus periksakan diri dan konsultasi ke dokter.<br /><br />Di apotik online medicastore anda dapat mencari obat diuretik dengan merk yang berbeda dengan isi yang sama secara mudah dengan mengetikkan di search engine medicastore. Sehingga anda dapat memilih dan beli obat diuretik sesuai dengan kebutuhan anda.SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-42904100154196834562008-10-09T02:01:00.000-07:002008-10-09T02:05:10.618-07:00OBAT KARDIOVASKULARObat kardiovaskular atau obat jantung dan pembuluh darah terbagi dari 16 golongan yaitu :<br /><br /> 1. Obat jantung<br /> Obat jantung biasanya digunakan untuk gagal jantung dan aritmia. Gagal Jantung adalah suatu keadaan yang serius, dimana jumlah darah yang dipompa oleh jantung setiap menitnya (cardiac output, curah jantung) tidak mampu memenuhi kebutuhan normal tubuh akan oksigen dan zat-zat makanan.<br /><br /> 2. Obat antiangina<br /> Obat kardiovaskular golongan antiangina digunakan untuk permasalahan jantung yang berupa nyeri dada sementara atau suatu perasaan tertekan, yang terjadi jika otot jantung mengalami kekurangan oksigen yang sering disebut Angina (angina pektoris).<br /><br /> 3. Obat kardiovaskular golongan ACE inhibitor<br /> Obat kardiovaskular golongan ACE inhibitor, beta bloker, angiotensin II digunakan untuk menurunkan tekanan darah yang tinggi dan biasanya dikombinasi dengan diuretik. Untuk mengurangi penimbunan cairan yang akan menurunkan jumlah darah yang masuk ke jantung sehingga mengurangi beban kerja jantung.<br /><br /> 4. Obat kardiovaskular golongan beta bloker<br /> 5. Obat kardiovaskular golongan antagonis kalsium)<br /> Obat kardiovaskular golongan Antagonis kalsium digunakan untuk menurunkan tekanan darah yang tinggi dan biasanya dikombinasi dengan beta bloker.<br /><br /> 6. Obat kardiovaskular golongan antagonis angiotensin II & kombinasinya<br /><br /> 7. Obat tekanan darah tinggi/antihipertensi golongan lain<br /> Obat kardiovaskular golongan antihipertensi golongan lain biasa dalam bentuk kombinasi dari satu sediaan obat.<br /><br /> 8. Obat kardiovaskular golongan diuretik<br /><br /> 9. Obat kardiovaskular golongan vasodilator & aktivator serebral<br /> Obat vasodilator adalah obat yang digunakan untuk mengurangi vasokontriksi (tekanan pada pembuluh darah) yang sering terjadi penyakit jantung dan tekana darah tinggi<br /><br /> 10. Obat kardiovaskular golongan vasokontriktor<br /> Obat vasokontriksi mempunyai efek kebalikan dari obat vasodilator biasanya digunakan untuk penderita hipotensi (tekanan darah yang rendah).<br /><br /> 11. Obat migren<br /> Sakit Kepala Migren adalah nyeri berdenyut hebat dan berulang, yang biasanya mengenai salah satu sisi kepala tetapi kadang mengenai kedua sisi kepala. Migren terjadi jika arteri yang menuju ke otak menjadi sempit (konstriksi, mengkerut) dan kemudian melebar (dilatasi), yang akan mengaktifkan reseptor nyeri di dekatnya. Untuk mengatasi digunakan obat migren.<br /><br /> 12. Obat kardiovaskular golongan hemostatik<br /> Obat kardiovaskular golongan hemostatik digunakan untuk mengurangi atau menghentikan terjadinya pendarahan pada semua pembuluh darah di tubuh.<br /><br /> 13. Obat kardiovaskular golongan antikoagulan, trombolitik & fibrinolitik<br /> Obat kardiovaskular golongan antikoagulan, trombolitik & fibrinolitik digunakan untuk memperlancar peredaran darah dengan cara masing-masing. Antikoagulan berfungsi dengan cara menghambat pembentukan atau menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan darah. Trombolitik melarutkan trombus yang sudah terbentuk, sedangkan fibrinolitik melarutkan fibrin yang sudah terbentuk pada proses pembekuan darah.<br /><br /> 14. Obat varises & preparat flebitis<br /><br /> 15. Obat kardiovaskular golongan hemorheologikal<br /><br /> 16. Obat hemotopoietik<br /> Obat kardiovaskular golongan hemotopoeitik digunakan pada penderita anemia karena gagal ginjal.<br /><br />Untuk pemilihan obat kardiovaskular yang tepat ada baiknya anda harus periksakan diri dan konsultasi kedokter spesialis jantung.<br /><br />Di apotik online medicastore anda dapat mencari obat kardiovaskular dengan merk yang berbeda dengan isi yang sama secara mudah dengan mengetikkan di search engine medicastore. Sehingga anda dapat memilih dan beli obat kardiovaskular sesuai dengan kebutuhan anda.SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-79803704205812047592008-09-10T17:30:00.002-07:002008-09-10T17:31:07.824-07:00DIABETES MELLITUSA. Pengertian<br />Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).<br />Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).<br /><br />B. Klasifikasi<br />Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :<br />1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)<br />2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)<br />3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya<br />4. Diabetes mellitus gestasional (GDM)<br /><br />C. Etiologi<br />1. Diabetes tipe I:<br />a. Faktor genetik<br />Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.<br />b. Faktor-faktor imunologi<br />Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.<br />c. Faktor lingkungan<br />Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.<br />2. Diabetes Tipe II<br />Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.<br />Faktor-faktor resiko :<br />a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)<br />b. Obesitas<br />c. Riwayat keluarga<br /><br />D. Patofisiologi/Pathways<br /><br />E. Tanda dan Gejala<br />Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.<br />Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :<br />1. Katarak<br />2. Glaukoma<br />3. Retinopati<br />4. Gatal seluruh badan<br />5. Pruritus Vulvae<br />6. Infeksi bakteri kulit<br />7. Infeksi jamur di kulit<br />8. Dermatopati<br />9. Neuropati perifer<br />10. Neuropati viseral<br />11. Amiotropi<br />12. Ulkus Neurotropik<br />13. Penyakit ginjal<br />14. Penyakit pembuluh darah perifer<br />15. Penyakit koroner<br />16. Penyakit pembuluh darah otak<br />17. Hipertensi<br />Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.<br />Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.<br />Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas.