WELCOME TO SMARTNET-Q

DIABETES MELLITUS

A. Pengertian
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).

B. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :
1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
4. Diabetes mellitus gestasional (GDM)

C. Etiologi
1. Diabetes tipe I:
a. Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
b. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
2. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga

D. Patofisiologi/Pathways

E. Tanda dan Gejala
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10. Neuropati viseral
11. Amiotropi
12. Ulkus Neurotropik
13. Penyakit ginjal
14. Penyakit pembuluh darah perifer
15. Penyakit koroner
16. Penyakit pembuluh darah otak
17. Hipertensi
Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
- Plasma vena
- Darah kapiler
Kadar glukosa darah puasa
- Plasma vena
- Darah kapiler

< 100
<80


<110
<90

100-200
80-200


110-120
90-110

>200
>200


>126
>110
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

G. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi (jika diperlukan)
5. Pendidikan

H. Pengkajian
? Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
? Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
? Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.

? Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
? Integritas Ego
Stress, ansietas
? Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
? Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.
? Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.
? Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
? Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
? Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.

I. Masalah Keperawatan
1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
2. Kekurangan volume cairan
3. Gangguan integritas kulit
4. Resiko terjadi injury

J. Intervensi
1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
? Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
? Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
? Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
? Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.
? Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
? Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.
? Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.
? Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.
? Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
? Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
? Kolaborasi dengan ahli diet.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.

Intervensi :
? Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
? Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
? Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
? Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
? Pantau masukan dan pengeluaran
? Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung
? Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.
? Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur
? Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer).
Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan.
Kriteria Hasil :
Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi
Intervensi :
? Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.
? Kaji tanda vital
? Kaji adanya nyeri
? Lakukan perawatan luka
? Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.
? Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.

4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan
Tujuan : pasien tidak mengalami injury
Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury
Intervensi :
? Hindarkan lantai yang licin.
? Gunakan bed yang rendah.
? Orientasikan klien dengan ruangan.
? Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
? Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi


DAFTAR PUSTAKA

Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.

Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.

Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.

Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.

Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002

SECTIO CAESAREA DENGAN INDIKASI PANGGUL SEMPIT

I. Pengertian
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim.

II. Jenis – jenis operasi sectio caesarea
1. Abdomen (sectio caesarea abdominalis)
a. Sectio caesarea transperitonealis
? SC klasik atau corporal (dengan insisi memanjang pada corpus uteri)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.
Kelebihan :
? Mengeluarkan janin dengan cepat
? Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
? Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan
? Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealis yang baik
? Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan
? SC ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen bawah rahim)
Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmen bawah rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm
Kelebihan :
? Penjahitan luka lebih mudah
? Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
? Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum
? Perdarahan tidak begitu banyak
? Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil
Kekurangan :
? Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat menyebabkan uteri uterine pecah sehingga mengakibatkan perdarahan banyak
? Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi
b. SC ektra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak membuka cavum abdominal
2. Vagina (section caesarea vaginalis)
Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Sayatan memanjang ( longitudinal )
2. Sayatan melintang ( Transversal )
3. Sayatan huruf T ( T insicion )
III. Indikasi
Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin, dengan pertimbangan hal-hal yang perlu tindakan SC proses persalinan normal lama/ kegagalan proses persalinan normal ( Dystasia )
? Fetal distress
? His lemah / melemah
? Janin dalam posisi sungsang atau melintang
? Bayi besar ( BBL ? 4,2 kg )
? Plasenta previa
? Kalainan letak
? Disproporsi cevalo-pelvik ( ketidakseimbangan antar ukuran kepala dan panggul )
? Rupture uteri mengancam
? Hydrocephalus
? Primi muda atau tua
? Partus dengan komplikasi
? Panggul sempit
? Problema plasenta


IV. Komplikasi
Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain :
1. Infeksi puerperal ( Nifas )
- Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
- Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit kembung
- Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
2. Perdarahan
- Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
- Perdarahan pada plasenta bed
3. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila peritonealisasi terlalu tinggi
4. Kemungkinan rupture tinggi spontan pada kehamilan berikutnya

V. POST PARTUM
A. DEFINISI PUERPERIUM / NIFAS
Adalah masa sesudah persalinan dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhirnya ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, masa nifas berlangsung selama ? 6 minggu.
(Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002)
adalah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. (Obstetri Fisiologi, 1983)
B. PERIODE
Masa nifas dibagi dalam 3 periode:
1. Early post partum
Dalam 24 jam pertama.
2. Immediate post partum
Minggu pertama post partum.
3. Late post partum
Minggu kedua sampai dengan minggu keenam.

C. TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN
1. Menjaga kesehatan Ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologiknya.
2. Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya.
3. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawatan bayi sehat.
4. Memberikan pelayanan keluarga berencana.

D. TANDA DAN GEJALA
1. Perubahan Fisik
a. Sistem Reproduksi
• Uterus
• Involusi : Kembalinya uterus ke kondisi normal setelah hamil.

Proses ini dipercepat oleh rangsangan pada puting susu.
- Lochea
• Komposisi
Jaringan endometrial, darah dan limfe.
• Tahap
a. Rubra (merah) : 1-3 hari.
b. Serosa (pink kecoklatan)
c. Alba (kuning-putih) : 10-14 hari
Lochea terus keluar sampai 3 minggu.
• Bau normal seperti menstruasi, jumlah meningkat saat berdiri.
Jumlah keluaran rata-rata 240-270 ml.
- Siklus Menstruasi
Ibu menyusui paling awal 12 minggu rata-rata 18 minggu, untuk itu tidak menyusui akan kembali ke siklus normal.
- Ovulasi
Ada tidaknya tergantung tingkat proluktin. Ibu menyusui mulai ovulasi pada bulan ke-3 atau lebih.
Ibu tidak menyusui mulai pada minggu ke-6 s/d minggu ke-8. Ovulasi mungkin tidak terlambat, dibutuhkan salah satu jenis kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.
- Serviks
Segera setelah lahir terjadi edema, bentuk distensi untuk beberapa hari, struktur internal kembali dalam 2 minggu, struktur eksternal melebar dan tampak bercelah.
- Vagina
Nampak berugae kembali pada 3 minggu, kembali mendekati ukuran seperti tidak hamil, dalam 6 sampai 8 minggu, bentuk ramping lebar, produksi mukus normal dengan ovulasi.
- Perineum
• Episiotomi
Penyembuhan dalam 2 minggu.
• Laserasi
TK I : Kulit dan strukturnya dari permukaan s/d otot
TK II : Meluas sampai dengan otot perineal
TK III : Meluas sampai dengan otot spinkter
TK IV : melibatkan dinding anterior rektal
b. Payudara
Payudara membesar karena vaskularisasi dan engorgement (bengkak karena peningkatan prolaktin pada hari I-III). Pada payudara yang tidak disusui, engorgement akan berkurang dalam 2-3 hari, puting mudah erektil bila dirangsang. Pada ibu yang tidak menyusui akan mengecil pada 1-2 hari.
c. Sistem Endokrin
- Hormon Plasenta
HCG (-) pada minggu ke-3 post partum, progesteron plasma tidak terdeteksi dalam 72 jam post partum normal setelah siklus menstruasi.
- Hormon pituitari
Prolaktin serum meningkat terjadi pada 2 minggu pertama, menurun sampai tidak ada pada ibu tidak menyusui FSH, LH, tidak ditemukan pada minggu I post partum.
d. Sistem Kardiovaskuler
- Tanda-tanda vital
Tekanan darah sama saat bersalin, suhu meningkat karena dehidrasi pada awal post partum terjadi bradikardi.
- Volume darah
Menurun karena kehilangan darah dan kembali normal 3-4 minggu
Persalinan normal : 200 – 500 cc, sesaria : 600 – 800 cc.
- Perubahan hematologik
Ht meningkat, leukosit meningkat, neutrophil meningkat.
- Jantung
Kembali ke posisi normal, COP meningkat dan normal 2-3 minggu.
e. Sistem Respirasi
Fungsi paru kembali normal, RR : 16-24 x/menit, keseimbangan asam-basa kembali setelah 3 minggu post partum.
f. Sistem Gastrointestinal
- Mobilitas lambung menurun sehingga timbul konstipasi.
- Nafsu makan kembali normal.
- Kehilangan rata-rata berat badan 5,5 kg.
g. Sistem Urinaria
- Edema pada kandung kemih, urethra dan meatus urinarius terjadi karena trauma.
- Pada fungsi ginjal: proteinuria, diuresis mulai 12 jam.
- Fungsi kembali normal dalam 4 minggu.
h. Sistem Muskuloskeletal
Terjadi relaksasi pada otot abdomen karena terjadi tarikan saat hamil. Diastasis rekti 2-4 cm, kembali normal 6-8 minggu post partum.
i. Sistem Integumen
Hiperpigmentasi perlahan berkurang.
j. Sistem Imun
Rhesus incompability, diberikan anti RHO imunoglobin.

VI. PANGGUL SEMPIT
Dalam Obstetri yang terpenting bukan panggul sempit secara anatomis melainkan panggul sempit secara fungsional artinya perbandingan antara kepala dan panggul
Kesempitan panggul dibagi sebagai berikut :
1. Kesempitan pintu atas panggul
2. kesempitan bidang bawah panggul
3. kesempitan pintu bawah panggul
4. kombinasi kesempitan pintu atas pangul, bidang tengah dan pintu bawah panggul.
? Kesempitan pintu atas panggul
Pintu atas panggul dianggap sempit kalau conjugata vera kurang dari 10 cm atau kalau diameter transversa kurang dari 12 cm
Conjugata vera dilalui oleh diameter biparietalis yang ± 9½ cm dan kadang-kadang mencapai 10 cm, maka sudah jelas bahwa conjugata vera yang kurang dari 10cm dapat menimbulkan kesulitan. Kesukaran bertambah lagi kalau kedua ukuran ialah diameter antara posterior maupun diameter transversa sempit.
Sebab-sebab yang dapat menimbulkan kelainan panggul dapat dibagi sebagai berikut :
1. Kelainan karena gangguan pertumbuhan
a. Panggul sempit seluruh : semua ukuran kecil
b. Panggul picak : ukuran muka belakang sempit, ukuran melintang biasa
c. Panggul sempit picak : semua ukuran kecil tapi terlebiha ukuran muka belakang
d. Panggul corong :pintu atas panggul biasa,pintu bawah panggul sempit
e. Panggul belah : symphyse terbuka


2. kelainan karena penyakit tulang panggul atau sendi-sendinya
a. Panggul rachitis : panggul picak, panggul sempit, seluruha panggul sempit picak dan lain-lain
b. Panggul osteomalacci : panggul sempit melintang
c. Radang articulatio sacroilliaca : panggul sempit miring
3. kelainan panggul disebabkan kelainan tulang belakang
a. kyphose didaerah tulang pinggang menyebabkan panggul corong
b. sciliose didaerah tulang panggung menyebabkan panggul sempit miring
4. kelainan panggul disebabkan kelainan aggota bawah
coxitis, luxatio, atrofia. Salah satu anggota menyebabkan panggul sempit miring.
Disamping itu mungkin pula ada exostase atau fraktura dari tulang panggul yang menjadi penyebab kelainan panggul.