<br />F. Pemeriksaan Penunjang<br />1. Glukosa darah sewaktu<br />2. Kadar glukosa darah puasa<br />3. Tes toleransi glukosa<br />Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)<br />Bukan DM Belum pasti DM DM<br />Kadar glukosa darah sewaktu<br />- Plasma vena<br />- Darah kapiler<br />Kadar glukosa darah puasa<br />- Plasma vena<br />- Darah kapiler<br /><br />< 100<br /><80<br /><br /><br /><110<br /><90<br /><br />100-200<br />80-200<br /><br /><br />110-120<br />90-110<br /><br />>200<br />>200<br /><br /><br />>126<br />>110<br />Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :<br />1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)<br />2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)<br />3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl<br /><br />G. Penatalaksanaan<br />Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.<br />Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :<br />1. Diet<br />2. Latihan<br />3. Pemantauan<br />4. Terapi (jika diperlukan)<br />5. Pendidikan<br /><br />H. Pengkajian<br />? Riwayat Kesehatan Keluarga<br />Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?<br />? Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya<br />Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.<br />? Aktivitas/ Istirahat :<br />Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.<br /><br />? Sirkulasi<br />Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah<br />? Integritas Ego<br />Stress, ansietas<br />? Eliminasi<br />Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare<br />? Makanan / Cairan<br />Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.<br />? Neurosensori<br />Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.<br />? Nyeri / Kenyamanan<br />Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)<br />? Pernapasan<br />Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)<br />? Keamanan<br />Kulit kering, gatal, ulkus kulit.<br /><br />I. Masalah Keperawatan<br />1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan<br />2. Kekurangan volume cairan<br />3. Gangguan integritas kulit<br />4. Resiko terjadi injury<br /><br />J. Intervensi<br />1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.<br />Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi<br />Kriteria Hasil :<br />? Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat<br />? Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya<br />Intervensi :<br />? Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.<br />? Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.<br />? Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.<br />? Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.<br />? Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.<br />? Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.<br />? Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.<br />? Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.<br />? Kolaborasi dengan ahli diet.<br /><br />2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.<br />Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi<br />Kriteria Hasil :<br />Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.<br /><br />Intervensi :<br />? Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik<br />? Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul<br />? Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas<br />? Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa<br />? Pantau masukan dan pengeluaran<br />? Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung<br />? Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.<br />? Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur<br />? Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)<br /><br />3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer).<br />Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan.<br />Kriteria Hasil :<br />Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi<br />Intervensi :<br />? Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.<br />? Kaji tanda vital<br />? Kaji adanya nyeri<br />? Lakukan perawatan luka<br />? Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.<br />? Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.<br /><br />4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan<br />Tujuan : pasien tidak mengalami injury<br />Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury<br />Intervensi :<br />? Hindarkan lantai yang licin.<br />? Gunakan bed yang rendah.<br />? Orientasikan klien dengan ruangan.<br />? Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari<br />? Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.<br /><br />Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.<br /><br />Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.<br /><br />Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.<br /><br />Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.<br /><br />Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-3521917683390694882008-09-10T17:30:00.001-07:002008-09-10T17:30:36.982-07:00SECTIO CAESAREA DENGAN INDIKASI PANGGUL SEMPITI. Pengertian<br />Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim.<br /><br />II. Jenis – jenis operasi sectio caesarea<br />1. Abdomen (sectio caesarea abdominalis)<br />a. Sectio caesarea transperitonealis<br />? SC klasik atau corporal (dengan insisi memanjang pada corpus uteri)<br />Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.<br />Kelebihan :<br />? Mengeluarkan janin dengan cepat<br />? Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik<br />? Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal<br />Kekurangan<br />? Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealis yang baik<br />? Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan<br />? SC ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen bawah rahim)<br />Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmen bawah rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm<br />Kelebihan :<br />? Penjahitan luka lebih mudah<br />? Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik<br />? Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum<br />? Perdarahan tidak begitu banyak<br />? Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil<br />Kekurangan :<br />? Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat menyebabkan uteri uterine pecah sehingga mengakibatkan perdarahan banyak<br />? Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi<br />b. SC ektra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak membuka cavum abdominal<br />2. Vagina (section caesarea vaginalis)<br />Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai berikut :<br />1. Sayatan memanjang ( longitudinal )<br />2. Sayatan melintang ( Transversal )<br />3. Sayatan huruf T ( T insicion )<br />III. Indikasi<br />Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin, dengan pertimbangan hal-hal yang perlu tindakan SC proses persalinan normal lama/ kegagalan proses persalinan normal ( Dystasia )<br />? Fetal distress<br />? His lemah / melemah<br />? Janin dalam posisi sungsang atau melintang<br />? Bayi besar ( BBL ? 4,2 kg )<br />? Plasenta previa<br />? Kalainan letak<br />? Disproporsi cevalo-pelvik ( ketidakseimbangan antar ukuran kepala dan panggul )<br />? Rupture uteri mengancam<br />? Hydrocephalus<br />? Primi muda atau tua<br />? Partus dengan komplikasi<br />? Panggul sempit<br />? Problema plasenta<br /><br /><br />IV. Komplikasi<br />Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain :<br />1. Infeksi puerperal ( Nifas )<br />- Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari<br />- Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit kembung<br />- Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik<br />2. Perdarahan<br />- Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka<br />- Perdarahan pada plasenta bed<br />3. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila peritonealisasi terlalu tinggi<br />4. Kemungkinan rupture tinggi spontan pada kehamilan berikutnya<br /><br />V. POST PARTUM<br />A. DEFINISI PUERPERIUM / NIFAS<br />Adalah masa sesudah persalinan dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhirnya ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, masa nifas berlangsung selama ? 6 minggu.<br />(Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002)<br />adalah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. (Obstetri Fisiologi, 1983)<br />B. PERIODE<br />Masa nifas dibagi dalam 3 periode:<br />1. Early post partum<br />Dalam 24 jam pertama.<br />2. Immediate post partum<br />Minggu pertama post partum.<br />3. Late post partum<br />Minggu kedua sampai dengan minggu keenam.<br /><br />C. TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN<br />1. Menjaga kesehatan Ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologiknya.<br />2. Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya.<br />3. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawatan bayi sehat.<br />4. Memberikan pelayanan keluarga berencana.<br /><br />D. TANDA DAN GEJALA<br />1. Perubahan Fisik<br />a. Sistem Reproduksi<br />• Uterus<br />• Involusi : Kembalinya uterus ke kondisi normal setelah hamil.<br /><br />Proses ini dipercepat oleh rangsangan pada puting susu.<br />- Lochea<br />• Komposisi<br />Jaringan endometrial, darah dan limfe.<br />• Tahap<br />a. Rubra (merah) : 1-3 hari.<br />b. Serosa (pink kecoklatan)<br />c. Alba (kuning-putih) : 10-14 hari<br />Lochea terus keluar sampai 3 minggu.<br />• Bau normal seperti menstruasi, jumlah meningkat saat berdiri.<br />Jumlah keluaran rata-rata 240-270 ml.<br />- Siklus Menstruasi<br />Ibu menyusui paling awal 12 minggu rata-rata 18 minggu, untuk itu tidak menyusui akan kembali ke siklus normal.<br />- Ovulasi<br />Ada tidaknya tergantung tingkat proluktin. Ibu menyusui mulai ovulasi pada bulan ke-3 atau lebih.<br />Ibu tidak menyusui mulai pada minggu ke-6 s/d minggu ke-8. Ovulasi mungkin tidak terlambat, dibutuhkan salah satu jenis kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.<br />- Serviks<br />Segera setelah lahir terjadi edema, bentuk distensi untuk beberapa hari, struktur internal kembali dalam 2 minggu, struktur eksternal melebar dan tampak bercelah.<br />- Vagina<br />Nampak berugae kembali pada 3 minggu, kembali mendekati ukuran seperti tidak hamil, dalam 6 sampai 8 minggu, bentuk ramping lebar, produksi mukus normal dengan ovulasi.<br />- Perineum<br />• Episiotomi<br />Penyembuhan dalam 2 minggu.<br />• Laserasi<br />TK I : Kulit dan strukturnya dari permukaan s/d otot<br />TK II : Meluas sampai dengan otot perineal<br />TK III : Meluas sampai dengan otot spinkter<br />TK IV : melibatkan dinding anterior rektal<br />b. Payudara<br />Payudara membesar karena vaskularisasi dan engorgement (bengkak karena peningkatan prolaktin pada hari I-III). Pada payudara yang tidak disusui, engorgement akan berkurang dalam 2-3 hari, puting mudah erektil bila dirangsang. Pada ibu yang tidak menyusui akan mengecil pada 1-2 hari.<br />c. Sistem Endokrin<br />- Hormon Plasenta<br />HCG (-) pada minggu ke-3 post partum, progesteron plasma tidak terdeteksi dalam 72 jam post partum normal setelah siklus menstruasi.<br />- Hormon pituitari<br />Prolaktin serum meningkat terjadi pada 2 minggu pertama, menurun sampai tidak ada pada ibu tidak menyusui FSH, LH, tidak ditemukan pada minggu I post partum.<br />d. Sistem Kardiovaskuler<br />- Tanda-tanda vital<br />Tekanan darah sama saat bersalin, suhu meningkat karena dehidrasi pada awal post partum terjadi bradikardi.<br />- Volume darah<br />Menurun karena kehilangan darah dan kembali normal 3-4 minggu<br />Persalinan normal : 200 – 500 cc, sesaria : 600 – 800 cc.<br />- Perubahan hematologik<br />Ht meningkat, leukosit meningkat, neutrophil meningkat.<br />- Jantung<br />Kembali ke posisi normal, COP meningkat dan normal 2-3 minggu.<br />e. Sistem Respirasi<br />Fungsi paru kembali normal, RR : 16-24 x/menit, keseimbangan asam-basa kembali setelah 3 minggu post partum.<br />f. Sistem Gastrointestinal<br />- Mobilitas lambung menurun sehingga timbul konstipasi.<br />- Nafsu makan kembali normal.<br />- Kehilangan rata-rata berat badan 5,5 kg.<br />g. Sistem Urinaria<br />- Edema pada kandung kemih, urethra dan meatus urinarius terjadi karena trauma.<br />- Pada fungsi ginjal: proteinuria, diuresis mulai 12 jam.