? Pengaruh panggul sempit pada kehamilan dan persalinan
Panggul sempit mempunyai pengaruh yang besar pada kehamilan maupun persalinan.
1. Pengaruh pada kehamilan
- Dapat menimbulkan retrafexio uteri gravida incarcerata
- Karena kepala tidak dapat turun maka terutama pada primi gravida fundus atau gangguan peredaran darah
Kadang-kadang fundus menonjol ke depan hingga perut menggantung
Perut yang menggantung pada seorang primi gravida merupakan tanda panggul sempit
- Kepala tidak turun kedalam panggul pada bulan terakhir
- Dapat menimbulkan letak muka, letak sungsang dan letak lintang.
- Biasanya anak seorang ibu dengan panggul sempit lebih kecil dari pada ukuran bayi pukul rata.


2. Pengaruh pada persalinan
- Persalinan lebih lama dari biasa.
a. Karena gangguan pembukaan
b. Karena banyak waktu dipergunakan untuk moulage kepala anak
Kelainan pembukaan disebabkan karena ketuban pecah sebelum waktunya, karena bagian depan kurang menutup pintu atas panggul selanjutnya setelah ketuban pecah kepala tidak dapat menekan cervix karena tertahan pada pintu atas panggul
- Pada panggul sempit sering terjadi kelainan presentasi atau posisi misalnya :
a. Pada panggul picak sering terjadi letak defleksi supaya diameter bitemporalis yang lebih kecil dari diameter biparietalis dapat melalui conjugata vera yang sempit itu.
Asynclitismus sering juga terjadi, yang diterapkan dengan “knopfloch mechanismus” (mekanisme lobang kancing)
b. Pada oang sempit kepala anak mengadakan hyperflexi supaya ukuran-ukuran kepala belakang yang melalui jalan lahir sekecil-kecilnya
c. Pada panggul sempit melintang sutura sagitalis dalam jurusan muka belang (positio occypitalis directa) pada pintu atas panggul.
- Dapat terjadi ruptura uteri kalau his menjadi terlalu kuat dalam usaha mengatasi rintangan yang ditimbulkan oleh panggul sempit
- Sebaiknya jika otot rahim menjadi lelah karena rintangan oleh panggul sempit dapat terjadi infeksi intra partum. Infeksi ini tidak saja membahayakan ibu tapi juga dapat menyebabkan kematian anak didalam rahim.
Kadang-kadang karena infeksi dapat terjadi tympania uteri atau physometra.
- Terjadi fistel : tekanan yang lama pada jaringan dapat menimbulkan ischaemia yang menyebabkan nekrosa.
Nekrosa menimbulkan fistula vesicovaginalis atau fistula recto vaginalis. Fistula vesicovaginalis lebih sering terjadi karena kandung kencing tertekan antara kepala anak dan symphyse sedangkan rectum jarang tertekan dengan hebat keran adanya rongga sacrum.
- Ruptur symphyse dapat terjadi , malahan kadang – kadang ruptur dari articulatio scroilliaca.
Kalau terjadi symphysiolysis maka pasien mengeluh tentang nyeri didaerah symphyse dan tidak dapat mengangkat tungkainya.
- Parase kaki dapat menjelma karena tekanan dari kepala pada urat-urat saraf didalam rongga panggul , yang paling sering adalah kelumpuhan N. Peroneus.

3. Pengaruh pada anak
- Patus lama misalnya: yang lebih dari 20 jam atau kala II yang lebih dari 3 jam sangat menambah kematian perinatal apalagi kalau ketuban pecah sebelum waktunya.
- Prolapsus foeniculli dapat menimbulkan kematian pada anak
- Moulage yang kuat dapat menimbulkan perdarahan otak. Terutama kalau diameter biparietalis berkurang lebih dari ½ cm. selain itu mungkin pada tengkorak terdapat tanda-tanda tekanan. Terutama pada bagian yang melalui promontorium (os parietal) malahan dapat terjadi fraktur impresi.
? Persangkaan Panggul sempit
Seorang harus ingat akan kemungkinan panggul sempit kalau :
1. Aprimipara kepala anak belum turun setelah minggu ke 36
2. Pada primipara ada perut menggantung
3. pada multipara persalinan yang dulu – dulu sulit
4. kelainan letak pada hamil tua
5. kelainan bentuk badan (Cebol, scoliose,pincang dan lain-lain)
6. osborn positip
? Prognosa
Prognosa persalinan dengan panggul sempit tergantung pada berbagai faktor
- Bentuk panggul
- Ukuran panggul, jadi derajat kesempitan
- Kemungkinan pergerakan dalam sendi-sendi panggul
- Besarnya kepala dan kesanggupan moulage kepala
- Presentasi dan posisi kepala
- His
Diantara faktor faktor tersebut diatas yang dapat diukur secara pasti dan sebelum persalinan berlangsung hanya ukuran-ukuran panggul : karena itu ukuran – ukuran tersebut sering menjadi dasar untuk meramalkan jalannya persalinan.
Menurut pengalaman tidak ada anak yang cukup bulan yang dapat lahir dengan selamat per vaginam kalau CV kurang dari 8 ½ cm.
Sebaliknya kalau CV 8 ½ cm atau lebih persalinan pervaginam dapat diharapkan berlangsung selamat.
Karena itu kalau CV < 8 ½ cm dilakukan SC primer ( panggul demikuan disebut panggul sempit absolut )
Sebaliknya pada CV antara 8,5-10 cm hasil persalinan tergantung pada banyak faktor :
1. Riwayat persalinan yang lampau
2. besarnya presentasi dan posisi anak
3. pecahnya ketuban sebelum waktunya memburuknya prognosa
4. his
5. lancarnya pembukaan
6. infeksi intra partum
7. bentuk panggul dan derajat kesempitan
karena banyak faktor yang mempengaruhi hasil persalinan pada panggul dengan CV antara 8 ½ - 10cm (sering disebut panggul sempit relatip) maka pada panggul sedemikian dilakukan persalinan percobaan.

? Persalinan percobaan
Yang disebut persalinan percobaan adalah untuk persalinan per vaginam pada wanita wanita dengan panggul yang relatip sempit. Persalinan percobaan dilakukan hanya pada letak belakang kepala, jadi tidak dilakukan pada letak sungsang, letak dahi, letak muka atau kelainan letak lainnya.
Persalinan percobaan dimulai pada permulaan persalinan dan berakhir setelah kita mendapatkan keyakinan bahwa persalinan tidak dapat berlangsung per vaginam atau setelah anak lahir per vaginam.
Persalinan percobaan dikatakan berhasil kalau anak lahir pervaginam secara spontan atau dibantu dengan ekstraksi (forcepe atau vacum) dan anak serta ibu dalam keadaan baik.
Kita menghentikan presalianan percobaan kalau:
1. – pembukaan tidak atau kurang sekali kemajuaannya
- Keadaan ibu atau anak menjadi kurang baik
- Kalau ada lingkaran retraksi yang patologis
2. – setelah pembukaan lengkap dan pecahnya ketuban,kepala dalam 2 jam tidak mau masuk ke dalam rongga panggul walaupun his cukup kuat
- Forcepe gagal
Dalam keadaan-keadaan tersebut diatas dilakukan SC. Kalau SC dilakukan atas indikasi tersebut dalam golongan 2 (dua) maka pada persalinan berikutnya tidak ada gunanya dilakukan persalinan percobaan lagi
Dalam istilah inggris ada 2 macam persalinan percobaan :
1. Trial of labor : serupa dengan persalinan percobaan yang diterngkan diatas
2. test of labor : sebetulnya merupakan fase terakhir dari trial of labor karena test of labor mulai pada pembukaan lengkap dan berakhir 2 jam sesudahnya.
Kalau dalam 2 jam setelah pembukaan lengkap kepala janin tidak turun sampai H III maka test of labor dikatakan berhasil.
Sekarang test of labor jarang dilakukan lagi karena:
1. Seringkali pembukaan tidak menjadi lengkap pada persalinan dengan panggul sempit
2. kematian anak terlalu tinggo dengan percobaan tersebut

? kesempitan bidang tengah panggul
bidang tengah panggul terbentang antara pinggir bawah symphysis dan spinae ossis ischii dan memotong sacrum kira-kira pada pertemuan ruas sacral ke 4 dan ke 5

Ukuran yang terpenting dari bidang ini adalah :
1. Diameter transversa ( diameter antar spina ) 10 ½ cm
2. diameter anteroposterior dari pinggir bawah symphyse ke pertemuan ruas sacral ke 4 dan ke 5 11 ½ cm
3. diameter sagitalis posterior dari pertengahan garis antar spina ke pertemuan sacral 4 dan 5 5 cm
dikatakan bahwa bidang tengah panggul itu sempit :
1. Jumlah diameter transversa dan diameter sagitalis posterior 13,5 atau kurang ( normal 10,5 cm + 5 cm = 15,5 cm)
2. diameter antara spina < 9 cm
ukuran – ukuran bidang tengah panggul tidak dapat diperoleh secara klinis, harus diukur secara rontgenelogis, tetapi kita dapat menduga kesempitan bidang tengah panggul kalau :
- Spinae ischiadicae sangat menonjol
- Kalau diameter antar tuber ischii 8 ½ cm atau kurang

? Prognosa
Kesempitan bidang tengah panggul dapat menimbulkan gangguan putaran paksi.kalau diameter antar spinae 9 cm atau kurang kadang-kadang diperlukan SC.
? Terapi
Kalau persalinan terhenti karena kesempitan bidang tengah panggul maka baiknya dipergunakan ekstraktor vacum, karena ekstraksi dengan forceps memperkecil ruangan jalan lahir.
? Kesempitan pintu bawah panggul:
Pintu bawah panggul terdiri dari 2 segi tiga dengan jarak antar tuberum sebagai dasar bersamaan
Ukuran – ukuran yang penting ialah :
1. Diameter transversa (diameter antar tuberum ) 11 cm
2. diameter antara posterior dari pinggir bawah symphyse ke ujung os sacrum 11 ½ cm
3. diameter sagitalis posterior dari pertengahan diameter antar tuberum ke ujung os sacrum 7 ½ cm
pintu bawah panggul dikatakan sempit kalau jarak antara tubera ossis ischii 8 atau kurang
kalau jarak ini berkurang dengan sendirinya arcus pubis meruncing maka besarnya arcus pubis dapat dipergunakan untuk menentukan kesempitan pintu bawah panggul.
Menurut thomas dustacia dapat terjadi kalau jumlah ukuran antar tuberum dan diameter sagitalis posterior < 15 cm ( normal 11 cm + 7,5 cm = 18,5 cm )
Kalau pintu bawah panggul sempit biasanya bidang tengah panggul juga sempit. Kesempitan pintu bawah panggul dapat menyebabkan gangguan putaran paksi. Kesempitan pintu bawah panggul jarang memaksa kita melakukan SC bisanya dapat diselesaikan dengan forcepe dan dengan episiotomy yang cukup luas.