<br />- Fungsi kembali normal dalam 4 minggu.<br />h. Sistem Muskuloskeletal<br />Terjadi relaksasi pada otot abdomen karena terjadi tarikan saat hamil. Diastasis rekti 2-4 cm, kembali normal 6-8 minggu post partum.<br />i. Sistem Integumen<br />Hiperpigmentasi perlahan berkurang.<br />j. Sistem Imun<br />Rhesus incompability, diberikan anti RHO imunoglobin.<br /><br />VI. PANGGUL SEMPIT<br />Dalam Obstetri yang terpenting bukan panggul sempit secara anatomis melainkan panggul sempit secara fungsional artinya perbandingan antara kepala dan panggul<br />Kesempitan panggul dibagi sebagai berikut :<br />1. Kesempitan pintu atas panggul<br />2. kesempitan bidang bawah panggul<br />3. kesempitan pintu bawah panggul<br />4. kombinasi kesempitan pintu atas pangul, bidang tengah dan pintu bawah panggul.<br />? Kesempitan pintu atas panggul<br />Pintu atas panggul dianggap sempit kalau conjugata vera kurang dari 10 cm atau kalau diameter transversa kurang dari 12 cm<br />Conjugata vera dilalui oleh diameter biparietalis yang ± 9½ cm dan kadang-kadang mencapai 10 cm, maka sudah jelas bahwa conjugata vera yang kurang dari 10cm dapat menimbulkan kesulitan. Kesukaran bertambah lagi kalau kedua ukuran ialah diameter antara posterior maupun diameter transversa sempit.<br />Sebab-sebab yang dapat menimbulkan kelainan panggul dapat dibagi sebagai berikut :<br />1. Kelainan karena gangguan pertumbuhan<br />a. Panggul sempit seluruh : semua ukuran kecil<br />b. Panggul picak : ukuran muka belakang sempit, ukuran melintang biasa<br />c. Panggul sempit picak : semua ukuran kecil tapi terlebiha ukuran muka belakang<br />d. Panggul corong :pintu atas panggul biasa,pintu bawah panggul sempit<br />e. Panggul belah : symphyse terbuka<br /><br /><br />2. kelainan karena penyakit tulang panggul atau sendi-sendinya<br />a. Panggul rachitis : panggul picak, panggul sempit, seluruha panggul sempit picak dan lain-lain<br />b. Panggul osteomalacci : panggul sempit melintang<br />c. Radang articulatio sacroilliaca : panggul sempit miring<br />3. kelainan panggul disebabkan kelainan tulang belakang<br />a. kyphose didaerah tulang pinggang menyebabkan panggul corong<br />b. sciliose didaerah tulang panggung menyebabkan panggul sempit miring<br />4. kelainan panggul disebabkan kelainan aggota bawah<br />coxitis, luxatio, atrofia. Salah satu anggota menyebabkan panggul sempit miring.<br />Disamping itu mungkin pula ada exostase atau fraktura dari tulang panggul yang menjadi penyebab kelainan panggul.<br /><br />? Pengaruh panggul sempit pada kehamilan dan persalinan<br />Panggul sempit mempunyai pengaruh yang besar pada kehamilan maupun persalinan.<br />1. Pengaruh pada kehamilan<br />- Dapat menimbulkan retrafexio uteri gravida incarcerata<br />- Karena kepala tidak dapat turun maka terutama pada primi gravida fundus atau gangguan peredaran darah<br />Kadang-kadang fundus menonjol ke depan hingga perut menggantung<br />Perut yang menggantung pada seorang primi gravida merupakan tanda panggul sempit<br />- Kepala tidak turun kedalam panggul pada bulan terakhir<br />- Dapat menimbulkan letak muka, letak sungsang dan letak lintang.<br />- Biasanya anak seorang ibu dengan panggul sempit lebih kecil dari pada ukuran bayi pukul rata.<br /><br /><br />2. Pengaruh pada persalinan<br />- Persalinan lebih lama dari biasa.<br />a. Karena gangguan pembukaan<br />b. Karena banyak waktu dipergunakan untuk moulage kepala anak<br />Kelainan pembukaan disebabkan karena ketuban pecah sebelum waktunya, karena bagian depan kurang menutup pintu atas panggul selanjutnya setelah ketuban pecah kepala tidak dapat menekan cervix karena tertahan pada pintu atas panggul<br />- Pada panggul sempit sering terjadi kelainan presentasi atau posisi misalnya :<br />a. Pada panggul picak sering terjadi letak defleksi supaya diameter bitemporalis yang lebih kecil dari diameter biparietalis dapat melalui conjugata vera yang sempit itu.<br />Asynclitismus sering juga terjadi, yang diterapkan dengan “knopfloch mechanismus” (mekanisme lobang kancing)<br />b. Pada oang sempit kepala anak mengadakan hyperflexi supaya ukuran-ukuran kepala belakang yang melalui jalan lahir sekecil-kecilnya<br />c. Pada panggul sempit melintang sutura sagitalis dalam jurusan muka belang (positio occypitalis directa) pada pintu atas panggul.<br />- Dapat terjadi ruptura uteri kalau his menjadi terlalu kuat dalam usaha mengatasi rintangan yang ditimbulkan oleh panggul sempit<br />- Sebaiknya jika otot rahim menjadi lelah karena rintangan oleh panggul sempit dapat terjadi infeksi intra partum. Infeksi ini tidak saja membahayakan ibu tapi juga dapat menyebabkan kematian anak didalam rahim.<br />Kadang-kadang karena infeksi dapat terjadi tympania uteri atau physometra.<br />- Terjadi fistel : tekanan yang lama pada jaringan dapat menimbulkan ischaemia yang menyebabkan nekrosa.<br />Nekrosa menimbulkan fistula vesicovaginalis atau fistula recto vaginalis. Fistula vesicovaginalis lebih sering terjadi karena kandung kencing tertekan antara kepala anak dan symphyse sedangkan rectum jarang tertekan dengan hebat keran adanya rongga sacrum.<br />- Ruptur symphyse dapat terjadi , malahan kadang – kadang ruptur dari articulatio scroilliaca.<br />Kalau terjadi symphysiolysis maka pasien mengeluh tentang nyeri didaerah symphyse dan tidak dapat mengangkat tungkainya.<br />- Parase kaki dapat menjelma karena tekanan dari kepala pada urat-urat saraf didalam rongga panggul , yang paling sering adalah kelumpuhan N. Peroneus.<br /><br />3. Pengaruh pada anak<br />- Patus lama misalnya: yang lebih dari 20 jam atau kala II yang lebih dari 3 jam sangat menambah kematian perinatal apalagi kalau ketuban pecah sebelum waktunya.<br />- Prolapsus foeniculli dapat menimbulkan kematian pada anak<br />- Moulage yang kuat dapat menimbulkan perdarahan otak. Terutama kalau diameter biparietalis berkurang lebih dari ½ cm. selain itu mungkin pada tengkorak terdapat tanda-tanda tekanan. Terutama pada bagian yang melalui promontorium (os parietal) malahan dapat terjadi fraktur impresi.<br />? Persangkaan Panggul sempit<br />Seorang harus ingat akan kemungkinan panggul sempit kalau :<br />1. Aprimipara kepala anak belum turun setelah minggu ke 36<br />2. Pada primipara ada perut menggantung<br />3. pada multipara persalinan yang dulu – dulu sulit<br />4. kelainan letak pada hamil tua<br />5. kelainan bentuk badan (Cebol, scoliose,pincang dan lain-lain)<br />6. osborn positip<br />? Prognosa<br />Prognosa persalinan dengan panggul sempit tergantung pada berbagai faktor<br />- Bentuk panggul<br />- Ukuran panggul, jadi derajat kesempitan<br />- Kemungkinan pergerakan dalam sendi-sendi panggul<br />- Besarnya kepala dan kesanggupan moulage kepala<br />- Presentasi dan posisi kepala<br />- His<br />Diantara faktor faktor tersebut diatas yang dapat diukur secara pasti dan sebelum persalinan berlangsung hanya ukuran-ukuran panggul : karena itu ukuran – ukuran tersebut sering menjadi dasar untuk meramalkan jalannya persalinan.<br />Menurut pengalaman tidak ada anak yang cukup bulan yang dapat lahir dengan selamat per vaginam kalau CV kurang dari 8 ½ cm.<br />Sebaliknya kalau CV 8 ½ cm atau lebih persalinan pervaginam dapat diharapkan berlangsung selamat.<br />Karena itu kalau CV < 8 ½ cm dilakukan SC primer ( panggul demikuan disebut panggul sempit absolut )<br />Sebaliknya pada CV antara 8,5-10 cm hasil persalinan tergantung pada banyak faktor :<br />1. Riwayat persalinan yang lampau<br />2. besarnya presentasi dan posisi anak<br />3. pecahnya ketuban sebelum waktunya memburuknya prognosa<br />4. his<br />5. lancarnya pembukaan<br />6. infeksi intra partum<br />7. bentuk panggul dan derajat kesempitan<br />karena banyak faktor yang mempengaruhi hasil persalinan pada panggul dengan CV antara 8 ½ - 10cm (sering disebut panggul sempit relatip) maka pada panggul sedemikian dilakukan persalinan percobaan.<br /><br />? Persalinan percobaan<br />Yang disebut persalinan percobaan adalah untuk persalinan per vaginam pada wanita wanita dengan panggul yang relatip sempit. Persalinan percobaan dilakukan hanya pada letak belakang kepala, jadi tidak dilakukan pada letak sungsang, letak dahi, letak muka atau kelainan letak lainnya.<br />Persalinan percobaan dimulai pada permulaan persalinan dan berakhir setelah kita mendapatkan keyakinan bahwa persalinan tidak dapat berlangsung per vaginam atau setelah anak lahir per vaginam.<br />Persalinan percobaan dikatakan berhasil kalau anak lahir pervaginam secara spontan atau dibantu dengan ekstraksi (forcepe atau vacum) dan anak serta ibu dalam keadaan baik.<br />Kita menghentikan presalianan percobaan kalau:<br />1. – pembukaan tidak atau kurang sekali kemajuaannya<br />- Keadaan ibu atau anak menjadi kurang baik<br />- Kalau ada lingkaran retraksi yang patologis<br />2. – setelah pembukaan lengkap dan pecahnya ketuban,kepala dalam 2 jam tidak mau masuk ke dalam rongga panggul walaupun his cukup kuat<br />- Forcepe gagal<br />Dalam keadaan-keadaan tersebut diatas dilakukan SC. Kalau SC dilakukan atas indikasi tersebut dalam golongan 2 (dua) maka pada persalinan berikutnya tidak ada gunanya dilakukan persalinan percobaan lagi<br />Dalam istilah inggris ada 2 macam persalinan percobaan :<br />1. Trial of labor : serupa dengan persalinan percobaan yang diterngkan diatas<br />2. test of labor : sebetulnya merupakan fase terakhir dari trial of labor karena test of labor mulai pada pembukaan lengkap dan berakhir 2 jam sesudahnya.<br />Kalau dalam 2 jam setelah pembukaan lengkap kepala janin tidak turun sampai H III maka test of labor dikatakan berhasil.<br />Sekarang test of labor jarang dilakukan lagi karena:<br />1. Seringkali pembukaan tidak menjadi lengkap pada persalinan dengan panggul sempit<br />2. kematian anak terlalu tinggo dengan percobaan tersebut<br /><br />? kesempitan bidang tengah panggul<br />bidang tengah panggul terbentang antara pinggir bawah symphysis dan spinae ossis ischii dan memotong sacrum kira-kira pada pertemuan ruas sacral ke 4 dan ke 5<br /><br />Ukuran yang terpenting dari bidang ini adalah :<br />1. Diameter transversa ( diameter antar spina ) 10 ½ cm<br />2. diameter anteroposterior dari pinggir bawah symphyse ke pertemuan ruas sacral ke 4 dan ke 5 11 ½ cm<br />3. diameter sagitalis posterior dari pertengahan garis antar spina ke pertemuan sacral 4 dan 5 5 cm<br />dikatakan bahwa bidang tengah panggul itu sempit :<br />1. Jumlah diameter transversa dan diameter sagitalis posterior 13,5 atau kurang ( normal 10,5 cm + 5 cm = 15,5 cm)<br />2. diameter antara spina < 9 cm<br />ukuran – ukuran bidang tengah panggul tidak dapat diperoleh secara klinis, harus diukur secara rontgenelogis, tetapi kita dapat menduga kesempitan bidang tengah panggul kalau :<br />- Spinae ischiadicae sangat menonjol<br />- Kalau diameter antar tuber ischii 8 ½ cm atau kurang<br /><br />? Prognosa<br />Kesempitan bidang tengah panggul dapat menimbulkan gangguan putaran paksi.kalau diameter antar spinae 9 cm atau kurang kadang-kadang diperlukan SC.<br />? Terapi<br />Kalau persalinan terhenti karena kesempitan bidang tengah panggul maka baiknya dipergunakan ekstraktor vacum, karena ekstraksi dengan forceps memperkecil ruangan jalan lahir.<br />? Kesempitan pintu bawah panggul:<br />Pintu bawah panggul terdiri dari 2 segi tiga dengan jarak antar tuberum sebagai dasar bersamaan<br />Ukuran – ukuran yang penting ialah :<br />1. Diameter transversa (diameter antar tuberum ) 11 cm<br />2. diameter antara posterior dari pinggir bawah symphyse ke ujung os sacrum 11 ½ cm<br />3. diameter sagitalis posterior dari pertengahan diameter antar tuberum ke ujung os sacrum 7 ½ cm<br />pintu bawah panggul dikatakan sempit kalau jarak antara tubera ossis ischii 8 atau kurang<br />kalau jarak ini berkurang dengan sendirinya arcus pubis meruncing maka besarnya arcus pubis dapat dipergunakan untuk menentukan kesempitan pintu bawah panggul.<br />Menurut thomas dustacia dapat terjadi kalau jumlah ukuran antar tuberum dan diameter sagitalis posterior < 15 cm ( normal 11 cm + 7,5 cm = 18,5 cm )<br />Kalau pintu bawah panggul sempit biasanya bidang tengah panggul juga sempit. Kesempitan pintu bawah panggul dapat menyebabkan gangguan putaran paksi. Kesempitan pintu bawah panggul jarang memaksa kita melakukan SC bisanya dapat diselesaikan dengan forcepe dan dengan episiotomy yang cukup luas.