VII. Pengkajian
1. Sirkulasi
Perhatikan riwayat masalah jantung, udema pulmonal, penyakit vaskuler perifer atau stasis vaskuler ( peningkatan resiko pembentukan thrombus )
2. integritas ego
perasaan cemas, takut, marah, apatis, serta adanya factor-faktor stress multiple seperti financial, hubungan, gaya hidup. Dengan tanda-tanda tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan, stimulasi simpatis
3. Makanan / cairan
Malnutrisi, membrane mukosa yang kering pembatasan puasa pra operasi insufisiensi Pancreas/ DM, predisposisi untuk hipoglikemia/ ketoasidosis
4. Pernafasan
Adanya infeksi, kondisi yang kronik/ batuk, merokok
5. Keamanan
? Adanya alergi atau sensitive terhadap obat, makanan, plester dan larutan
? Adanya defisiensi imun
? Munculnya kanker/ adanya terapi kanker
? Riwayat keluarga, tentang hipertermia malignan/ reaksi anestesi
? Riwayat penyakit hepatic
? Riwayat tranfusi darah
? Tanda munculnya proses infeksi

VIII. Pathways


IX. Proritas Keperawatan
? Mengurangi ansietas dan trauma emosional
? Menyediakan keamanan fisik
? Mencegah komplikasi
? Meredakan rasa sakit
? Memberikan fasilitas untuk proses kesembuhan
? Menyediakan informasi mengenai proses penyakit
X. Diagnosa Keperawatan
? Ansietas b.d pengalaman pembedahan dan hasil tidak dapat diperkirakan
? Resti infeksi b.d destruksi pertahanan terhadap bakteri
? Nyeri akut b.d insisi, flatus dan mobilitas
? Resti perubahan nutrisi b.d peningkatan kebutuhan untuk penyembuhan luka, penurunan masukan ( sekunder akibat nyeri, mual, muntah )
XI. Intervensi
DP Tujuan Intervensi Rasional
Ansietas b.d pengalaman pembedahan dan hasil tidak dapat diperkirakan

Resti infeksi b.d destruksi pertahanan terhadap bakteri

Nyeri akut b.d insisi, flatus dan mobilitas

Resti perubahan nutrisi b.d peningkatan kebutuhan tubuh untuk penyembuhan luka,penurunan masukan (sekunder akibat nyeri, mual, muntah Ansietas berkurang setelah diberikan perawatan dengan kriteria hasil :
- Tidak menunjukkan traumatik pada saat membicarakan pembedahan
- Tidak tampak gelisah
- Tidak merasa takut untuk dilakukan pembedahan yang sama
- Pasien merasa tenang

Infeksi tidak terjadi setelah perawatan selama 24 jam pertama dengan kriteria hasil :
- Menunjukkan kondisi luka yang jauh dari kategori infeksi
- Albumin dalam keadaan normal
- Suhu tubuh pasien dalam keadaan normal, tidak demam


Nyeri dapat berkurang setelah perawatan 1x 24 jam dengan kriteria :
- Pasien tidak mengeluh nyeri / mengatakan bahwa nyeri sudah berkurang

Mendemontrasikan berat badan stabil atau penambahan berat badan progresif kearah tujuan dengan normalisasi nilai laboratorium dan bebas dari tanda malnutrisi
- Lakukan pendekatan diri pada pasien supaya pasien merasa nyaman
- Yakinkan bahwa pembedahan merupakan jalan terbaik yang harus ditempuh untuk menyelamatkan bayi dan ibu

- Berikan nutrisi yang adekuat
- Berikan penkes untuk menjaga daya tahan tubuh, kebersihan luka, serta tanda-tanda infeksi dini pada luka

- lakukan pengkajian nyeri
- lakukan managemen nyeri
- monitoring keadaan insisi luka post operasi
- ajarkan mobilitas yang memungkinkan tiap jam sekali

- kaji status nutrisi secara continue selama perawatan tiap hari, perhatikan tingkat energi, kondisi, kulit, kuku, rambut, rongga mulut
- tekankan pentingnya trasnsisi pada pemberian makan per oral dengan tepat
- beri waktu mengunyah, menelan, beri sosialisasi dan bantuan makan sesuai dengan indikasi
- Rasa nyaman akan menumbuhkan rasa tenang, tidak cemas serta kepercayaan pada perawat.

- Nutrisi yang adekuat akan menghasilkan daua tubuh yang optimal
- Dengan adanya partisipasi dari pasien, maka kesembuhan luka dapat lebih mudah terwujud

- Setiap skala nyeri memiliki managemen yang berbeda
- Antisipasi nyeri akibat luka post operasi
- Antisipasi nyeri akibat luka post operasi
- Mobilitas dapat merangsang peristaltik usus sehingga mempercepat flatus

- Memberi kesempatan untuk mengobservasi penyimpangan dari norma/ dasar pasien dan mempengaruhi pilihan intervensi
- Trasnsisi pemberian makan oral lebih disukai
- Pasien perlu bantuan untuk menghadapi masalah anoreksia, kelelahan, kelemahan otot


DAFTAR PUSTAKA

Carpenito L. J, 2001, Diagnosa keperawatan, Jakarta : EGC
Doengoes, M E, 2000, Rencana Askep pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, Jakarta : EGC
Mochtar, Rustam, 1998, Sinopsis Obstetri, Jakarta : EGC
Winkjosastro, Hanifa, 2005, Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
omen (sectio caesarea abdominalis)
• Sectio caesarea transperitonealis
• SC klasik atau corporal (dengan insisi memanjang pada corpus uteri)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.
Kelebihan :
• Mengeluarkan janin dengan cepat
• Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
• Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan
• Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealis yang baik
• Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan
• SC ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen bawah rahim)
Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmen bawah rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm
Kelebihan :
• Penjahitan luka lebih mudah
• Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
• Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum
• Perdarahan tidak begitu banyak
• Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil
Kekurangan :
• Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat menyebabkan uteri uterine pecah sehingga mengakibatkan perdarahan banyak
• Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi

• SC ektra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak membuka cavum abdominal

• Vagina (section caesarea vaginalis)
Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai berikut :

1.
Sayatan memanjang ( longitudinal )
2.
Sayatan melintang ( Transversal )
3.
Sayatan huruf T ( T insicion )

• Indikasi
Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin, dengan pertimbangan hal-hal yang perlu tindakan SC proses persalinan normal lama/ kegagalan proses persalinan normal ( Dystasia )
• Fetal distress
• His lemah / melemah
• Janin dalam posisi sungsang atau melintang
• Bayi besar ( BBL ³ 4,2 kg )
• Plasenta previa
• Kalainan letak
• Disproporsi cevalo-pelvik ( ketidakseimbangan antar ukuran kepala dan panggul )
• Rupture uteri mengancam
• Hydrocephalus
• Primi muda atau tua
• Partus dengan komplikasi
• Panggul sempit
• Problema plasenta
• Komplikasi
Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain :
• Infeksi puerperal ( Nifas )
• Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
• Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit kembung
• Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
• Perdarahan
• Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
• Perdarahan pada plasenta bed
• Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila peritonealisasi terlalu tinggi
• Kemungkinan rupture tinggi spontan pada kehamilan berikutnya

• Post Partum
• DEFINISI PUERPERIUM / NIFAS
Adalah masa sesudah persalinan dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhirnya ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, masa nifas berlangsung selama ± 6 minggu.
(Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002)
adalah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. (Obstetri Fisiologi, 1983)
• PERIODE
Masa nifas dibagi dalam 3 periode:
• Early post partum
Dalam 24 jam pertama.
• Immediate post partum
Minggu pertama post partum.
• Late post partum
Minggu kedua sampai dengan minggu keenam.

• TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN
• Menjaga kesehatan Ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologiknya.
• Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya.
• Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawatan bayi sehat.
• Memberikan pelayanan keluarga berencana.