<br /><br />VII. Pengkajian<br />1. Sirkulasi<br />Perhatikan riwayat masalah jantung, udema pulmonal, penyakit vaskuler perifer atau stasis vaskuler ( peningkatan resiko pembentukan thrombus )<br />2. integritas ego<br />perasaan cemas, takut, marah, apatis, serta adanya factor-faktor stress multiple seperti financial, hubungan, gaya hidup. Dengan tanda-tanda tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan, stimulasi simpatis<br />3. Makanan / cairan<br />Malnutrisi, membrane mukosa yang kering pembatasan puasa pra operasi insufisiensi Pancreas/ DM, predisposisi untuk hipoglikemia/ ketoasidosis<br />4. Pernafasan<br />Adanya infeksi, kondisi yang kronik/ batuk, merokok<br />5. Keamanan<br />? Adanya alergi atau sensitive terhadap obat, makanan, plester dan larutan<br />? Adanya defisiensi imun<br />? Munculnya kanker/ adanya terapi kanker<br />? Riwayat keluarga, tentang hipertermia malignan/ reaksi anestesi<br />? Riwayat penyakit hepatic<br />? Riwayat tranfusi darah<br />? Tanda munculnya proses infeksi<br /><br />VIII. Pathways<br /><br /><br />IX. Proritas Keperawatan<br />? Mengurangi ansietas dan trauma emosional<br />? Menyediakan keamanan fisik<br />? Mencegah komplikasi<br />? Meredakan rasa sakit<br />? Memberikan fasilitas untuk proses kesembuhan<br />? Menyediakan informasi mengenai proses penyakit<br />X. Diagnosa Keperawatan<br />? Ansietas b.d pengalaman pembedahan dan hasil tidak dapat diperkirakan<br />? Resti infeksi b.d destruksi pertahanan terhadap bakteri<br />? Nyeri akut b.d insisi, flatus dan mobilitas<br />? Resti perubahan nutrisi b.d peningkatan kebutuhan untuk penyembuhan luka, penurunan masukan ( sekunder akibat nyeri, mual, muntah )<br />XI. Intervensi<br />DP Tujuan Intervensi Rasional<br />Ansietas b.d pengalaman pembedahan dan hasil tidak dapat diperkirakan<br /><br />Resti infeksi b.d destruksi pertahanan terhadap bakteri<br /><br />Nyeri akut b.d insisi, flatus dan mobilitas<br /><br />Resti perubahan nutrisi b.d peningkatan kebutuhan tubuh untuk penyembuhan luka,penurunan masukan (sekunder akibat nyeri, mual, muntah Ansietas berkurang setelah diberikan perawatan dengan kriteria hasil :<br />- Tidak menunjukkan traumatik pada saat membicarakan pembedahan<br />- Tidak tampak gelisah<br />- Tidak merasa takut untuk dilakukan pembedahan yang sama<br />- Pasien merasa tenang<br /><br />Infeksi tidak terjadi setelah perawatan selama 24 jam pertama dengan kriteria hasil :<br />- Menunjukkan kondisi luka yang jauh dari kategori infeksi<br />- Albumin dalam keadaan normal<br />- Suhu tubuh pasien dalam keadaan normal, tidak demam<br /><br /><br />Nyeri dapat berkurang setelah perawatan 1x 24 jam dengan kriteria :<br />- Pasien tidak mengeluh nyeri / mengatakan bahwa nyeri sudah berkurang<br /><br />Mendemontrasikan berat badan stabil atau penambahan berat badan progresif kearah tujuan dengan normalisasi nilai laboratorium dan bebas dari tanda malnutrisi<br />- Lakukan pendekatan diri pada pasien supaya pasien merasa nyaman<br />- Yakinkan bahwa pembedahan merupakan jalan terbaik yang harus ditempuh untuk menyelamatkan bayi dan ibu<br /><br />- Berikan nutrisi yang adekuat<br />- Berikan penkes untuk menjaga daya tahan tubuh, kebersihan luka, serta tanda-tanda infeksi dini pada luka<br /><br />- lakukan pengkajian nyeri<br />- lakukan managemen nyeri<br />- monitoring keadaan insisi luka post operasi<br />- ajarkan mobilitas yang memungkinkan tiap jam sekali<br /><br />- kaji status nutrisi secara continue selama perawatan tiap hari, perhatikan tingkat energi, kondisi, kulit, kuku, rambut, rongga mulut<br />- tekankan pentingnya trasnsisi pada pemberian makan per oral dengan tepat<br />- beri waktu mengunyah, menelan, beri sosialisasi dan bantuan makan sesuai dengan indikasi<br />- Rasa nyaman akan menumbuhkan rasa tenang, tidak cemas serta kepercayaan pada perawat.<br /><br />- Nutrisi yang adekuat akan menghasilkan daua tubuh yang optimal<br />- Dengan adanya partisipasi dari pasien, maka kesembuhan luka dapat lebih mudah terwujud<br /><br />- Setiap skala nyeri memiliki managemen yang berbeda<br />- Antisipasi nyeri akibat luka post operasi<br />- Antisipasi nyeri akibat luka post operasi<br />- Mobilitas dapat merangsang peristaltik usus sehingga mempercepat flatus<br /><br />- Memberi kesempatan untuk mengobservasi penyimpangan dari norma/ dasar pasien dan mempengaruhi pilihan intervensi<br />- Trasnsisi pemberian makan oral lebih disukai<br />- Pasien perlu bantuan untuk menghadapi masalah anoreksia, kelelahan, kelemahan otot<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Carpenito L. J, 2001, Diagnosa keperawatan, Jakarta : EGC<br />Doengoes, M E, 2000, Rencana Askep pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, Jakarta : EGC<br />Mochtar, Rustam, 1998, Sinopsis Obstetri, Jakarta : EGC<br />Winkjosastro, Hanifa, 2005, Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo<br />omen (sectio caesarea abdominalis)<br />• Sectio caesarea transperitonealis<br />• SC klasik atau corporal (dengan insisi memanjang pada corpus uteri)<br />Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.<br />Kelebihan :<br />• Mengeluarkan janin dengan cepat<br />• Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik<br />• Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal<br />Kekurangan<br />• Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealis yang baik<br />• Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan<br />• SC ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen bawah rahim)<br />Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmen bawah rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm<br />Kelebihan :<br />• Penjahitan luka lebih mudah<br />• Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik<br />• Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum<br />• Perdarahan tidak begitu banyak<br />• Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil<br />Kekurangan :<br />• Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat menyebabkan uteri uterine pecah sehingga mengakibatkan perdarahan banyak<br />• Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi<br /> <br />• SC ektra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak membuka cavum abdominal<br /> <br />• Vagina (section caesarea vaginalis)<br />Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai berikut :<br /><br /> 1.<br /> Sayatan memanjang ( longitudinal )<br /> 2.<br /> Sayatan melintang ( Transversal )<br /> 3.<br /> Sayatan huruf T ( T insicion )<br /><br />• Indikasi<br />Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin, dengan pertimbangan hal-hal yang perlu tindakan SC proses persalinan normal lama/ kegagalan proses persalinan normal ( Dystasia )<br />• Fetal distress<br />• His lemah / melemah<br />• Janin dalam posisi sungsang atau melintang<br />• Bayi besar ( BBL ³ 4,2 kg )<br />• Plasenta previa<br />• Kalainan letak<br />• Disproporsi cevalo-pelvik ( ketidakseimbangan antar ukuran kepala dan panggul )<br />• Rupture uteri mengancam<br />• Hydrocephalus<br />• Primi muda atau tua<br />• Partus dengan komplikasi<br />• Panggul sempit<br />• Problema plasenta<br />• Komplikasi<br />Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain :<br />• Infeksi puerperal ( Nifas )<br />• Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari<br />• Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit kembung<br />• Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik<br />• Perdarahan<br />• Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka<br />• Perdarahan pada plasenta bed<br />• Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila peritonealisasi terlalu tinggi<br />• Kemungkinan rupture tinggi spontan pada kehamilan berikutnya<br /> <br />• Post Partum<br />• DEFINISI PUERPERIUM / NIFAS<br />Adalah masa sesudah persalinan dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhirnya ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, masa nifas berlangsung selama ± 6 minggu.<br />(Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002)<br />adalah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. (Obstetri Fisiologi, 1983)<br />• PERIODE<br />Masa nifas dibagi dalam 3 periode:<br />• Early post partum<br />Dalam 24 jam pertama.<br />• Immediate post partum<br />Minggu pertama post partum.<br />• Late post partum<br />Minggu kedua sampai dengan minggu keenam.<br /> <br />• TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN<br />• Menjaga kesehatan Ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologiknya.<br />• Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya.<br />• Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawatan bayi sehat.<br />• Memberikan pelayanan keluarga berencana.<br /><br /> <br />• TANDA DAN GEJALA<br />• Perubahan Fisik<br />• Sistem Reproduksi<br />• Uterus<br />• Involusi : Kembalinya uterus ke kondisi normal setelah hamil.<br />Proses ini dipercepat oleh rangsangan pada puting susu.<br />• Lochea<br />• Komposisi<br />Jaringan endometrial, darah dan limfe.<br />• Tahap<br />• Rubra (merah) : 1-3 hari.<br />• Serosa (pink kecoklatan)<br />• Alba (kuning-putih) : 10-14 hari<br />Lochea terus keluar sampai 3 minggu.<br />• Bau normal seperti menstruasi, jumlah meningkat saat berdiri.<br />Jumlah keluaran rata-rata 240-270 ml.<br />• Siklus Menstruasi<br />Ibu menyusui paling awal 12 minggu rata-rata 18 minggu, untuk itu tidak menyusui akan kembali ke siklus normal.<br />• Ovulasi<br />Ada tidaknya tergantung tingkat proluktin. Ibu menyusui mulai ovulasi pada bulan ke-3 atau lebih.<br />Ibu tidak menyusui mulai pada minggu ke-6 s/d minggu ke-8. Ovulasi mungkin tidak terlambat, dibutuhkan salah satu jenis kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.<br />• Serviks<br />Segera setelah lahir terjadi edema, bentuk distensi untuk beberapa hari, struktur internal kembali dalam 2 minggu, struktur eksternal melebar dan tampak bercelah.<br />• Vagina<br />Nampak berugae kembali pada 3 minggu, kembali mendekati ukuran seperti tidak hamil, dalam 6 sampai 8 minggu, bentuk ramping lebar, produksi mukus normal dengan ovulasi.<br />• Perineum<br />• Episiotomi<br />Penyembuhan dalam 2 minggu.<br />• Laserasi<br />TK I : Kulit dan strukturnya dari permukaan s/d otot<br />TK II : Meluas sampai dengan otot perineal<br />TK III : Meluas sampai dengan otot spinkter<br />TK IV : melibatkan dinding anterior rektal<br />• Payudara<br />Payudara membesar karena vaskularisasi dan engorgement (bengkak karena peningkatan prolaktin pada hari I-III). Pada payudara yang tidak disusui, engorgement akan berkurang dalam 2-3 hari, puting mudah erektil bila dirangsang. Pada ibu yang tidak menyusui akan mengecil pada 1-2 hari.<br />• Sistem Endokrin<br />• Hormon Plasenta<br />HCG (-) pada minggu ke-3 post partum, progesteron plasma tidak terdeteksi dalam 72 jam post partum normal setelah siklus menstruasi.<br />• Hormon pituitari<br />Prolaktin serum meningkat terjadi pada 2 minggu pertama, menurun sampai tidak ada pada ibu tidak menyusui FSH, LH, tidak ditemukan pada minggu I post partum.<br />• Sistem Kardiovaskuler<br />• Tanda-tanda vital<br />Tekanan darah sama saat bersalin, suhu meningkat karena dehidrasi pada awal post partum terjadi bradikardi.<br />• Volume darah<br />Menurun karena kehilangan darah dan kembali normal 3-4 minggu<br />Persalinan normal : 200 – 500 cc, sesaria : 600 – 800 cc.<br />• Perubahan hematologik<br />Ht meningkat, leukosit meningkat, neutrophil meningkat.<br />• Jantung<br />Kembali ke posisi normal, COP meningkat dan normal 2-3 minggu.<br />• Sistem Respirasi<br />Fungsi paru kembali normal, RR : 16-24 x/menit, keseimbangan asam-basa kembali setelah 3 minggu post partum.<br />• Sistem Gastrointestinal<br />• Mobilitas lambung menurun sehingga timbul konstipasi.<br />• Nafsu makan kembali normal.<br />• Kehilangan rata-rata berat badan 5,5 kg.<br />• Sistem Urinaria<br />• Edema pada kandung kemih, urethra dan meatus urinarius terjadi karena trauma.<br />• Pada fungsi ginjal: proteinuria, diuresis mulai 12 jam.<br />• Fungsi kembali normal dalam 4 minggu.<br />• Sistem Muskuloskeletal<br />Terjadi relaksasi pada otot abdomen karena terjadi tarikan saat hamil. Diastasis rekti 2-4 cm, kembali normal 6-8 minggu post partum.<br />• Sistem Integumen<br />Hiperpigmentasi perlahan berkurang.