• TANDA DAN GEJALA
• Perubahan Fisik
• Sistem Reproduksi
• Uterus
• Involusi : Kembalinya uterus ke kondisi normal setelah hamil.
Proses ini dipercepat oleh rangsangan pada puting susu.
• Lochea
• Komposisi
Jaringan endometrial, darah dan limfe.
• Tahap
• Rubra (merah) : 1-3 hari.
• Serosa (pink kecoklatan)
• Alba (kuning-putih) : 10-14 hari
Lochea terus keluar sampai 3 minggu.
• Bau normal seperti menstruasi, jumlah meningkat saat berdiri.
Jumlah keluaran rata-rata 240-270 ml.
• Siklus Menstruasi
Ibu menyusui paling awal 12 minggu rata-rata 18 minggu, untuk itu tidak menyusui akan kembali ke siklus normal.
• Ovulasi
Ada tidaknya tergantung tingkat proluktin. Ibu menyusui mulai ovulasi pada bulan ke-3 atau lebih.
Ibu tidak menyusui mulai pada minggu ke-6 s/d minggu ke-8. Ovulasi mungkin tidak terlambat, dibutuhkan salah satu jenis kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.
• Serviks
Segera setelah lahir terjadi edema, bentuk distensi untuk beberapa hari, struktur internal kembali dalam 2 minggu, struktur eksternal melebar dan tampak bercelah.
• Vagina
Nampak berugae kembali pada 3 minggu, kembali mendekati ukuran seperti tidak hamil, dalam 6 sampai 8 minggu, bentuk ramping lebar, produksi mukus normal dengan ovulasi.
• Perineum
• Episiotomi
Penyembuhan dalam 2 minggu.
• Laserasi
TK I : Kulit dan strukturnya dari permukaan s/d otot
TK II : Meluas sampai dengan otot perineal
TK III : Meluas sampai dengan otot spinkter
TK IV : melibatkan dinding anterior rektal
• Payudara
Payudara membesar karena vaskularisasi dan engorgement (bengkak karena peningkatan prolaktin pada hari I-III). Pada payudara yang tidak disusui, engorgement akan berkurang dalam 2-3 hari, puting mudah erektil bila dirangsang. Pada ibu yang tidak menyusui akan mengecil pada 1-2 hari.
• Sistem Endokrin
• Hormon Plasenta
HCG (-) pada minggu ke-3 post partum, progesteron plasma tidak terdeteksi dalam 72 jam post partum normal setelah siklus menstruasi.
• Hormon pituitari
Prolaktin serum meningkat terjadi pada 2 minggu pertama, menurun sampai tidak ada pada ibu tidak menyusui FSH, LH, tidak ditemukan pada minggu I post partum.
• Sistem Kardiovaskuler
• Tanda-tanda vital
Tekanan darah sama saat bersalin, suhu meningkat karena dehidrasi pada awal post partum terjadi bradikardi.
• Volume darah
Menurun karena kehilangan darah dan kembali normal 3-4 minggu
Persalinan normal : 200 – 500 cc, sesaria : 600 – 800 cc.
• Perubahan hematologik
Ht meningkat, leukosit meningkat, neutrophil meningkat.
• Jantung
Kembali ke posisi normal, COP meningkat dan normal 2-3 minggu.
• Sistem Respirasi
Fungsi paru kembali normal, RR : 16-24 x/menit, keseimbangan asam-basa kembali setelah 3 minggu post partum.
• Sistem Gastrointestinal
• Mobilitas lambung menurun sehingga timbul konstipasi.
• Nafsu makan kembali normal.
• Kehilangan rata-rata berat badan 5,5 kg.
• Sistem Urinaria
• Edema pada kandung kemih, urethra dan meatus urinarius terjadi karena trauma.
• Pada fungsi ginjal: proteinuria, diuresis mulai 12 jam.
• Fungsi kembali normal dalam 4 minggu.
• Sistem Muskuloskeletal
Terjadi relaksasi pada otot abdomen karena terjadi tarikan saat hamil. Diastasis rekti 2-4 cm, kembali normal 6-8 minggu post partum.
• Sistem Integumen
Hiperpigmentasi perlahan berkurang.
• Sistem Imun
Rhesus incompability, diberikan anti RHO imunoglobin.

ASKEP FRAKTUR CRURIS

I. PENGERTIAN

Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000)

II. JENIS FRAKTUR
a. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.
b. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
c. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
d. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
e. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.
f. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
g. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen
h. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
i. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
j. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.

III. ETIOLOGI
a. Trauma
b. Gerakan pintir mendadak
c. Kontraksi otot ekstem
d. Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma

V. MANIFESTASI KLINIS
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
b. Pemeriksaan jumlah darah lengkap
c. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d. Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal
VII. PENATALAKSANAAN

a. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
b. Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
? Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan
? Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri
? Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau
? Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah

VIII. KOMPLIKASI
a. Malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali

IX. PENGKAJIAN
1. Pengkajian primer
- Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk
- Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
- Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
2. Pengkajian sekunder
a.Aktivitas/istirahat
? kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
? Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
? Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
? Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
? Tachikardi
? Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
? Cailary refil melambat
? Pucat pada bagian yang terkena
? Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
? Kesemutan
? Deformitas, krepitasi, pemendekan
? kelemahan
d. Kenyamanan
? nyeri tiba-tiba saat cidera
? spasme/ kram otot
e. Keamanan
? laserasi kulit
? perdarahan
? perubahan warna
? pembengkakan lokal


X. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
a. Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler
Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan
Kriteria hasil:
? Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
? Mempertahankan posisi fungsinal
? Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
? Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi:
a. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
b. Tinggikan ekstrimutas yang sakit
c. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
d. Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah fraktur ketika bergerak
e. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
f. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas
g. Ubah psisi secara periodik
h. Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi
b.Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang
Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
Kriteria hasil:
? Klien menyatajkan nyei berkurang
? Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
? Tekanan darahnormal
? Tidak ada eningkatan nadi dan RR
Intervensi:
a. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri
b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
c. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan
d. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
e. Jelaskanprosedu sebelum memulai
f. Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif
g. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan
h. Observasi tanda-tanda vital
i. Kolaborasi : pemberian analgetik

C. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan
Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan
Kriteria hasil:
? Penyembuhan luka sesuai waktu
? Tidak ada laserasi, integritas kulit baik

Intervensi:
a. Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainae
b. Monitor suhu tubuh
c. Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol
d. Lakukan alihposisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh
e. Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan
f. Masage kulit ssekitar akhir gips dengan alkohol
g. Gunakan tenaat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi
h. Kolaborasi emberian antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC
2. Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC
3. Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3. Jakarta. EGC
4. Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGC

ERITRODERMA

A. DEFINISI
• Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh , biasanya disertai skuama ( Arief Mansjoer , 2000 : 121 ).
• Eritroderma merupakan inflamasi kulit yang berupa eritema yang terdapat hampir atau di seluruh tubuh ( www. medicastore . com ).
• Dermatitis eksfoliata generalisata adalah suatu kelainan peradangan yang ditandai dengan eritema dan skuam yang hampir mengenai seluruh tubuh ( Marwali Harahap , 2000 : 28 )
• Dermatitis eksfoliata merupakan keadaan serius yang ditandai oleh inflamasi yang progesif dimana eritema dan pembentukan skuam terjadi dengan distribusi yang kurang lebih menyeluruh ( Brunner & Suddarth vol 3 , 2002 : 1878 ).

B. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya , penyakit ini dapat dibagikan dalam 2 kelompok :
1. Eritrodarma eksfoliativa primer
Penyebabnya tidak diketahui. Termasuk dalam golongan ini eritroderma iksioformis konginetalis dan eritroderma eksfoliativa neonatorum(5–0 % ).

2. Eritroderma eksfoliativa sekunder
a. Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya , sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.
b. Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken planus , psoriasis , pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus , dermatitis seboroik dan dermatitis atopik.
c. Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.
( Arief Mansjoer , 2000 : 121 : Rusepno Hasan 2005 : 239 )

C. ANATOMI
Kulit mepunyai tiga lapisan utama : Epidermis , Dermis dan Jaringan sub kutis. Epidermis ( lapisan luar ) tersusun dari beberapa lapisan tipis yang mengalami tahap diferensiasi pematangan.
Kulit ini melapisi dan melindungi organ di bawahnya terhadap kehilangan air , cedera mekanik atau kimia dan mencegah masuknya mikroorganisme penyebab penyakit. Lapisan paling dalam epidermis membentuk sel – sel baru yang bermigrasi kearah permukaan luar kulit. Epidermis terdalam juga menutup luka dan mengembalikan integritas kulit sel – sel khusus yang disebut melanosit dapat ditemukan dalam epidermis. Mereka memproduksi melanin , pigmen gelap kulit. Orang berkulit lebih gelap mempunyai lebih banyak melanosit aktif.


Epidermis terdiri dari 5 lapisan yaitu :
a. Stratum Korneum
Selnya sudah mati , tidak mempunyai intisel , intiselnya sudah mati dan mengandung zat keratin.
b. Stratum lusidum
Selnya pipih , bedanya dengan stratum granulosum ialah sel – sel sudah banyak yang kehilangan inti dan butir – butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus sinar.
Lapisan ini hanya terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki.
c. Stratum Granulosum
Stratum ini terdiri dari sel – sel pipih. Dalam sitoplasma terdapat butir–butir yang disebut keratohialin yang merupakan fase dalam pembentukan keratin.
d. Stratum Spinosum / Stratum Akantosum
Lapisan yang paling tebal.
e. Stratum Basal / Germinativum
Stratum germinativum menggantikan sel – sel yang diatasnya dan merupakan sel – sel induk.
Dermis terdiri dari 2 lapisan :
a. Bagian atas , papilaris ( stratum papilaris )
b. Bagian bawah , retikularis ( stratum retikularis )
Kedua jaringan tersebut terdiri dari jaringan ikat lonngar yang tersusun dari serabut – serabut kolagen , serabut elastis dan serabut retikulus
Serabut kolagen untuk memberikan kekuatan pada kulit. Serabut elastis memberikan kelenturan pada kulit.
Retikulus terdapat terutama di sekitar kelenjar dan folikel rambut dan memberikan kekuatan pada alat tersebut.
Subkutis
Terdiri dari kumpulan – kumpulan sel – sel lemak dan diantara gerombolan ini berjalan serabut – serabut jaringan ikat dermis.
Fungsi kulit :
- Proteksi - Pengatur suhu
- Absorbsi - Pembentukan pigmen
- Eksresi - Keratinisasi
- Sensasi - Pembentukan vit D
( Syaifuddin , 1997 : 141 – 142 )

D. PATOFISIOLOGI
Pada dermatitis eksfoliatif terjadi pelepasan stratum korneum ( lapisan kulit yang paling luar ) yang mencolok yang menyebabkan kebocoran kapiler , hipoproteinemia dan keseimbangan nitrogen yang negatif . Karena dilatasi pembuluh darah kulit yang luas , sejumlah besar panas akan hilang jadi dermatitis eksfoliatifa memberikan efek yang nyata pada keseluruh tubuh.
Pada eritroderma terjadi eritema dan skuama ( pelepasan lapisan tanduk dari permukaan kult sel – sel dalam lapisan basal kulit membagi diri terlalu cepat dan sel – sel yang baru terbentuk bergerak lebih cepat ke permukaan kulit sehingga tampak sebagai sisik / plak jaringan epidermis yang profus.
Mekanisme terjadinya alergi obat seperti terjadi secara non imunologik dan imunologik ( alergik ) , tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanismee imunologik, alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan sebagai antigen yang tidak lengkap ( hapten ). Obat / metaboliknya yang berupa hapten ini harus berkojugasi dahulu dengan protein misalnya jaringan , serum / protein dari membran sel untuk membentuk antigen obat dengan berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap.
( Brunner & Suddarth vol 3 , 2002 : 1878 )

E. PATHWAY

F. MANIFESTASSI KLINIS
• Eritroderma akibat alergi obat , biasanya secara sistemik. Biasanya timbul secara akut dalam waktu 10 hari. Lesi awal berupa eritema menyeluruh , sedangkan skuama baru muncul saat penyembuhan.
• Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit yang tersering addalah psoriasis dan dermatitis seboroik pada bayi ( Penyakit Leiner ).
– Eritroderma karena psoriasis
Ditemukan eritema yang tidak merata. Pada tempat predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan agak meninngi daripada sekitarnya dengan skuama yang lebih kebal. Dapat ditemukan pitting nail.
– Penyakit leiner ( eritroderma deskuamativum )
Usia pasien antara 4 -20 minggu keadaan umum baik biasanya tanpa keluhan. Kelainan kulit berupa eritama seluruh tubuh disertai skuama kasar.
– Eritroderma akibat penyakit sistemik , termasuk keganasan. Dapat ditemukan adanya penyakit pada alat dalam , infeksi dalam dan infeksi fokal. ( Arif Masjoor , 2000 : 121 )

G. KOMPLIKASI
Komplikasi eritroderma eksfoliativa sekunder :
- Abses - Limfadenopati
- Furunkulosis - Hepatomegali
- Konjungtivitis - Rinitis
- Stomatitis - Kolitis
- Bronkitis
( Ruseppo Hasan , 2005 : 239 : Marwali Harhap , 2000 , 28 )

H. PENGKAJIAN FOKUS
Pengkajian keperawatan yang berkelanjutan dilaksanakan untuk mendeteksi infeksi. Kulit yang mengalami disrupsi , eritamatosus serta basah amat rentan terhadap infeksi dan dapat menjadi tempat kolonisasi mikroorganisme pathogen yang akan memperberat inflamasi antibiotik , yang diresepkan dokter jika terdapat infeksi , dipilih berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas.

I. BIODATA
a. Jenis Kelamin
Biasnya laki – lak 2 -3 kali lebih banyak dari perempuan.
b. Riwayat Kesehatan
– Riwayat penyakit dahulu ( RPM )
Meluasnya dermatosis keseluruh tubuh dapat terjadi pada klien planus , psoriasis , pitiasis rubra pilaris , pemfigus foliaseus , dermatitis. Seboroik dan dermatosiss atopik , limfoblastoma.
– Riwayat Penyakit Sekarang
Mengigil panas , lemah , toksisitas berat dan pembentukan skuama kulit.

c. Pola Fungsi Gordon
1. Pola Nutrisi dan metabolisme
Terjadinya kebocoran kapiler , hipoproteinemia dan keseimbangan nitrogen yang negative mempengaruhi keseimbangan cairan tubuh pasien ( dehidrasi ).
2. Pola persepsi dan konsep diri
– Konsep diri
Adanya eritema ,pengelupasan kulit , sisik halus berupa kepingan / lembaran zat tanduk yang besr – besar seperti keras selafon , pembentukan skuama sehingga mengganggu harga diri.
3. Pemeriksaan fisik
a. KU : lemah
b. TTV : suhu naik atau turun.
c. Kepala
Bila kulit kepala sudah terkena dapat terjadi alopesia.
d. Mulut
Dapat juga mengenai membrane mukosa terutama yang disebabkan oleh obat.
e. Abdomen
Adanya limfadenopati dan hepatomegali.
f. Ekstremitas
Perubahan kuku dan kuku dapat lepas.
g. Kulit
Kulit periorbital mengalami inflamasi dan edema sehingga terjadi ekstropion pada keadaan kronis dapat terjadi gangguan pigmentasi. Adanya eritema , pengelupasan kulit , sisik halus dan skuama.
( Marwali Harahap , 2000 : 28 – 29 : Rusepno Hasan , 2005 : 239 , Brunner & Suddarth , 2002 : 1878 ).

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN FOKUS INTERVENSI
1. Gangguan integritas kulit bd lesi dan respon peradangan
Kriteria hasil : - menunjukkan peningkatan integritas kulit
- menghindari cidera kulit
Intervensi
a. kaji keadaaan kulit secara umum
b. anjurkan pasien untuk tidak mencubit atau menggaruk daerah kulit
c. pertahankan kelembaban kulit
d. kurangi pembentukan sisik dengan pemberian bath oil
e. motivasi pasien untuk memakan nutrisi TKTP
2. Gangguan rasa nyaman : gatal bd adanya bakteri / virus di kulit
Tujuan : setelah dilakuakn asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi luka pada kulit karena gatal
Kriteria hasil : - tidak terjadi lecet di kulit
- pasien berkurang gatalnya
Intervensi
a. beritahu pasien untuk tidak meggaruk saat gatal
b. mandikan seluruh badan pasien ddengan Nacl
c. oleskan badan pasien dengan minyak dan salep setelah pakai Nacl
d. jaga kebersihan kulit pasien
e. kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat pengurang rasa gatal
3. Resti infeksi bd hipoproteinemia
Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil : - tidak ada tanda – tanda infeksi
( rubor , kalor , dolor , fungsio laesa )
- tidak timbul luka baru
Intervensi
a. monitor TTV
b. kaji tanda – tanda infeksi
c. motivasi pasien untuk meningkatkan nutrisi TKTP
d. jaga kebersihan luka
e. kolaborasi pemberian antibiotik

DAFTAR PUSTAKA

- Brunner 7 Suddarth vol 3 , 2002. KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH, Jakarta : EGG
- Doenges M E. 1999. Rencana asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan dokumentasi perawatan pasien edisi 3 , Jakarta : EGC
- Harahap Marwali 2000 , Ilmu Penyakit Kulit , Jakarta : Hipokrates
- Hasan Rusepno 2005 , Ilmu Keperawatan Anak , Jakarta : FKUI
- Mansjoer , Arief , 2000 , Kapita Selekta Kedokteran , Jakarta : EGC
- Syaifudin , 1997 , anatomi Fisiologi , Jakarta : EGC

HERNIA NUKLEUS PULPOSUS

Pengertian
Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus pulposus. HNP merupakan rupturnya nukleus pulposus. (Brunner & Suddarth, 2002)

Hernia Nukleus Pulposus bisa ke korpus vertebra diatas atau bawahnya, bisa juga langsung ke kanalis vertebralis. (Priguna Sidharta, 1990)

Patofisiologi
Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setela trauma *jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera.
Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan gejala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya mendorong ke arah medula spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.


Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-tengah tidak ada radiks yang terkena. Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior.
Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.

Manifestasi Klinis
Nyeri dapat terjadi pada bagian spinal manapun seperti servikal, torakal (jarang) atau lumbal. Manifestasi klinis bergantung pada lokasi, kecepatan perkembangan (akut atau kronik) dan pengaruh pada struktur disekitarnya. Nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).

Pemeriksaan Diagnostik
1. RO Spinal : Memperlihatkan perubahan degeneratif pada tulang belakang
2. M R I : untuk melokalisasi protrusi diskus kecil sekalipun terutama untuk penyakit spinal lumbal.
3. CT Scan dan Mielogram jika gejala klinis dan patologiknya tidak terlihat pada M R I
4. Elektromiografi (EMG) : untuk melokalisasi radiks saraf spinal khusus yang terkena.

Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah defisit neurologik.
Macam :
a. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral
b. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada kanalis spinalis, memungkinkan ahli bedah untuk menginspeksi kanalis spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medula dan radiks
c. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra.
d. Disektomi dengan peleburan.
2. Immobilisasi
Immobilisasi dengan mengeluarkan kolor servikal, traksi, atau brace.
3. Traksi
Traksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada katrol dan beban.
4. Meredakan Nyeri
Kompres lembab panas, analgesik, sedatif, relaksan otot, obat anti inflamasi dan jika perlu kortikosteroid.

Pengkajian
1. Anamnesa
Keluhan utama, riwayat perawatan sekarang, Riwayat kesehatan dahulu, Riwayat kesehatan keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian terhadap masalah pasien terdiri dari awitan, lokasi dan penyebaran nyeri, parestesia, keterbatasan gerak dan keterbatasan fungsi leher, bahu dan ekstremitas atas. Pengkajian pada daerah spinal servikal meliputi palpasi yang bertujuan untuk mengkaji tonus otot dan kekakuannya.
3. Pemeriksaan Penunjang


Diagnosa Keperawatan yang Muncul
1. Nyeri b.d Kompresi saraf, spasme otot
2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus
3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis dan tindakan pengobatan.

Intervensi
1. Nyeri b.d kompresi saraf, spasme otot
a. Kaji keluhan nyeri, lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus / yang memperberat. Tetapkan skala 0 – 10
b. Pertahankan tirah baring, posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi, posisi telentang
c. Gunakan logroll (papan) selama melakukan perubahan posisi
d. Bantu pemasangan brace / korset
e. Batasi aktifitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan
f. Ajarkan teknik relaksasi
g. Kolaborasi : analgetik, traksi, fisioterapi

2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus
a. Berikan / bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif
b. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
c. Berikan perawatan kulit dengan baik, masase titik yang tertekan setelah rehap perubahan posisi. Periksa keadaan kulit dibawah brace dengan periode waktu tertentu.
d. Catat respon emosi / perilaku pada immobilisasi
e. Demonstrasikan penggunaan alat penolong seperti tongkat.
f. Kolaborasi : analgetik

3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
a. Kaji tingkat ansietas pasien
b. Berikan informasi yang akurat
c. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan masalah seperti kemungkinan paralisis, pengaruh terhadap fungsi seksual, perubahan peran dan tanggung jawab.
d. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhannya.
e. Libatkan keluarga

4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis
a. Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis dan pembatasan kegiatan
b. Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat dan menggunakan sepatu penyokong
c. Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya.
d. Anjurkan untuk menggunakan papan / matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup.
e. Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama
f. Berikan informasi mengenai tanda-tanda yang perlu diperhatikan seperti nyeri tusuk, kehilangan sensasi / kemampuan untuk berjalan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer, Suzane C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth edisi 8 Vol 3, Jakarta : EGC, 2002
2. Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC, 2000.
3. Tucker,Susan Martin,Standar Perawatan Pasien edisi 5, Jakarta : EGC, 1998.
4. Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.
5. Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996.
6. Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1993

SINUSITIS

DEFINISI :
Sinusitis adalah : merupakan penyakit infeksi sinus yang disebabkan oleh kuman atau virus.