<br />• Sistem Imun<br />Rhesus incompability, diberikan anti RHO imunoglobin.SmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3452950911055804367.post-85668991582995165962008-09-10T17:29:00.003-07:002008-09-10T19:35:46.122-07:00ASKEP FRAKTUR CRURISI. PENGERTIAN<br /><br />Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000)<br /><br />II. JENIS FRAKTUR<br />a. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.<br />b. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang<br />c. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit<br />d. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.<br />e. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.<br />f. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang<br />g. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen<br />h. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam<br />i. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)<br />j. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.<br /><br />III. ETIOLOGI<br />a. Trauma<br />b. Gerakan pintir mendadak<br />c. Kontraksi otot ekstem<br />d. Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma<br /><br />V. MANIFESTASI KLINIS<br />a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema<br />b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah<br />c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur<br />d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya<br />e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit<br /><br />VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG<br />a. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya<br />b. Pemeriksaan jumlah darah lengkap<br />c. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai<br />d. Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal<br />VII. PENATALAKSANAAN<br /><br />a. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.<br />b. Imobilisasi fraktur<br />Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna<br />c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi<br />? Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan<br />? Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri<br />? Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau<br />? Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah<br /><br />VIII. KOMPLIKASI<br />a. Malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.<br />b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.<br />c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali<br /><br />IX. PENGKAJIAN<br />1. Pengkajian primer<br />- Airway<br />Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk<br />- Breathing<br />Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi<br />- Circulation<br />TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut<br />2. Pengkajian sekunder<br />a.Aktivitas/istirahat<br />? kehilangan fungsi pada bagian yangterkena<br />? Keterbatasan mobilitas<br />b. Sirkulasi<br />? Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)<br />? Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)<br />? Tachikardi<br />? Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera<br />? Cailary refil melambat<br />? Pucat pada bagian yang terkena<br />? Masa hematoma pada sisi cedera<br />c. Neurosensori<br />? Kesemutan<br />? Deformitas, krepitasi, pemendekan<br />? kelemahan<br />d. Kenyamanan<br />? nyeri tiba-tiba saat cidera<br />? spasme/ kram otot<br />e. Keamanan<br />? laserasi kulit<br />? perdarahan<br />? perubahan warna<br />? pembengkakan lokal<br /><br /><br />X. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI<br />a. Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler<br />Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan<br />Kriteria hasil:<br />? Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin<br />? Mempertahankan posisi fungsinal<br />? Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit<br />? Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas<br />Intervensi:<br />a. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan<br />b. Tinggikan ekstrimutas yang sakit<br />c. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit<br />d. Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah fraktur ketika bergerak<br />e. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas<br />f. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas<br />g. Ubah psisi secara periodik<br />h. Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi<br />b.Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang<br />Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan<br />Kriteria hasil:<br />? Klien menyatajkan nyei berkurang<br />? Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat<br />? Tekanan darahnormal<br />? Tidak ada eningkatan nadi dan RR<br />Intervensi:<br />a. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri<br />b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring<br />c. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan<br />d. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi<br />e. Jelaskanprosedu sebelum memulai<br />f. Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif<br />g. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan<br />h. Observasi tanda-tanda vital<br />i. Kolaborasi : pemberian analgetik<br /><br />C. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan<br />Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan<br />Kriteria hasil:<br />? Penyembuhan luka sesuai waktu<br />? Tidak ada laserasi, integritas kulit baik<br /><br />Intervensi:<br />a. Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainae<br />b. Monitor suhu tubuh<br />c. Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol<br />d. Lakukan alihposisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh<br />e. Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan<br />f. Masage kulit ssekitar akhir gips dengan alkohol<br />g. Gunakan tenaat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi<br />h. Kolaborasi emberian antibiotik.<br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC<br />2. Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC<br />3. Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3. Jakarta. EGC<br />4. Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGCSmArTnEthttp://www.blogger.com/profile/02035424301055582217noreply@blogger.com0