ETIOLOGI
a. Rinogen
Obstruksi dari ostium Sinus (maksilaris/paranasalis) yang disebabkan oleh :
• Rinitis Akut (influenza)
• Polip, septum deviasi
b. Dentogen
Penjalaran infeksidari gigi geraham atas
Kuman penyebab :
- Streptococcus pneumoniae
- Hamophilus influenza
- Steptococcus viridans
- Staphylococcus aureus
- Branchamella catarhatis

GEJALA KLINIS :
a. Febris, filek kental, berbau, bisa bercampur darah
b. Nyeri :
- Pipi : biasanya unilateral
- Kepala : biasanya homolateral, terutama pada sorehari
- Gigi (geraham atas) homolateral.
c. Hidung :
- buntu homolateral
- Suara bindeng.
CARA PEMERIKSAAN
a. Rinoskopi anterior :
- Mukosa merah
- Mukosa bengkak
- Mukopus di meatus medius.
b. Rinoskopi postorior
- mukopus nasofaring.
c. Nyeri tekan pipi yang sakit.
d. Transiluminasi : kesuraman pada ssisi yang sakit.
e. X Foto sinus paranasalis
- Kesuraman
- Gambaran “airfluidlevel”
- Penebalan mukosa

PENATALAKSANAAN :
a. Drainage
- Medical :
* Dekongestan lokal : efedrin 1%(dewasa) ½%(anak)
* Dekongestan oral :Psedo efedrin 3 X 60 mg
- Surgikal : irigasi sinus maksilaris.
b. antibiotik diberikan dalam 5-7 hari (untk akut) yaitu :
- ampisilin 4 X 500 mg
- amoksilin 3 x 500 mg
- Sulfametaksol=TMP (800/60) 2 x 1tablet
- Diksisiklin 100 mg/hari.
c. Simtomatik
- parasetamol., metampiron 3 x 500 mg.
d. Untuk kromis adalah :
- Cabut geraham atas bila penyebab dentogen
- Irigasi 1 x setiap minggu ( 10-20)
- Operasi Cadwell Luc bila degenerasi mukosa ireversibel (biopsi)

TINJAUAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN :
1. Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,,
2. Riwayat Penyakit sekarang :
3. Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, tenggorokan.
4. Riwayat penyakit dahulu :
- Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
- Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
- Pernah menedrita sakit gigi geraham

5. Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.

6. Riwayat spikososial
a. Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih0
b. Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksanahidup sehat
- Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping
b. Pola nutrisi dan metabolisme :
- biasanya nafsumakan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung
c. Pola istirahat dan tidur
- selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek
d. Pola Persepsi dan konsep diri
- klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsepdiri menurun
e. Pola sensorik
- daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).

8. Pemeriksaan fisik
a. status kesehatan umum : keadaan umum , tanda viotal, kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).

Data subyektif :
1. Observasi nares :
a. Riwayat bernafas melalui mulut, kapan, onset, frekwensinya
b. Riwayat pembedahan hidung atau trauma
c. Penggunaan obat tetes atau semprot hidung : jenis, jumlah, frekwensinyya , lamanya.

2. Sekret hidung :
a. warna, jumlah, konsistensi secret
b. Epistaksis
c. Ada tidaknya krusta/nyeri hidung.

3. Riwayat Sinusitis :
a. Nyeri kepala, lokasi dan beratnya
b. Hubungan sinusitis dengan musim/ cuaca.
4. Gangguan umum lainnya : kelemahan

Data Obyektif
1. Demam, drainage ada : Serous
Mukppurulen
Purulen
2. Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung dan sinus yang mengalami radang ? Pucat, Odema keluar dari hidng atau mukosa sinus
3. Kemerahan dan Odema membran mukosa
4. Pemeriksaan penunjung :
a. Kultur organisme hidung dan tenggorokan
b. Pemeriksaan rongent sinus.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri : kepala, tenggorokan , sinus berhubungan dengan peradangan pada hidung
2. Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan klien tentang penyakit dan prosedur tindakan medis(irigasi sinus/operasi)
3. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan dengan obstruksi /adnya secret yang mengental
4. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan hiidung buntu., nyeri sekunder peradangan hidung
5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nafus makan menurun sekunder dari peradangan sinus
6. Gangguan konsep diri berhubungan dengan bau pernafasan dan pilek

PERENCANAAN
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peradangan pada hidung

Tujuan : Nyeri klien berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
- Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan berkurang atau hilang
- Klien tidak menyeringai kesakitan



INTERVENSI RASIONAL
INTERVENSI

RASIONAL
a. Kaji tingkat nyeri klien


b. Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya


c. Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi


d. Observasi tanda tanda vital dan keluhan klien





e. Kolaborasi dngan tim medis :
1) Terapi konservatif :
- obat Acetaminopen; Aspirin, dekongestan hidung
- Drainase sinus
2) Pembedahan :
- Irigasi Antral :
Untuk sinusitis maksilaris
- Operasi Cadwell Luc


a. Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan tindakan selanjutnya


b. Dengan sebab dan akibat nyeri diharapkan klien berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri


c. Klien mengetahui tehnik distraksi dn relaksasi sehinggga dapat mempraktekkannya bila mengalami nyeri


d. Mengetahui keadaan umum dan perkembangan kondisi klien.


e. Menghilangkan /mengurangi keluhan nyeri klien

2. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien tentang penyakit dan prosedur tindakan medis (irigasi/operasi)
Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang
Kriteria :
- Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya
- Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.

INTERVENSI RASIONAL
INTERVENSI

RASIONAL

a. Kaji tingkat kecemasan klien

b. Berikan kenyamanan dan ketentaman pada klien :
- Temani klien
- Perlihatkan rasa empati( datang dengan menyentuh klien )

c. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya perlahan, tenang seta gunakan kalimat yang jelas, singkat mudah dimengerti

d. Singkirkan stimulasi yang berlebihan misalnya :
- Tempatkan klien diruangan yang lebih tenang
- Batasi kontak dengan orang lain /klien lain yang kemungkinan mengalami kecemasan

e. Observasi tanda-tanda vital.

f. Bila perlu , kolaborasi dengan tim medis


a. Menentukan tindakan selanjutnya

b. Memudahkan penerimaan klien terhadap informasi yang diberikan

c. Meingkatkan pemahaman klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih kooperatif

d. Dengan menghilangkan stimulus yang mencemaskan akan meningkatkan ketenangan klien.

e. Mengetahui perkembangan klien secara dini.
f. Obat dapat menurunkan tingkat kecemasan klien


3. Jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obtruksi (penumpukan secret hidung) sekunder dari peradangan sinus
Tujuan : Jalan nafas efektif setelah secret (seous,purulen) dikeluarkan
Kriteria :
- Klien tidak bernafas lagi melalui mulut
- Jalan nafas kembali normal terutama hidung


INTERVENSI RASIONAL
INTERVENSI

RASIONAL

a. kaji penumpukan secret yang ada

b. Observasi tanda-tanda vital.

c. Koaborasi dengan tim medis untuk pembersihan sekret


a. Mengetahui tingkat keparahan dan tindakan selanjutnya
b. Mengetahui perkembangan klien sebelum dilakukan operasi
c. Kerjasama untuk menghilangkan penumpukan secret/masalah

4. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nafus makan menurun sekunder dari peradangan sinus
Tujuan : kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi
Kriteria :
- Klien menghabiskan porsi makannya
- Berat badan tetap (seperti sebelum sakit ) atau bertambah

INTERVENSI RASIONAL
INTERVENSI

RASIONAL

a. kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi klien
b. Jelaskan pentingnya makanan bagi proses penyembuhan

c. Catat intake dan output makanan klien.
d. Anjurkan makan sediki-sedikit tapi sering

e. Sajikan makanan secara menarik


a. Mengetahui kekurangan nutrisi klien
b. Dengan pengetahuan yang baik tentang nutrisi akan memotivasi meningkatkan pemenuhan nutrisi
c. Mengetahui perkembangan pemenuhan nutrisi klien
d. Dengan sedikit tapi sering mengurangi penekanan yang berlebihan pada lambung
e. Mengkatkan selera makan klien

5. Gangguan istirahat dan tidur berhubungan dengan hidung buntu, nyeri sekunder dari proses peradangan
Tujuan : klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman
Kriteria :
- Klien tidur 6-8 jam sehari
INTERVENSI RASIONAL
INTERVENSI

RASIONAL

a. kaji kebutuhan tidur klien.
b. ciptakan suasana yang nyaman.
c. Anjurkan klien bernafas lewat mulut
d. Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat


a. Mengetahui permasalahan klien dalam pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
b. Agar klien dapat tidur dengan tenang
c. Pernafasan tidak terganggu.
d. Pernafasan dapat efektif kembali lewat hidung



DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M. G. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3 EGC, Jakarta 2000

Lab. UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan tenggorokan FK Unair, Pedoman diagnosis dan Terapi Rumah sakit Umum Daerah dr Soetom FK Unair, Surabaya
Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta

askep Pada Klien Dengan CHF

for everyone

CHF (Congestif Heart Failure)

A. Konsep Penyakit

1. Pengertian

Gagal jantung disebut juga CHF (Congestive Heart Failure) atau Decomp Cordis.

· Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk matabolisme jaringan. (Sylvia A Price dan Lorraine M.Wilson.1995:583)

· Gagal jantung adalah suatu keadaan ketidakmampuan untuk memompakan darah keseluruhan tubuh sesuai dengan kebutuhan metabolisme. (National Cardiovasculer Harkit.2001:119)

· Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat, ditandai dengan dispneu, dilatasi vena dan edema. (Kamus Kedokteran Dorland.1998:291)

Kesimpulan:

Berdasarkan pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa gagal jantung adalah keadaan ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke seluruh tubuh sesuai dengan kebutuhan.



2. Anatomi dan Fisiologi

Jantung merupakan sebuah organ yang terdiri dari otot jantung, bentuk dan susunannya sama dengan otot serat lintang tetapi cara kerjanya menyerupai otot polos yaitu di luar kesadaran.

· Bentuk

Menyerupai jantung pisang, bagian atasnya tumpul dan disebut juga basis cordis. Disebelah bawah agak runang disebut apex cordis.





· Letak

Di dalam rongga dada sebelah depan (cavum mediastinum arteriol), sebelah kiri bawah dari pertengahan rongga dada, di atas diafragma dan pangkalnya dibelakang kiri ICS 5 dan ICS 6 dua jari dibawah papilla mammae. Pada tempat itu teraba adanya pukulan jantung yang disebut Ictus Cordis.

· Ukuran

Kurang lebih sebesar kepalan tangan dengan berat kira-kira 250-300 gram.

· Lapisan

Endokardium :Lapisan jantung sebelah dalam, yang menutupi katup jantung.

Miokardium :Lapisan inti dari jantung yang berisi otot untuk berkontraksi.

Perikardium :lapisan bagian luar yang berdekatan dengan pericardium viseralis.

Jantung sebagai pompa karena fungsi jantung adalah untuk memompa darah sehingga dibagi jadi dua bagian besar, yaitu pompa kiri dan pompa kanan.

Pompa jantung kiri: peredaran darah yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh dimulai dari ventrikel kiri-aorta-arteri-arteriola-kapiler-venula-vena cava superior dan inferior-atrium kanan.

Pompa jantung kanan: peredaran darah kecil yang mengalirkan darah ke pulmonal, dimulai dari ventrikel kanan-arteri pulmonalis-4 vena pulmonalis-atrium kiri.

Gerakan jantung terhadap dua jenis, yaitu konstriksi (sistol) dan relaksasi (diastole) dari kedua atrium, terjadi serentak yang disebut sistol atrial dan diastole atrial. Konstriksi ventrikel kira-kira 0,3 detik dan tahap dilatasi selama 0,5 detik. Konstriksi kedua atrium pendek, sedang konstriksi ventrikel lebih lama dan lebih kuat. Daya dorong dari vantrikel kiri harus lebih kuat karena harus mendorong darah ke seluruh tubuh untuk mempertahankan tekanan darah sistemik.

Meskipun ventrikel kanan juga memompakan darah yang sama, tapi tugasny hanya mengalirkan darah ke sekitar paru-paru dimana tekanannya lebih rendah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pompa jantung

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan aliran jantung normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO=HR X SV dimana curah jantung (CO/Cardiac Output) adalah fungsi frekuansi jantung (HR) dan volume sekuncup (SV/Stroke Volume)

Frekuensi janung adalah fungsi system saraf otonom. Bila curah jantung berkurang, system saraf akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.

Tetapi pada gagal jantung dengan maslah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahanka.

Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi jantung tergantung pada 3 faktor yaitu:

· Preload :adalah sinonim dengan hokum starling pada jantung yang menyatakan jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh regangan otot jantung.

· Kontraktilitas :mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel yang berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium.

· Afterload :mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompakan darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriol.



3. Etiologi

Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit jantung congenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis, yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium pada keadaan dimana terjadi penurunan pada infark miokardium dan cardiomiopati. Selain ketiga makanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung, ada factor fisiologis lain yang dapat pula mengakibatkan jantung gagal bekerja sebagai pompa. Factor-faktpr yang mengganggu pengisisan ventrikel seperti stenosis katup atrioventrikuler dapat menyebabkan gagal jantung.

Penyebab gagal pompa jantung secara menyeluruh:

a. Kelainan mekanis

· Peningkatan beban tekanan

Ø Sentral (stenosis aorta)

Ø Perifer (hipertensi sistemik)

· Peningkatan beban volume (regurgitasi katup, peningkatan beban awal)

· Obstruksi terhadap ventrikel (stenosis mitralis atau trikuspidalis)

· Tamponade pericardium

· Restruksi endokardium atau miokardium

· Aneurisma ventrikel

· Dis-sinergi ventrikel





b. Kelainan miokardium

1) Primer

· Kardiomiopati

· Miokarditis

· Kelainan metabolic

· Toksisitas (alcohol, kobalt)

· Preskardia

2) Kelainan dis-dinamik sekunder (sekunder terhadap kelainan mekanis)

· Kekurangan 02

· Kelainan metabolic

· Inflamasi

· Penyakit sistemik

· Penyakit paru obstrusi menahun (PPOM)

c. Berubahnya irama jantung atau urutan konduksi

· Henti jantung

· Fibrilasi

· Tachycardia atau bradicardia yang berat

· Asim kronis listrik, gangguan konduksi



4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis gagal jantung secara keseluruhan sangat bergantung pada etiologinya. Namun dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Ortopnea, yaitu sesak saat berbaring

b. Dyspnea On Effert (DOE), yaitu sesak bila melakukan aktivitas

c. Paroxymal Nocturnal Dyspnea (PND), yaitu sesak napas tiba-tiba pada malam hari disertai batuk

d. Berdebar-debar

e. Lekas capek

f. Batuk-batuk

Gambaran klinis gagal jantung kiri:

a. Sesak napas dyspnea on effert, paroxymal nocturnal dyspnea

b. Pernapasan cheyne stokes

c. Batuk-batuk

d. Sianosis

e. Suara sesak

f. Ronchi basah, halus, tidak nyaring di daerah basal paru hydrothorax

g. Kelainan jantung seperti pembesaran jantung, irama gallop, tachycardia

h. BMR mungkin naik

i. Kelainan pada foto roentgen

Gambaran klinis gagal jantung kanan:

a. Edema pretibia, edema presakral, asites dan hydrothorax

b. Tekanan vena jugularis meningkat (hepato jugular refluks)

c. Gangguan gastrointestinal, anorexia, mual, muntah, rasa kembung di epigastrium

d. Nyeri tekan mungkin didapati gangguan fungsi hati tetapi perbandingan albumin dan globulin tetap, splenomegali, hepatomegali

e. Gangguan ginjal, albuminuria, silinder hialin, glanular, kadar ureum meninggi (60-100%), oligouria, nocturia

f. Hiponatremia, hipokalemia, hipoklorimia



5. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang terjadi akibat gagal jantung:

1) Syok kardiogenik

Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang mengakibatkan gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan yang khas pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40 % atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri dan nekrosis vocal di seluruh ventrikel karena ketidakseimbangan antara kebutuhan dan supply oksigen miokardium.



2) Edema paru

Edema paru terjadi dengan cara yang sama seperti edema dimana saja didalam tubuh. Factor apapun yang menyebabkan cairan interstitial paru meningkat dari batas negative menjadi batas positif.

Penyebab kelainan paru yang paling umum adalah:

a. Gagal jantung sisi kiri (penyakit katup mitral) dengan akibat peningkatan tekanan kapiler paru dan membanjiri ruang interstitial dan alveoli.

b. Kerusakan pada membrane kapiler paru yang disebabkan oleh infeksi seperti pneumonia atau terhirupnya bahan-bahan yang berbahaya seperti gas klorin atau gas sulfur dioksida. Masing-masing menyebabkan kebocoran protein plasma dan cairan secara cepat keluar dari kapiler.



6. Test Diagnostik

Kegagalan jantung diagnosa khas berdasarkan temuan-temuan, tanda-tanda dan gejala klinis dan diketahui. Factor-faktor pencetus, test diagnostic yang dilakukan antara lain:

a) Electrocardiogram (ECG)

Hipertrofi atrial atau ventricular, penyimpangan aksis, iskemia dan kerusakan pola mungkin terlihat dysritmia misalnya: tachycardia, fibrilasi atrial.

b) Sonogram

Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi atau struktur katup atau area penurunan kontraktilitas ventrikel.

c) Scan jantung (multigooted adivisiton (MUGA))

Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan geraka dinding.

d) Kateterisasi jantung

Tekanan abnormal merupakan indikasi dna membantu membedakan gagal jantung sisi kanan versus kiri dan stenosis katup atau insufisiensi juga mengkaji potensi arteri koroner. Zat kontras disuntikkan ke dalam ventrikel menunjukkan ukuran abnormal dan perubahan kontraktilitas.

e) Rontgent dada

Dapat menunjukkan pembesaran jantung. Bayangan mencerminkan dilatasi atau hipertropi bilik atau perubahan dalam pembuluh darah mencerminkan peningkatan tekanan pulmonal abnormal misalnya: pulgus pada pembesaran jantung kiri dapat menunjukkan aneurisma ventrikel.

f) Enzim hepar

Meningkat dalam gagal atau kongesti hepar.

g) Elektrolit

Mungkin berubah karena perpindahan cairan atau penurunan fungsi ginjal, terapi diuretic.

h) Oksimetri nadi

Saturasi oksigen mungkin rendah, terutama jika gagal jantung kiri akut memperburuk PPOM atau gagal jantung kiri kronis.

i) AGD

Gagal ventrikel ditandai dengan alkalosis respiratorik ringan (dini) atau hipoksemia sengan peningkatan PCO2 akhir.

j) Kreatinin

Peningkatan BUN menandakan penurunan perfusi ginjal.

k) Albumin/transforin serum

Mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein atau penurunan syntesis dalam hepar yang mengalami kongesti.

l) HSD

Mungkin menentukan anemia, polysitemia atau perubahan kepekatan menandakan retensi air mungkin meningkat, menunjukkan infark akut.





7. Penatalaksanaan

a. Istirahat

b. Diit, diit jantung, makanan lunak, rendah garam

c. Pemberian digitalis, membantu kontraksi jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Hasil yang diharapkan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah dan peningkatan diuresis akan mengurangi edema. Pada saat pemberian ini pasien harus dipantau terhadap hilangnya dispnea, ortopnea, berkurangnya krekel, dan edema perifer. Apabila terjadi keracunan ditandai dengan anoreksia, mual dan muntah namun itu gejala awal selanjutnya akan terjadi perubahan irama, bradikardi kontrak ventrikel premature, bigemini (denyut normal dan premature saling berganti ), dan takikardia atria proksimal

d. Pemberian Diuretic, yaitu unutuk memacu eksresi natrium dan air melalui ginjal. Bila sudah diresepkan harus diberikan pada siang hari agar tidak mengganggu istirahat pasien pada malam hari, intake dan output pasien harus dicatat mungkin pasien dapat mengalami kehilangan cairan setelah pemberian diuretic, pasien juga harus menimbang badannya setiap hari turgor kulit untuk menghindari terjadinya tanda-tanda dehidrasi

e. Morfin, diberikan untuk mengurangi sesak napas pada asma cardial, hati-hati depresi pernapasan

f. Pemberian oksigen

g. Terapi vasodilator dan natrium nitropurisida, obat-obatan vasoaktif merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan gagal jantung untuk mengurangi impedansi (tekanan) terhadap penyemburan darah oleh ventrikel.









8. Klasifikasi

gagal jantung berdasatkan derajat fungsional:

Kelas I :timbul gejala sesak pada aktivitas fisik yang berat, aktivitas sehari-hari tidak terganggu.

Kelas II :timbul gejala sesak pada aktivitas sedang, aktivitas sehari-hari sedikit terganggu.

Kelas III :timbul gejala sesak pada aktivitas ringan, aktivitas sehari-hari terganggu.

Kelas IV :timbul gejala sesak pada aktivitas sangat ringan atau istirahat.

Sumber: Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler Bidang Pelatihan Harapan Kita).



9. patoflowdiagram

ETIOLOGI : Merokok, kolesterol tinggi, exercise kurang, keturunan



Hipertensi



Kompensasi jantung bekerja semakin berat



Penurunan kerja jantung



CHF



Stroke volume menurun



Cardiac output menurun



Penurunan fungsi pompa jantung kanan penurunan fungsi pompa jtg kiri





Residu darah diventrikel kanan meningkat residu darah diventrikel kiri



Terjadi peningkatan tek. Pada V.kanan terjadi peningkatan tek. Pada V.kiri



Darah masuk keatrium kanan darah masuk keatas atrium kiri



Peningkatan tek. Diatrium kanan terjadi peningkatan tek. Pd atrium kiri



Darah refluk keatas è vena

V.kiri menurun darah masuk V.pulmonal





V.cava superior V.cava inferior SV menurun cairan meningkat diparu



Tjd kekurangan O2 diotak edema ekstremitas -edema paru

-Suara serak

-Batuk

-orthopnea



Letargi/kelemahan -kelemahan otot

-GI track : anoreksia

Pusing -perkemihan : urine sedikit



CO menurun



Supply ginjal menurun



Jml Urine menurun









B. Konsep Asuhan Keperawatan pada CHF

1. Pengkajian

a. Identitas

b. Makanan atau cairan

Gejala:

· Kehilangan nafsu makan

· Mual dan muntah

· Pembengkakan pada ekstremitas

· Diit tinggi garam atau lemak, gula dan kafein

c. Eliminasi

Gejala:

· Penurunan berkemih, urin berwarna gelap

· Berkemih pada malam hari

· Diare atau konstipasi

d. Aktivitas istirahat

Gejala:

· Keletihan atau kelelahan terus-menerus sepanjang hari

· Insomnia

· Nyeri dada dengan aktivitas

e. Sirkulasi

Gejala:

· Riwayat hipertensi

· Bedah jantung

· Anemia

· Endokarditis

f. Integritas ego

Gejala:

· Ansietas, kuatir dan takut

· Stress yang berhubungan dengan penyakit



g. Kenyamanan

Gejala:

· Nyeri dada, angina akut atau kronis

· Sakit pada otot

h. Pernapasan

Gejala:

· Dyspnea pada saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal

i. Interaksi social

Gejala:

· Penurunan keikutsertaan dalam aktifitas social yang bias dilakukan

j. Keamanan

Gejala:

· Perubahan dalam fungsi mental

· Kehilangan kekuatan atau tonus otot

· Kulit lecet

2. Diagnosa Keperawatan

1) Curah jantung menurun b.d

· Perubahan kontraktilitas miokardial atau perubahan inotropik.

· Perubahan frekuensi, irama, konduksi jantung.

· Perubahan struktural. (mis: kelainan katup, aneurisma ventrikel)

Intervensi:

Intervensi


Rasional

1. Auskultasi nadi apical, kaji frekuensi, irama jantung.


Biasanya terjadi tachycardia untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas jantung.

2. Catat bunyi jantung.


S1 dan s2 lemah, karena menurunnya kerja pompa S3 sebagai aliran ke dalam serambi yaitu distensi. S4 menunjukkan inkopetensi atau stenosis katup.

3. Palpasi nadi perifer.


Untuk mengetahui fungsi pompa jantung yang sangat dipengaruhi oleh CO dan pengisisan jantung.

4. Pantau tekanan darah.


Untuk mengetahui fungsi pompa jantung yang sangat dipengaruhi oleh CO dan pengisisan jantung.

5. Pantau keluaran urine, catat penurunan keluaran, dan kepekatan atau konsentrasi urine.


Dengan menurunnya CO mempengaruhi suplai darah ke ginjal yang juga mempengaruhi pengeluaran hormone aldosteron yang berfungsi pada proses pengeluaran urine.

6. Kaji perubahan pada sensori contoh: letargi, bingung, disorientasi, cemas dan depresi.


Menunjukkan tidak adekuatnya perfusi serebral sekunder terhadap penurunan curah jantung.

7. Berikan istirahat semi recumbent (semi-fowler) pada tempat tidur.


Memperbaiki insufisiensi kontraksi jantung dan menurunkan kebutuhan oksigen dan penurunan venous return.

8. Kolaborasi dengan dokter untuk terapi, oksigen, obat jantung, obat diuretic dan cairan.


Membantu dalam proses kimia dalam tubuh.



2) Intoleransi aktivitas b.d

· Kelemahan, kelelahan.

· Perubahan tanda vital, adanya dysritmia.

· Dyspnea.

· Pucat.

· Berkeringat.

Intervensi:

Intervensi


Rasional

1. Periksa tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas, khususnya bila pasien menggunakan vasodilator, diuretic.


Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat (vasodilatasi), perpindahan cairan atau pengaruh fungsi jantung.

2. Catat respon kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, disritmia, dispnea, berkeringat, pucat.


Penurunan atau ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas dapat menyebabkan peningkatan segera frekuensi jantung.

3. Kaji penyebab kelemahan contoh pengobatan, nyeri, obat.


Kelemahan adalah efek samping beberapa obat (beta bloker, traquilizer, sedative), nyeri dan program penuh stress juga memerlukan energi dan menyebabkan kelemahan.

4. Evaluasi peningkatan intoleransi aktivitas.


Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung daripada kelebihan aktivitas.

5. Berikan bantuan dalam aktivitas perawatan diri sesuai indikasi, selingi periode aktivitas dengan istirahat.


Pemenuhan kebutuhan perawatan diri pasien tanpa mempengaruhi stress miokard.

6. Implementasikan program rehabilitasi jantung atau aktivitas.


Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindarai kerja jantung atau konsumsi oksigen berlebih. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah stress, bila disfungsi jantung tidak dapat baik kembali.



3)



















































Kelebihan volume cairan b.d

· Menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung) atau meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium dan air.



Intervensi


Rasional

1. Pantau keluaran urin, catat jumlah dan warna saat hari dimana diuresis terjadi


Keluaran urin mungkin sedikit dan pekat (khususnya selama sehari) karena penurunan perfusi ginjal.

2. Hitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selama 24 jam.


Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba atau berlebih (hipovolemia) meskipun edema atau asites masih ada.

3. Berikan posisi kaki lebih tinggi dari kepala.


Pembentukan edema, sirkulasi melambat, gangguan pemasukan nutrisidan imobilisasi dan tirah baring yang lama.

4. Auskultasi bunyi napas, catat penurunan dan atau bunyi napas tambahan contoh krekels, mengi atau batuk.


Kelebihan cairan sering menimbulkan kongersti paru. Gejala edema paru dapat menunjukkan gagal jantung kiri akut.

5. Berikan makanan yang mudah dicerna, porsi kecil dan sering.


Penurunan motilitas gaster dapat berefek merugikan pada digestif.

6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi diuetik, cairan dan elektrolit.


Diuretic meningkatkan laju aliran urin dan dapat menghambat reabsorbsi.

7. kolaborasi dengan ahli gizi.


Perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.



4) Pertukaran gas, kerusakan, resiko tinggi b.d

· Perubahan membrane kapiler-alveolus, contoh pengumpulan atau perpindahan cairan ke dalam area interstitial atau alveoli.

Intervensi:

Intervensi


Rasional

1. Auskultasi bunyi napas, catat krekels.


Menyatakan adanya kongesti paru atau pengumpulan secret menunjukkan kebutuhan untuk.

2. Anjurkan klien untuk batuk efektif, napas dalam.


Membersihkan jalan napas dan memudahkan aliran oksigen.

3. Dorong perubahan posisi.


Membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.

4. Pertahankan tirah baring 20-300 posisi semi fowler.


Menurunkan konsumsi oksigen atau kebutuhan dan meningkatkan inspaksi paru maksimal.

5. Kolaborasi dengan dokter dalam terapi o2 dan laksanakan sesuai indikasi.


Meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar yang dapat memperbaiki atau menurunkan hipoksia jaringan.

6. Laksanakan program dokter dalam pemberian obat seperti diuretic dan bronkodilator.


Menurunkan kongestif alveolar, meningkatkan pertukaran gas, meningkatkan aliran oksigen dengan mendilatasi jalan napas dan mengeluarkan efek diuretic ringan untuk menurunkan kongestif paru.



5) Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b.d

· Tirah baring.

· Edema, penurunan perfusi jaringan.

Intervensi:

Intervensi


Rasional

1. Lihat kulit catat penonjolan tulang. Lihat adanya edema, area sirkulasinya terganggua atau pigmentasi atau kegemukan.


Kerana gangguan sirkulasi perifer kulit beresiko imobilisasi fisik dan gangguan status nutrisi.

2. Pijat area kemerahan


Meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia jaringan.

3. Sering rubah posisi di tempat tidur atau kursi. Bantu lakukan latihan rentang gerak pasif/aktif.


Memperbaiki sirkulasi atau menurunkan waktu satu area yang mengganggu aliran darah.

4. Sering berikan perawatan kulit, meminimalkan kelembaban.


Kulit terlalu kering dan lembab dapat merusak kulit dan mempercepat kerusakan.

5. Periksa sepatu atau sandal yang kesempitan, ubah sesuai kebutuhan.


Sepatu terlalu sempit dapat menyebabkan edema dependen. Meningkatkan resiko tertekan dan kerusakan kulit pada kaki.

6. Hindarai obat intramuscular.


Edema interstitial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorbsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit atau terjadinya infeksi.



6) Kurang pengetahuan b.d

· Kurang pemahaman atau kesalahan persepsi tentang hubungan fungsi jantung.

Intervensi


Rasional

1. Diskusikan fungsi jantung normal, meliputi informasi sehubungan dengan perbedaan pasien dari fungsi normal. Jelaskan perbedaan antara serangan jantung dan gangguan jantung kongestif.


Pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat memudahkan ketaatan dan program pengobatan.

2. Kuatkan rasional pengobatan.


Pemahaman program obat dan pembatasannya dapat meningkatkan kerjasama untuk mengontrol gejala.

3. Dapat tetap menjalankan aktivitas tetapi jangan sampai kelelahan tetapi tetap istirahat.


Aktivitas fisik berlebihan dapat berlanjut menjadi melemahkan jantung.